Kritik Soe Hok Gie kepada Rektor UI
Aktivis mahasiswa itu menganggap rektor UI telah mengorbankan idealisme akademis demi menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan.
Rektor Universitas Indonesia (UI) menjadi sorotan pemberitaan di berbagai media. Isu tak sedap dari kampus kuning tercium ketika sang rektor Ari Kuncoro diketahui merangkap jabatan sebagai wakil komisaris utama BRI. Sebagai akademisi, Ari Kuncoro dianggap melanggar statuta UI perihal rangkap jabatan. Belakangan dia mengundurkan diri dari jajaran tersebut lantaran derasnya kecaman publik.
Persoalan serupa juga pernah terjadi pada waktu lampau. Pada 1967, Rektor UI Soemantri Brodjonegoro diangkat menjadi menteri pertambangan dalam Kabinet Ampera II. Kedua jabatan itu dijalankan secara bersamaan oleh Soemantri. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI Angkatan 66 menyorot rangkap jabatan yang diemban oleh Soemantri.
Gie dalam artikelnya “Pelacuran Intelektual” yang termuat dalam Sinar Harapan 21 April 1969, mempertanyakan keputusan Soemantri yang merapat dengan kekuasaan. “Saya datang padanya. Saya tanyakan padanya mengapa ia mau diangkat menjadi menteri dan bekerja dengan bajingan-bajingan minyak, calo-calo modal asing dan pejabat-pejabat yang korup dan sloganistis,” tulis Gie.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Soemantri menjawab bahwa kegundahan Gie itupun disadari olehnya. Kepada Gie, Soemantri mengatakan dirinya hanya punya dua pilihan. Terjun ke dalam pemerintahan dan berusaha memperbaiki keadaan meskipun belum tentu berhasil. Pilihan lain, tinggal di luar dan tidak berbuat apa-apa. Soemantri memilih yang pertama dengan segala konsekuensinya.
Sebelum menjadi menteri pertambangan, Soemantri telah menjabat rektor UI sejak 1964. Gie menggolongkan Soemantri ke dalam kaum intelektual yang turut bekerja sama dengan rezim Sukarno. Bersama Soemantri, Gie menyebut lagi tokoh-tokoh cendekiawan seperti Johanes Leimena, Nugroho Notosutanto, dan Widjojonitisastro dalam kelompok ini. Menurut Gie, sebagian dari mereka gagal dan kemudian dicap sebagai pengkhianat intelektual. Sebagian dari mereka berhasil.
“Prof. Dr. Soemantri dan Nugroho (pembantu rektor) dalam keadaan yang paling sulit berhasil sampai batas-batas maksimal menyelamatkan UI. Walaupun mereka terpaksa berbicara dengan istilah-istilah Nasakom, Manipol, dan lain-lainnya. Apakah kepada mereka akan kita berikan gelar ‘pelacur intelektual’?” kata Gie dalam Sinar Harapan.
Sebagai seorang yang berlatar pendidikan teknik, penunjukan Soemantri sebagai menteri pertambangan terbilang tepat. Pertambangan yang di masa Orde Lama tidak optimal itu ditata kembali di bawah kepemimpinan Soemantri. Dalam rencana pembangunan lima tahun (repelita) I yang digagas Presiden Soeharto, sektor pertambangan menjadi amat penting untuk mendulang devisa bagi negara. Dari hasil tambang akan diperoleh dana yang diperlukan untuk memulai pembangunan, khususnya dari minyak bumi.
Kendati demikian, kebijakan Soemantri tidak luput dari kritik. Mochtar Lubis dalam tajuk rencana harian Indonesia Raya 8 Juli 1970 menyoroti kunjungan Soemantri ke Amerika Serikat atas undangan perusahaan tambang swasta Freeport Sulphur. Saat itu, Freeport Sulphur baru saja memenangkan konsesi untuk mengeksploitasi tambang tembaga di Papua. Menurut Mochtar Lubis, tak patut seorang menteri diundang dan diongkosi oleh perusahaan swasta.
Baca juga: Papua di Tangan Soeharto
Soemantri menjabat sebagai menteri penerangan dua periode berturut-turut. Periode keduanya berlangsung pada 1968—1973 dalam Kabinet Pembangunan I. Di saat yang sama, Soemantri tetap menjabat sebagai rektor UI. Hal ini menjadikannya sebagai rektor UI dengan masa jabatan terlama (1964—1973). Rangkap jabatan ini membuat Soemantri lagi-lagi menjadi sorotan. Namun, rangkap jabatan tersebut bukan atas kemauan Soemantri sendiri.
Mochtar Lubis dalam tajuk rencana Indonesia Raya 4 April 1973 mencatat dewan guru-guru besar UI menghadapi kesulitan mencari pengganti Soemantri. Karena itu, jabatan rektor UI dibiarkan saja dirangkap oleh Soemantri selain jabatannya sebagai menteri pertambangan. Apalagi pada Kabinet Pembangunan II, Presiden Soeharto kembali menyertakan Soemantri untuk menempati posisi menteri pendidikan dan kebudayaan.
“Akan sulit sekali bagi seorang menteri pendidikan dan kebudayaan meneruskan jabatan rektor UI tanpa nanti dicurigai mendahulukan UI dari universitas-universitas lainnya. Juga ini akan merupakan preseden yang kurang baik mengenai kebebasan universitas,” tulis Mochtar Lubis.
Soemantri tidak lama menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan. Soemantri wafat pada 18 Desember 1973. Di Papua, namanya diabadikan untuk puncak gunung di pegunungan Sudirman yakni, Puncak Soemantri Brodjonegoro. Sementara itu di UI, namanya diabadikan sebagai nama jalan dan stadion.
Baca juga: Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar