JENDERAL TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu semasa menjabat menteri pertahanan pernah sesumbar mengenai kekuatan angkatan perang Indonesia. Menurutnya, militer Indonesia sanggup berperang selama 1000 tahun. Ketahanan berperang dalam waktu lama itu bersandar pada TNI yang menganut sistem pertahanan rakyat semesta.
“Kalau untuk perang 1000 tahun, kita eksis kok. Kenapa? Sistem perang kita adalah pertahanan rakyat semesta. Apa yang ada di bumi Indonesia itulah yang kita gunakan, kita hidup dari situ. jadi kita nggak usah kuatir tentang berapa tahun kita bisa berperang, 1000 kita akan mampu berperang,” kata Ryamizard pada 2019 silam.
Dalam sistem pertahanan rakyat semesta, tentara bersama rakyat terkoneksi erat. Sebagaiman diungkapkan sejarawan Genoveva Ambar Wulan Tulistyowati, jalinan sinergi telah berlangsung sejak masa perang mempertahankan kemerdekaan (1945—1949) atau lazim disebut periode revolusi. Perang gerilya yang dilancarkan TNI tak mungkin berjalan tanpa dukungan rakyat. Saling topang antara rakyat dan tentara ini jadi keniscayaan karena keduanya menghadap musuh bersama, yaitu Belanda, yang ingin menjajah Indonesia kembali. Ketika menghadapi agresi Belanda, TNI unggul karena ada rakyat ada di belakangnya yang menyuplai logistik, informasi medan, hingga data intelijen.
“Setiap kantong-kantong gerilya terdapat pemerintahan militer yang mengatur rakyat di sekitarnya selalu terhubung tentara,” terang Ambar kepada Historia.id. “Kebersatuan tentara-rakyat inilah yang terumuskan di dalam perang pertahanan (rakyat) semesta.”
Baca juga: Kembali ke Dwifungsi ABRI?
Kemanunggalan tentara dengan rakyat di masa revolusi inilah yang kelak jadi embrio Dwifungsi ABRI. Dalam Dwifungsi ABRI, TNI tidak semata-mata militer yang tupoksinya terbatas pada urusan pertahanan keamanan. Sebaliknya, TNI juga berperan sebagai sebuah kekuatan sosial-politik dalam menata kehidupan masyarakat. Praktik dwifungsi ini telah tampak mulai akhir 1950-an dan begitu kuat terasa selama rezim Orde Baru berkuasa. Pada masa Orde Baru, praktik dwifungsi bahkan menjurus ke arah militerisme yang mengancam supremasi sipil.
Menurut tokoh pemikir TNI Letjen (Purn.) Sutopo Yuwono, yang pernah menjadi kepala Bakin (kini BIN) 1968—1974, militer Indonesia atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lahir dari kancah revolusi atau dari revolusi itu sendiri. ABRI berbeda dari angkatan bersenjata lain yang lahir dari partai politik, seperti tentara Vietnam yang dilahirkan Partai Komunis Vietnam. Karena itulah, ABRI bukan kepunyaan golongan tetapi milik seluruh rakyat yang mengadakan revolusi tersebut. Setiap insan ABRI, mula-mula adalah seorang pejuang, baru kemudian sebagai prajurit atau profesional militer.
“Jadi dua. yaitu satunya sebagai pejuang dan satunya lagi sebagai militer profesional, dan karena dua maka dikatakan ber-dwifungsi,” jelas Sutopo dalam Berita Yudha, 5 Oktober 1981. “Jadi kalau di samping ia sebagai seorang militer tetapi ia juga seorang pejuang, maka ABRI ini di samping menjadi faktor militer, ABRI juga menjadi faktor sosial. Inilah asal mulanya dwifungsi.”
Baca juga: Dari Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI
Dalam seminar “Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru” yang diselenggarakan LIPI pada 1994, peran Dwifungsi ABRI dan hubungannya dengan revolusi ditinjau kembali. Seminar yang menghadirkan sejumlah intelektual itu menyoal peran TNI di masa revolusi apakah punya relevansi dengan dwifungsi. Disimpulkan bahwa jasa TNI pada masa revolusi memang besar. Meski demikian, hal itu tidak dapat diartikan bahwa kondisi di masa lampau tersebut menyebabkan ABRI untuk berkecimpung dalam sosial-politik seperti tercermin dalam dwifungsi.
“Kalau kita menganggap dwifungsi sebagai konsep yang baik, maka kita harus menunjukkan bahwa pelaksanaannya menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan sekarang, bukan kemarin. Demikian juga kalau kita berpendapat dwifungsi kurang perlu, kita wajib menunjukkan bahwa pelaksanaannya membawa keburukan sekarang,” ucap Harold Crouch, pengamat politik Indonesia asal Australia seperti dikutip Kompas, 15 Juni 1994.
Sementara itu menurut pengamat politik Insan Praditya Anugrah, keterlibatan atau jasa besar militer dalam perang kemerdekaan kerap kali menjadi pembenaran keterlibatan mereka atas kehidupan masyarakat sipil termasuk politik. Dalam hal ini, Indonesia punya kemiripan dengan Myanmar yang militernya mengklaim diri sebagai “shareholder” of the nation. Mereka merasa berkontribusi lebih dibandingkan golongan lain termasuk sipil, yang menjadi pembenaran untuk mengambil-alih ketika pemerintahan sipil dilanda ketidakstabilan politik.
Baca juga: Jenderal Nasution Menyaksikan Dwifungsi Kebablasan
“Hal ini tentunya adalah klaim berlebihan, karena sejatinya kemerdekaan negara tidak mungkin tercapai tanpa diplomasi elit sipil. Adapun sejarah yang melebih-lebihkan peranan militer dalam andil kemerdekaan adalah propaganda rezim militer untuk mempertahankan legitimasi atas intervensi mereka di wilayah sipil,” ujar Insan kepada Historia.id.