Masuk Daftar
My Getplus

Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara

Situasi perpolitikan saat Haryono menjabat sebagai Deputi III Menpangad sedang panas oleh Konfrontasi dengan Malaysia. Di dalam negeri, Angkatan Darat bersaing keras dengan PKI demi merebut pengaruh Sukarno dalam segitiga perpolitikan.

Oleh: Tjatur Wiharyo | 29 Sep 2020
Ilustrasi Pahlawan Revolusi M.T. Haryono. (Betaria Sarulina/Historia)

Sejatinya, Mas Tirtodarmo (MT) Haryono bercita-cita menjadi dokter. Namun, Perang Kemerdekaan memaksanya putar haluan menjadi tentara. Profesi inilah yang membingkai namanya menjadi Pahlawan Revolusi.

MT Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 20 Januari 1924. Ayahnya, Mas Harsono Tirtodarmo, merupakan asisten wedana di Gresik pada masa penjajahan Belanda. 

Pada 1924, Mas Harsono mendapatkan tugas menjadi jaksa di Sidoarjo. Ia pun memboyong istrinya, Alimah, yang sedang mengandung Haryono. Dalam perjalanan dari Gresik ke Sidoarjo itulah Haryono lahir.

Advertising
Advertising

Sebagai anak bangsawan, Haryono mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang baik. Setelah menamatkan pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (sekolah rendah Bumiputra), Haryono bersekolah di Eurospeesch Lagere School (setingkat sekolah dasar) dan kemudian Hoogere Burgerschool (sekolah tingkat kedua). 

Semasa pendudukan Jepang, Haryono masuk sekolah kedoteran Ika Dai Gakko. Ia juga masuk ke dalam Peta. Haryono belum lulus ketika Jepang kalah perang pada 1945. 

Setelah proklamasi kemerdekaan, Haryono melupakan cita-cita menjadi dokter dan berjuang mempertahankan kemerdekaan bersama pemuda-pemuda lainnya. Perjuangan itu membawa Haryono masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). 

Kemampuan bahasa Belanda, Jepang, dan Inggris yang didapatnya semasa di HBS membuat Haryono ditugaskan menjadi kepala Kantor Penghubung (1 September 1945) dan kemudian kepala Bagian Penerangan sekaligus juru bicara Staf Angkatan Perang RI. Kemampuan bahasa itu pula yang membuatnya dipercaya menjadi sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada Konferensi Meja Bundar, di Den Haag, Belanda (23 Agustus-2 November 1949). 

 

Baca juga: 

Jenderal Yani dan Para Asistennya

Usai pengakuan kedaulatan, karier Haryono terus menanjak. Dimulai dari atase militer RI di Den Haag (1950-1954), pada 1 Juli 1964 Haryono diangkat menjadi Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dengan pangkat mayor jenderal. 

Situasi perpolitikan saat Haryono menjabat sebagai Deputi III Menpangad sedang panas oleh Konfrontasi dengan Malaysia. Di dalam negeri, Angkatan Darat bersaing keras dengan PKI demi merebut pengaruh Sukarno dalam segitiga perpolitikan. Ketika isu Dewan Jenderal mulai santer, Haryono ditugaskan Menpangad Letjen A. Yani menjalin kontak dengan perusahaan-perusahaan minyak asing.

Situasi panas tersebut membuat Haryono kerap ikut rapat dengan presiden atau rapat hingga larut malam di SUAD. Di luar yang formal, Haryono kerap berdiskusi tentang perpolitikan nasional dengan rekan-rekannya dari Partai Sosialis Indonesia seperti Soedatmoko dan Rosihan Anwar. 

Untuk meredakan ketegangan akibat padatnya kerjaan, Haryono biasa mengatasinya dengan mendengarkan musik klasik sambil menata anggrek di halaman belakang rumahnya. Anggrek merupakan hobinya. Saking sukanya, Haryono pernah minta pada Brigjen Sumitro dibawakan anggrek pedalaman Kalimantan ketika Sumitro menjabat sebagai panglima Kodam Mulawarman. Namun, kebiasaan itu berubah menjelang Oktober 1965. 

“Sungguh tak biasa, beliau duduk sendiri, melamun sambil mendengarkan musik klasik. Biasanya sambil mendengarkan musik klasik, Ayah sibuk menata tanaman bunga anggrek yang ada di halaman belakang dan selalu ditemani putri kecilnya, Enda, yang duduk di kursi kecilnya di samping beliau. Namun kelaziman itu sirna, ketika Enda mendekati untuk menemani ayahnya, ia justru disuruh menjauh. Kami merasakan kejanggalan tersebut dengan perasaan heran yang tertahan,” tulis putra-putri Haryono dalam Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam.

Kejanggalan tersebut menjadi tanda alam yang tak disadari keluarga Haryono. Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumah Haryono digerebek pasukan Tjakrabirawa yang dipimpin Serma Boengkoes. 

Jenazah Haryono dan lima perwira tinggi AD lain beserta satu perwira menengah lalu dibawa ke Lubang Buaya dan ditimbun di dalam sumur tua. Jenazah mereka baru dikeluarkan pada 4 Oktober 1965 dan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari Jadi ABRI Ke-20. Presiden Sukarno menetapkan ketujuh korban pembunuhan itu sebagai Pahlawan Revolusi dan menaikkan pangkat masing-masing satu tingkat.

Baca juga: Pierre Tendean, Si Galak yang Memikat

Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis

TAG

mt haryono g30s pahlawan revolusi pki tni abri profilpahlawanrevolusi

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Njoto Ikut HUT ABRI Berujung Dieksekusi Evolusi Angkatan Perang Indonesia Muljono Dukung PKI Saat Baret Merah Dilatih Pasukan Katak Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967