Masuk Daftar
My Getplus

Perlindungan Komodo dari Masa ke Masa

Komodo menjadi binatang pertama di dunia yang mendapat perlindungan formal pemerintah (1915). Lebih dari 100 tahun kemudian, statusnya masih rentan.

Oleh: Andri Setiawan | 03 Nov 2020
Komodo (Varanus Komodoensis). (Sharp Photography/Wikimedia Commons).

Sejak foto komodo berhadapan dengan truk dalam pembangunan “Jurrasic Park” dan video komodo berada di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Pulau Komodo viral di media sosial, binatang tersebut menjadi pembicaraan di mana-mana. Para penyayang binatang, ekolog, pecinta lingkungan hingga masyarakat umum mengkhawatirkan pembangunan bakal menjadi ancaman bagi eksistensi komodo. 

Sejak pertama kali diverifikasi secara ilmiah pada 1912, kabar keberadaan Komodo langsung tersebar ke seluruh dunia. Binatang yang hidup pada zaman Pleistosen ini menarik perhatian dunia karena dianggap sebagai naga sejati.

Beberapa ekspedisi dan penelitian kemudian dilakukan. Spesimen komodo juga dikirim ke beberapa museum di luar negeri. Namun di sisi lain, pemberitaan komodo itu ternyata menarik para pemburu. Berbagai pihak pun berupaya melindungi binatang purba yang rentan kepunahan ini.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pertemuan Ilmuwan Amerika dengan Komodo

Pada 1915, Sultan Ibrahim dari Kesultanan Bima mengeluarkan fatwa perlindungan komodo. Sultan Ibrahim ingin satwa endemik di wilayah kekuasaan Kesultanan Bima itu bisa lestari.

Pada tahun yang sama, pemerintah Hindia Belanda juga mengupayakan hal serupa. Pemerintah menyatakan bahwa wilayah jelajah komodo tertutup bagi pemburu dan membatasi jumlah spesimen untuk keperluan zoologi. Menurut Pamela Nagami dalam Bitten: True Medical Stories of Bites and Stings, komodo menjadi binatang pertama di dunia yang mendapat perlindungan formal.

Meski demikian, menurut catatan Auffenberg seperti dirujuk Richard L. Lutz dan ‎Judy Marie Lutz dalam Komodo, The Living Dragon, terdapat sejumlah perburuan komodo pada 1926. Sedikitnya 300 komodo dari Pulau Komodo, Flores, dan Rinca ditembak tahun itu. Ternyata, fatwa Sultan Ibrahim dibatalkan oleh pemerintah lokal Manggarai pada kurun 1924 hingga 1926.

Pada Januari 1927, Gubernur Residen Belanda di Timor meneken peraturan yang melarang penangkapan atau perburuan komodo, mengambil kulit atau telur, maupun mengganggu sarang komodo.

“Pihak berwenang sekarang sangat menyadari masalah perburuan, dan Pulau Komodo dijadikan kawasan suaka alam liar oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada November 1928,” tulis Lutz dan Lutz.

Baca juga: Perjalanan Habitat Ora atau Komodo Menjadi Tempat Wisata

Dua tahun kemudian, 1930, pemerintah Hindia Belanda memperkuat undang-undang anti-perburuan dengan penambahan aturan denda 250 florin sebagai ganjaran untuk berburu atau menangkap komodo. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tahun 1931, tentang Regulasi untuk Perlindungan Satwa Liar. Kawasan suaka alam liar komodo juga diperluas, mencangkup Pulau Rinca dan Padar bagian selatan pada 1938.

Namun, tetap saja perburuan komodo masih terjadi. Gubernur Residen Timor melaporkan bahwa ratusan komodo telah ditembak selama perburuan rusa di Pulau Komodo pada 1939.

Akibatnya, pada 1940 pemerintah kembali mengeluarkan peraturan perburuan untuk wilayah luar Jawa dan Madura, termasuk memperkuat perlindungan terhadap komodo. Namun, perburuan rusa terus berlanjut hingga setelah kemerdekaan Indonesia dan setelahnya. Di Pulau Komodo, perburuan rusa masih berlanjut hingga 1968. Hal ini tentu mengganggu persediaan makanan bagi komodo.

Pemerintah Indonesia baru mendirikan Taman Nasional Komodo pada 1980. “Lebih dari 40 staf pria dan wanita ditugaskan ke taman, terbagi antara markas dan fasilitas wisata di Komodo sendiri, pos jaga di Rinca dan pusat pengunjung di Labuan Bajo dan Sape (di Sumbawa),” tulis Lutz dan Lutz.

Baca juga: Komodo-komodo Hadiah Presiden Soeharto

Namun ancaman terhadap komodo saat itu datang bukan dari perburuan saja. Menurut James B. Murphy dkk dalam Komodo Dragons: Biology and Conservation, perluasan pemukiman manusia dan penebangan hutan secara tebang-bakar telah mengurangi habitat komodo di Flores bagian utara. Wilayah yang pada 1981 diketahui masih berupa tajuk hutan dengan beberapa padang rumput kini telah berubah menjadi pertanian. Wilayah ini merupakan habitat komodo di luar Taman Nasional Komodo.

“Peristiwa penangkapan yang dicatat selama survei kami sangat menunjukkan bahwa di Flores utara, wilayah komodo telah menurun sejak tahun 1971 hingga sekitar 45 km garis pantai antara Sungai Wera dan Cagar Sungai Wolo Tado,” tulis Murphy.

Hingga 2019, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagaimana dimuat menlhk.go.id, jumlah komodo di Taman Nasional Komodo mencapai 3.022 ekor. Sebagian besar berada di Pulau Komodo dan Rinca, tujuh ekor di Pulau Padar, 69 ekor di Gili Motang, dan 91 ekor di Nusa Kode. Sementara itu, menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), komodo masih berada dalam daftar merah binatang yang terancam punah dengan status rentan.

TAG

komodo pulau komodo konservasi lingkungan

ARTIKEL TERKAIT

Bumi Pertiwi Hampir Mati Surga Burung Langka Terancam Tambang Emas Kebijakan yang Mengabaikan Lingkungan Pemujaan di Bukit Tandus Setetes Air di Tanah Gersang Yang Terkubur Amukan Merapi Tanaman untuk Penghijauan dari Relief Candi Mempercantik Candi-candi di Yogyakarta dengan Semak Berbunga Riwayat Pertapaan di Lereng Gunung Ungaran Singgah di Rumah Dewa Siwa