Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri

Ada yang pergi bawa kecap. Ada yang pulang bawa mobil.

Oleh: Martin Sitompul | 17 Sep 2024
Jenderal Maraden Panggabean dan Jenderal Soemitro. Sewaktu perwira menengah, Maraden dan Soemitro sama-sama pernah menempuh pendidikan di Fort Benning, Georgia, Amerika. Sumber: Dok. Keluarga Maraden Panggabean.

UNTUK naik ke jenjang perwira tinggi, perwira menengah TNI diharuskan sekolah staf dan komando lebih dulu. Para perwira ini biasanya dikursuskan mulai dari pangkat mayor yang dipersiapkan menduduki jabatan staf dan komando setingkat lebih tinggi. Pada dekade 1950—1960-an, banyak perwira menengah TNI Angkatan Darat (AD) yang disekolahkan ke luar negeri.

Pada 1957, enam orang perwira menengah TNI AD disekolahkan ke Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat. Mereka antara lain: Letkol Maraden Panggabean, Letkol Moersjid, Letkol Prijatna, Mayor Soehario Padmowirio, Mayor Subroto (Brotosewodjo), dan Mayor Chris Sudono. Maraden dan kawan-kawan ditugaskan mengikuti kursus lanjutan perwira infantri selama delapan bulan hingga setahun. Mereka berangkat ke Amerika pada pertengahan April 1957.

Rute perjalanan dimulai dari Jakarta ke Manila, Honolulu, kemudian Washington DC. Saat transit di Honolulu menuju Washington DC, para perwira TNI ini harus menjalani pemeriksaan badan dan barang bawaan. Maraden mengakui, pemeriksaan mulai dari foto identitas hingga foto ronsen itu masih terasa asing baginya. Saat proses pemeriksaan inilah, salah satu dari mereka mengalami insiden.

Advertising
Advertising

Baca juga: Howard Jones, Duta Besar Penyambung Jakarta-Washington

Pemeriksaan koper memang rawan dibanting atau diangkat bolak-balik oleh petugas bandara. Pada saat itulah botol kecap yang dibawa Mayor Subroto dalam kopernya pecah. Akibatnya semua cairan kecap tertumpah dan melumuri seisi koper. Bau aneh pun melekat pada pakaiannya dalam koper. Sudahlah ketiban sial seperti itu, Subroto harus lagi memberika keterangan kepada petugas bea cukai atas cairan asing yang dibawanya. Petugas tentu ingin mengetahui zat atau bahan apa yang dibawa sehingga menginterogasi Subroto.

“Rombongan kami, dengan menghargai sikapnya terhadap barang produksi dalam negeri, terdorong untuk memberikan penghargaan kepadanya dengan menempelkan perkataan kecap pada namanya, sehingga selama kursus dan sesudahnya, bagi kami dia adalah Mayor Subroto kecap,” kenang Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi.

Setibanya di Washington, Maraden cs dijemput oleh Letkol Ashari Danudirdjo, anggota staf atase militer dari Kedutaan Indonesia. Selama dua hari di ibukota Amerika itu, Maraden dan kawan-kawan belajar orientasi kebudayaan Amerika agar tidak kaget saat menjalani pendidikan. Mereka belajar menggunakan televisi, mengutak-atik tombol siaran pengganti saluran, sesuatu yang masih asing dilakukan di Indonesia. Begitupun dengan mesin otomatis penjual rokok atau minuman, peralatan kamar mandi, peralatan elektronik, belajar berbaris menunggu bus, membeli tikel, membayar bon belanjaan dari toserba, memakai lift, dan sebagainya. Di jalanan, Maraden juga menyaksikan, surat-surat kabar begitu saja ditumpukkan. Barang siapa mau beli satu eksemplar, cukup taruh 10 sen dolar dalam kotak yang tersedia. Buah apel pun dijual dengan cara demikian.

“Mungkin orang Amerika Serikat tidak suka mencuri kalau nilainya hanya 10 sen saja,” celetuk Maraden.

Baca juga: Para Perwira Angkatan Darat Didikan Amerika Serikat

Selain insiden kecap Mayor Subroto dan belajar jadi orang Amerika, ada pula yang reuni ketemu kawan lama. Mereka adalah Letkol Moersjid dengan Kolonel Alex Kawilarang. Saat itu, Kawilarang menjabat sebagai atase militer di Kedutaan Indonesia di Washington DC. Moersjid dan Kawilarang sama-sama perwira dari Divisi Siliwangi. Alex Kawilarang turut mengantarkan Moersjid dan rombongan ke Georgia untuk menjalani pendidikan di Fort Benning.

“Waktu berangkat ke Fort Benning, ayah sahabatan sama Alex Kawilarang. Mereka sobat. Sohib banget,” tutur Siddharta Moersjid, putra keempat Moersjid, kepada Historia.id suatu ketika.

Maraden, Moersjid, dan Soehario kemudian menjadi perwira tinggi yang cukup dikenal. Moersjid dan Soehario yang lebih dikenal sebagai Hario Kecik sama-sama mencapai pangkat mayor jenderal. Maraden bahkan mencapai pangkat jenderal.

Baca juga: Moersjid dan Kawilarang, Dua Panglima Bersimpang Jalan

Setelah angkatan Maraden Panggabean, Mayor Soemitro menyusul pada tahun berikutnya bersekolah di luar negeri. Sama seperti angkatan terdahulu, Soemitro juga mengambil kursus lanjutan perwira infantri di Fort Benning. Turut bersekolah bersama Soemitro adalah Willy Sudjono, Iskandar, dan Sumarto.

Di Fort Benning, macam-macam pendidikan militer diajarkan. Mulai dari company grade course, regular officer's advance course dan ada yang kursus singkat seperti markmenship dan airborne training. Selain pendidikan militer mutakhir, kolega dari negara lain, dan belajar kebudayaan baru, menurut Soemitro, uang saku yang diperoleh selama pendidikan cukup lumayan. Uang saku yang ditabung dengan baik bahkan bisa dibelikan mobil. Di samping itu, yang lagi menyenangkan adalah undangan makan malam dari organisasi sosial seperti Civiton Club, Lions Club, Chambre of Commerce dan lain-lain.

“Waktu saya kembali dari Amerika saya tidak membawa kendaraan. Sedangkan yang lain-lain semua bawa mobil. Memang kalau kita pulang dari Amerika waktu itu dengan kendaraan satu saja, satu Chevrolet misalnya, dan kita jual kendaraan itu di negeri kita waktu itu, kita bisa membeli rumah. Malahan masih akan ada uang sisa untuk hidup,” tutur Soemitro kepada Ramadhan K.H dalam Soemitro: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.

Baca juga: Bea Cukai Loloskan Mobil Selundupan Robby Tjahjadi

Soemitro memang tidak kesampaian beli mobil seperti rekan-rekannya yang lain. Namun, sepulang dari pendidikan di Amerika, dia membawa pulang kamera Bell & Hoween berikut screen-nya, satu proyektor dan stereo tape recorder merek Philco. Barang-barang elektronik yang terbilang mahal itu kemudian dijual Soemitro kepada rekannya, Kolonel Minggu, yang menjabat gubernur militer Bali. Soemitro mendapat uang Rp215.000 dari Kolonel Minggu atas penjualan barang-barang tadi.

“Waktu saya menghitung uang itu bersama istri, saya gemetar karena tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Pulang dari Bali kami naik pesawat terbang,” kenang Soemitro.

Seperti Maraden, Soemitro juga mencapai perwira tinggi hingga pangkat jenderal. Namun, karier militernya tidak sepanjang Maraden yang mencapai Kepala Staf Angkatan Darat (1967—1969), panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan (1973—1978), dan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan (1978—1983). Soemitro pensiun dini sewaktu menjabat panglima Kopkamtib akibat peristiwa kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.

Baca juga: Kisah Jenderal Soemitro vs Kolonel Muammar Khadafi

TAG

maraden panggabean jenderal soemitro amerika serikat perwira tni ad

ARTIKEL TERKAIT

Prakarsa Indonesia atas Perang Korea Mayor Belanda Tewas di Parepare, Westerling Ngamuk Ketika Israel Menghantam Kapal Amerika Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah KNIL Turunan Genghis Khan Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Akhir Tragis Overste Romantis Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau Gelut di Tapanuli Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Mereka yang Masih Mengenang