Masuk Daftar
My Getplus

Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang

Ikut serta dalam penculikan Mayjen MT Haryono, dia dijatuhi hukuman mati namun tak pernah dieksekusi.

Oleh: Petrik Matanasi | 24 Okt 2023
Sersan Mayor Boengkoes menjadi satu-satunya eks anggota Tjakrabirawa penculik para jenderal yang hidup. (Ilustrasi: Yusuf "Gondrong"/Historia)

Gelombang reformasi yang melanda Indonesia sejak 1998 begitu dahsyat. “Tembok” tiran Orde Baru (Orba) pun sampai dihempasnya. Soeharto selaku pemimpin rezim Orba pun berhasil dijatuhkan.

Kebebasan berpendapat yang sudah dibungkam selama sekira 3 dekade kembali muncul dan menjadi  salah satu hal terpenting yang dihasilkan Reformasi. Orang-orang yang sebelumnya dibungkam, seketika lantang bersuara entah lewat buku, media massa, atau forum-forum diskusi yang bermunculan di berbagai tempat. Di antara yang buka mulut itu, tersebutlah nama Boengkoes.

Waktu pecah revolusi kemerdekaan Indonesia, usia Boengkoes masih 18 tahun. Dia tak ketinggalan ikut serta dalam revolusi itu. Sebagai prajurit rendahan, dia pernah berada di Batalyon Semut Merah dan Andjing Laut. Setelah revolusi melawan tentara Belanda selesai, dirinya terus bergabung ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kode Bahaya Masa Perang Kemerdekaan

Di era 1950-an, dia ditugaskan di Ambon untuk menumpas gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Setelahnya, Boengkoes ditempatkan di Jawa Tengah. Dia kemudian terserap di pasukan elite Banteng Raider dan akhirnya Resimen Tjakrabirawa. Pangkatnya terus naik antara 1945 hingga 1965, dari prajurit dua sampai sersan mayor.

Sersan Mayor (Serma) Boengkoes lalu dipercaya menjadi komandan peleton 1 dalam kompi C pada Batalyon Kawal Kehormatan I (KK-I) Tjakrabirawa. Komandan kompi C adalah Letnan Satu (Lettu) Dul Arief dan komandan batalyon mereka adalah Letnan Kolonel Untung.

Pada 30 September 1965, Untung dan Dul Arief mengerahkan satu kompi pasukan dari batalyon yang dipimpin Untung. Boengkoes ada dalam kompi itu. Merekalah yang menjadi ujung tombak penculikan para jenderal, dinamakan pasukan Pasopati. Pasukan yang dipimpin Lettu Dul Arief itu menjadi bagian dari Gerakan 30 September (G30S) yang dikomandani Untung.

Serma Boengkoes kebagian memimpin penculikan terhadap Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, yang sejak 1 Juli 1964 menjabat Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat. Bungkus memimpin 18 orang penculik. Mereka bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965.

“Sekitar pukul 04.30 dini hari kami sampai di Jalan Prambanan, rumah Jenderal Harjono. Saya langsung mengetuk pintu,” kata Boengkoes, dikutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September.

Alih-alih mendapat “pintu”, Boengkoes justru mendapat jawaban dari orang di dalam rumah bahwa dirinya supaya datang ke kantor sang jenderal pagi jam 08.00 bila ingin bertemu. Boengkoes tak terima.

Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara

“Pintu langsung saya dobrak, kamar gelap, karena semua lampu telah dimatikan,” sambung Boengkoes.

Upaya mematikan lampu dilakukan Harjono sebagai langkah pertahanan diri. Kendati tak mempercayainya, Harjono telah mendapat informasi tentang penculikan jenderal pada 28 September dari mantan Atase Militer Indonesia di Peking Jenderal Sudono.

“Dalam satu dua hari ini hati-hati, akan ada penculikan terhadap sejumlah jenderal, kamu ikut dijadikan sasaran,” kata Sudono.

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Harjono merespon Sudono. Dia hanya tertawa. Informasi itu dianggapnya hanya angin lalu sehingga dia tak melaporkan ke atasan ataupun mendiskusikannya dengan staf, apalagi menempatkan pasukan penjaga di kediamannya.  

Toh, informasi yang diterima Harjono dari Sudono ternyata menjadi kenyataan. Dia yang sebetulnya tak siap,  mau tak mau mengupayakan perlawanan. Ketika para penculik datang, sang jenderal mematikan lampu dan mengungsikan anggota keluarganya ke belakang.

“Haryono meloncat hendak merebut senjata dari tangan salah seorang prajurit tetapi gagal. Ia kemudian berusaha ke luar ke belakang melalui pintu di sudut kamarnya,” catat Raden Mas Subantardjo dalam Letnan Jenderal M.T. Haryono.

Namun akhirnya Haryono tertusuk sangkur dan ditembak penculik dengan senapan mesin ringan stengun.

“Tiba-tiba, sekelebatan terasa ada bayangan bergerak. Dengan gerak refleks pemicu senapan saya tarik, rentetan peluru segera meluncur. Jenderal Harjono kena, beliau gugur di tempat,” sambung Boengkoes, dikutip Julius Pour.

Pasukan Boengkoes berhasil mengambil Mayjen Haryono dalam keadaan tak bergerak lagi. Mereka membawanya ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, dekat Lanud Halim Perdanakusuma.

“Setelah kami selesai dengan persiapan kami, kami berangkat, dan perintah kami singkat dan sederhana. Kami hanya lima belas menit di jalan. Dan lima belas lainnya di lokasi. Tapi misinya berhasil lah,” aku Bungkus kepada Ben Anderson dkk. dalam “The World of Sergeant-Major Bungkus” di Jurnal Indonesia nomor 78, Oktober 2004.

Haryono diseret ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya,. Di Lubang Buaya, Harjono untuk disatukan dengan korban penculikan lain. Saat itu ada korban penculikan yang sudah terbunuh dan ada pula yang masih hidup.

“Sejauh yang saya ingat, saya tahu. Wong, dua orang sudah meninggal, Pak Yani dan Pak Pandjaitan. Sisanya masih hidup. Bahkan M.T. Harjono ternyata masih hidup,” aku Boengkoes.

Baca juga: Gijadi Menembak Yani

Setelah kematian para jenderal, semua pasukan penculik ditangkapi. Termasuk Boengkoes. Semuanya diadili, ada yang divonis belasan tahun, seumur hidup, atauun hukuman mati. Semua komandan kelompok penculik dihukum mati, termasuk Boengkoes, yang dijatuhi hukuman mati pada 1971.

Namun, semua terpidana mati tidak langsung dieksekusi tapi ditahan hingga lebih dari 20 tahun di Cipinang. Boengkoes juga begitu.

Eksekusi mati baru terjadi pada Februari 1990. Itu terjadi terhadap eks Sersan Satar, eks Sersan Surono, eks Sersan Suleiman, dan eks Prajurit Nurchayan.

Hukuman mati itu membuat pemerintahan Orba dikecam dunia internasional. Alhasil Boengkoes menjadi satu-satunya bekas Tjakrabirawa yang tersisa di Penjara Cipinang.

Seingat Wilson, bekas tahanan politik kasus Kudatuli, Boengkoes menjadi tukang jahit di dalam penjara. Sementara itu, Fauzi Isman, tahanan politik kasus Talangsari, melihat Boengkoes sebagai sosok yang pendiam.

Hingga lengsernya Presiden Soeharto, yang naik jabatan setelah kematian para jenderal yang diculik Boengkoes dkk., hukuman mati terhadap Boengkoes tak pernah terjadi. Di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, Boengkoes yang mendekam di bui selama lebih dari 30 tahun akhirnya dibebaskan pada 1999. Dia lalu pulang kampung ke Situbondo.

TAG

tjakrabirawa g30s lubang buaya

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Waktu Junta Suardi Diperiksa Mukidjan Bukan Tjakra Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno* Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S