Masuk Daftar
My Getplus

Awal Mula Munculnya Air Mata Buaya

Air mata buaya berawal dari gagasan kuno yang meyakini buaya akan menangis untuk menjerat mangsanya. Istilah ini populer setelah muncul dalam karya-karya pujangga Eropa.

Oleh: Amanda Rachmadita | 18 Sep 2024
Penampakan buaya yang dipotret di Surabaya sekitar abad ke-19 dan abad ke-20. (KITLV).

AIR mata buaya menggambarkan seseorang yang berpura-pura menangis atau sedih untuk menarik simpati orang lain. Istilah ini sangat populer. Bagaimana awal mula “air mata buaya” muncul?

Menurut leksikografer Inggris, Susie Dent, ungkapan air mata buaya yang berarti menunjukkan ekspresi sedih yang tidak tulus berasal dari pertengahan abad ke-16. Dalam sebuah catatan tentang kehidupan Edmund Grindal, Uskup Agung Canterbury pada abad ke-16 termuat kalimat “Saya mulai khawatir, jangan-jangan kerendahan hatinya … adalah kerendahan hati yang palsu, dan air matanya adalah air mata buaya”.

“Ungkapan ini digunakan untuk merujuk pada kepercayaan yang telah ada sejak zaman dahulu bahwa buaya, untuk memikat mangsanya, akan menangis. Mangsa yang tidak menaruh curiga akan mendekat, dan ketika mereka telah masuk ke dalam perangkap, hewan buas itu akan menangkap mangsanya dan memakannya dengan cepat,” tulis Dent dalam What Made The Crocodile Cry? 101 Questions about the English Language.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Legenda Buaya di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan

Di sisi lain, Myron Korach dan John Mordock dalam Common Phrases, 2nd menyebut bahwa ungkapan ini berawal dari sebuah peristiwa yang terjadi di Mesir Kuno di sepanjang Sungai Nil. Suatu hari, di padang gurun, sebuah kelompok, mendengar apa yang mereka pikir adalah suara tangisan seseorang. Karena tertarik dengan suara tangisan itu, kelompok tersebut pergi untuk menyelidikinya. Sekian lama pergi, mereka tak pernah kembali dari penyelidikan itu. Setelah beberapa waktu berselang, suara tangisan mulai terdengar lagi. Beberapa orang Mesir lainnya, yang lebih berhati-hati daripada saudara-saudara mereka sebelumnya, pergi ke tempat di mana mereka mendengar tangisan itu. Di sana mereka diserang oleh seekor makhluk mengerikan. Orang-orang Mesir menyadari bahwa reptil itu mengerang dan mendesah seperti manusia yang kesakitan. Selain itu, makhluk aneh tersebut adalah satu-satunya hewan yang pernah mereka temui yang dapat menutupi matanya dengan selaput tipis dan transparan.

“Orang-orang Mesir, yang waspada, membunuh makhluk itu. Monster itu kemudian dinamai ‘buaya’. Dengan kemajuan peradaban, buaya ditemukan mendiami daratan lain. Selalu saja pengalaman bangsa Mesir terulang kembali. Manusia mengetahui bahwa erangan dan air mata buaya dapat digunakan untuk menjebak korban. Akhirnya, tindakan pencegahan yang besar diambil untuk menjaga agar tidak terkena ‘air mata buaya’ –kesedihan atau kesusahan yang palsu,” tulis Korach dan Mordock.

Gagasan bahwa buaya menangis untuk menjerat mangsanya diyakini selama berabad-abad, hingga abad pertengahan, bahkan di negara-negara di mana buaya tidak ditemukan. D. Malcolm Shaner dan Kent A. Vliet menulis dalam “Crocodile Tears: And thei eten hem wepynge”, termuat di BioScience, Volume 57, Issue 7 (2007) bahwa gagasan mengenai buaya yang menangis untuk menjerat manusia semakin populer setelah sebuah buku berjudul The Voyage and Travel of Sir John Mandeville didistribusikan secara luas sekitar tahun 1400. Dalam buku tersebut termuat kalimat “In that contreben gret plentee of cokodrillesTheise serpentes slen men, and thei eten hem wepynge” (Di negeri itu ada banyak sekali buaya … ular-ular ini membunuh manusia, dan mereka memakannya sambil menangis).

Baca juga: 

Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma

Sementara itu, dalam Oxford Dictionary of Word Origins dijelaskan bahwa dalam bahasa Inggris abad pertengahan, pengejaan cocodrille dan cokadrill adalah hal yang umum, dan penyebutan buaya sebagai ular atau cacing didasarkan pada etimologi nama hewan buas ini yang berasal dari bahasa Yunani krokodilos atau “cacing batu”, dari kata kroke “batu kerikil” dan drilos “cacing”. Nama tersebut merujuk pada kebiasaan buaya berjemur di bawah sinar matahari di tepi sungai.

Pada akhirnya gagasan bahwa air mata buaya adalah palsu semakin berkembang luas di masyarakat dan mulai digunakan sebagai kiasan. Dent menjabarkan bahwa ungkapan air mata buaya yang berarti menunjukkan ekspresi sedih yang tidak tulus berasal dari pertengahan abad ke-16, hal ini mungkin didasarkan pada meningkatnya popularitas gagasan kuno tersebut di wilayah Eropa yang kemudian marak digunakan sebagai kiasan dalam berbagai tulisan maupun catatan. Tercatat kiasan itu muncul dalam The Faerie Queene karya penyair Edmund Spenser yang terbit pertama kali pada 1590. Kiasan air mata buaya juga dapat ditemukan dalam Othello, sandiwara tragedi karya dramawan termahsyur dunia asal Inggris, William Shakespeare yang ditulis sekitar tahun 1603. “Kedua karya tersebut hanyalah dua dari sekian banyak kiasan dalam literatur yang telah mengukuhkan kiasan ini dalam bahasa Inggris,” tulis Dent.

Baca juga: 

Timah dan Tuan Besar Buaya

Yang menarik, gagasan mengenai air mata buaya juga mendorong sejumlah peneliti untuk membuktikan bahwa buaya benar-benar mengeluarkan air mata ketika makan. Shaner dan Vliet menyebut anggapan ini diterima secara luas hingga awal 1700-an, ketika John Scheuchzer, seorang dokter dan naturalis di Zurich, menulis “dasar-dasar dan substansi dari kisah lama yang terkenal ini sangat lemah sehingga saat ini akan lebih baik jika kita tidak mempercayainya. Di tempat lain, George Johnson melakukan penelitian tentang hal ini, dan setelah mengoleskan campuran bawang merah dan garam secara langsung pada mata empat buaya secara terus-menerus, ia menyimpulkan bahwa gagasan populer tentang buaya yang meneteskan air mata adalah mitos belaka”.

Seiring berkembangnya ilmu dan teknologi, sejumlah peneliti meneliti air mata buaya. Mereka mengatakan bahwa buaya bisa menangis karena mereka memiliki kelenjar air mata seperti kebanyakan hewan lainnya.

“Para ahli zoologi mencatat bahwa aligator, kerabat dekat buaya, meneteskan air mata ketika mereka makan. Namun, alih-alih sebagai respon emosional, keluarnya air mata mungkin terjadi karena cara buaya dan aligator makan: ketika memakan mangsanya, mereka akan sering bersungut-sungut dan mendesis sambil menghembuskan udara, dan kelenjar air mata mereka bisa mengosongkan diri di saat yang bersamaan,” tulis Dent.*

TAG

buaya

ARTIKEL TERKAIT

Timah dan Tuan Besar Mukidjan Bukan Tjakra Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Sebelum Satar Dieksekusi Gijadi Menembak Yani Asal-Usul Malioboro Asal-Usul Mesin Pendingin Asal-Usul Pistol Menakar Sejarah Timbangan