Sekali waktu pada tahun 1973, Jenderal Soemitro menerima panggilan dari Presiden Soeharto. Rupanya, Mitro diminta untuk mendampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik ke Aljazair dalam Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok di Aljazair. Sebagai panglima Kopkamtib yang bertanggung jawab atas keamanan di dalam negeri, Mitro merasa aneh dengan penugasan ke luar negeri.
“Mengapa Pak Harto tidak berangkat sendiri memimpin delegasi ini?” kata Mitro seperti dicatat Heru Cahyono dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 januari 1974. Menurut Mitro, “mungkin dari segi security dianggap belum aman bila Presiden meninggalkan Indonesia.”
Maka mau tidak mau jadilah Mitro terbang ke Aljazair. Konferensi diselenggarakan dari tanggal 5 sampai 9 September 1973. Mitro berkedudukan sebagai wakil ketua delegasi Indonesia. Sepeninggal dirinya, Mitro melimpahkan kepemimpinan Kopkamtib kepada wakilnya yakni Laksamana Soedomo.
Baca juga: Perkawanan Dua Perwira AD
Di Aljazair, Mitro mendapat pengalaman tidak terlupakan berurusan dengan pemimpin Libya, Kolonel Muammar Ali Khadafi. Saat itu, Khadafi baru berkuasa di Libya setelah melengserkan pemerintahan Raja Idris lewat kudeta. Dengan revolusi yang dijalankannya, Khadafi disebut-sebut pula sebagai pemimpin negara Islam di Afrika.
Ketika konferensi berlangsung, Khadafi hadir lewat korespondensi jarak jauh. Pada saat itulah, Khadafi tetiba bertanya kepada delegasi Indonesia. Suatu pertanyaan yang bagi Mitro sangat menyakitkan dan tidak akan pernah terlupakan.
“Apa benar di Indonesia ada sekitar dua ratus ribu orang Islam dipaksa menjadi Kristen?” demikian Khadafi bertanya dalam courtesy call kepada delegasi Indonesia.
Sontak saja delegasi Indonesia terkejut mendengarnya. Mitro sendiri memendam dongkol dalam hati. “Anak kemarin sore, kurang ajar begini,” pikir Mitro. Adam Malik yang mendegar ucapan Khadafi langsung melirik ke arah Mitro. Dia berharap Mitro yang akan menjawab.
“Anak masih muda begini, politikus kemarin sore, sudah kurang ajar mencampuri urusan dalam negeri orang lain,” Mitro membatin.
Baca juga: Tamparan Jenderal Mitro
Dalam emosi yang terkendali, Mitro bertanya dari mana Khadafi menerima informasi itu. Mitro menyampaikannya dalam bahasa Indonesia sebab ada penerjemah. Namun Khadafi tidak bersedia menjawab.
Untuk mengklarifikasi berita yang diterima Khadafi, Mitro memberikan penjelasan. Katanya, Indonesia bukanlah negara Islam. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai pemeluk agama. Walaupun mayoritas beragama Islam tetapi di daerah tertentu seperti Batak Tapanuli, Manado, dan Maluku kebanyakan masyarakatnya beragama Kristen.
“Bagaimana Tuan Khadafi menyalahkan seorang bayi yang lahir di lingkungan Kristen, sehingga otomatis ia menjadi Kristen? Dia tidak bisa dan tidak boleh dipaksa menjadi Islam. Itu bukan pula berarti Kristenisasi,” ujar Mitro.
Lagi, Soemitro menyarankan agar Khadafi datang langsung ke Indonesia untuk melihat sendiri dari dekat, bukan hanya melihat dari jarak jauh. Khadafi meresponnya dengan bungkam. Di akhir penjelesannya, Mitro mengatakan, “Ini urusan dalam negeri kami, Tuan tidak usah campur tangan.” Penyataan ketus itu terucap lantaran Mitro kepalang tersinggung dengan Khadafi.
Baca juga: Muslihat Opsus di Papua
Setelah konferensi berakhir, delegasi Indonesia kembali ke wisma. Pada malam hari, penerjemah Khadafi mendatangi Mitro untuk minta maaf. Dari penerjemah itu, Mitro kemudian mengetahui informasi yang diterima Khadafi berasal dari Indonesia sendiri.
“Dari mana?,” tanya Mitro.
“Dari Opsus,” jawab si penerjemah tanpa ragu. Opsus sendiri merupakan lembaga intelijen tidak resmi pimpinan Mayjen Ali Moertopo yang kerap menggelar operasi khusus.
Dalam benaknya, Mitro bergumam, “Mana mungkin Opsus berbuat setolol itu.”
Baca juga: Soemitro dan Ali, Kisah Duel Dua Jenderal
Tidak lama kemudian, Mitro mengundurkan diri karena peristiwa kerusahan “Malapetaka 15 Januari” 1974. Sementara itu, kebenaran kabar burung yang dilontarkan Khadafi itu belum sempat dikonfirmasi Mitro kepada Ali Moertopo. Sudah menjadi rahasia umum kala itu jika kedua jenderal tersebut mememiliki rivalitas yang kuat.
Mitro wafat pada 1998, dan dikenal sebagai jenderal berpengaruh di masa awal Orde Baru. Khadafi sendiri baru lengser pada 2011 setelah gelombang revolusi “Arab Spring” menumbangkan diktator di suatu negara yang terletak di Afrika tersebut. Peristiwa itu pula yang mengakhiri hidup Khadafi di tangan rakyatnya sendiri.