Letnan Kolonel Ahmad Yani (1922–1965) merupakan perwira menonjol di tahun 1950-an. Ia dari Jawa Tengah dan terakhir di sana menjadi Komandan Resimen Infanteri ke-12 pada 1953 sebelum akhirnya ditarik ke Jakarta. Pada 1955, ia dikirim belajar ke US Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Sekolah ini semacam Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Yani bukan satu-satunya perwira Indonesia di era Sukarno yang belajar di Amerika. Letnan Kolonel Soehario Padmodiwirio (1920–2014) alias Hario Kecik juga pernah belajar di Army Officers Advance Course pada 1956 dan United States Army Airborne Ranger Course pada 1958, keduanya di Fort Benning. Sebelumnya, Mayor Andi Muhammad Jusuf (1928–2004) alias M. Jusuf juga belajar di Army Officers Advance Course. Kawan sekampung Yani, Sarwo Edhie Wibowo (1925–1989) juga dikirim belajar ke Infantry Officers Advance Course pada 1957.
Baca juga: Alasan Sarwo Edhie Wibowo Memimpin Operasi Penumpasan PKI
Sekitar 1953–1954, menurut Vincent Bevins dalam Metode Jakarta, hanya beberapa perwira menengah Angkatan Darat yang belajar di Amerika. Setelah tidak ada sama sekali tahun 1958, maka pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terdapat 41 orang perwira menengah Indonesia belajar di sana, dan tahun 1962 sudah lebih dari seribu perwira Indonesia dilatih di Amerika. John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal mencatat sepanjang 1950 hingga 1965 terdapat 2.800 perwira Angkatan Darat yang dilatih di Amerika.
Sejak Agustus 1958, Amerika Serikat telah memulai program bantuan untuk melatih perwira Indonesia di Amerika. John Roosa mencatat, dari 1958 sampai 1965 setiap tahunnya Amerika Serikat mengeluarkan US$10 juta hingga US$20 juta untuk membantu perwira Angkatan Darat.
“Dan Washington memanjakan mereka,” catat Vincent Bevins. Para perwira menengah yang sedang belajar itu ibarat tamu agung. Biasanya mereka bisa mengendarai mobil dan mendapat uang saku.
“Mereka dilatih dengan baik, ter-Amerikanisasi, dan banyak di antara mereka menjadi antikomunis di Kansas sana,” tulis Vincent Bevins.
Baca juga: Jenderal yang Ditolak Jadi KSAD
Sepulangnya ke Indonesia pada 1958, Kolonel Ahmad Yani menjadi komandan operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dalam Operasi 17 Agustus di Sumatra Barat. PRRI sendiri mendapat bantuan senjata dari badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA).
Setelah PRRI ditumpas, strategi Amerika menghadapi komunis, dalam hal ini Partai Komunis Indonesia (PKI), pun berubah. Amerika berharap kepada Angkatan Darat, yang sebelum 1962 dipimpin Jenderal TNI Abdul Haris Nasution dan kemudian dipimpin Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani.
Sayangnya, Ahmad Yani terbunuh pada 1 Oktober 1965 oleh pasukan Gerakan 30 September yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Begitu juga lima jenderal staf pembantunya. Meski begitu, asa Amerika dalam melawan komunis masih ada dalam Angkatan Darat. Sebab, masih ada ribuan perwira didikan Amerika lainnya dalam Angkatan Darat.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Brigadir Jenderal TNI Soewarto (1921–1967), yang dikirim belajar ke Fort Leavenworth pada 1959, meski sakit-sakitan masih hidup dan tidak jadi sasaran pasukan penculik. Dari 1960 hingga 1 Juni 1966, Soewarto adalah Wakil Komandan Seskoad di Bandung. Setelah 1 Juni 1966, ia menjadi komandan Seskoad. Pada masanya, Seskoad mengadakan Seminar Angkatan Darat Kedua di Graha Wiyata Yudha, Bandung, pada 25–31 Agustus 1966.
“Dengan saksama dipimpin oleh Brigadir Jenderal Soewarto, dalam kesimpulannya mengulangi tema yang sudah tidak asing lagi bahwa Angkatan Darat, yang lahir dalam revolusi dan dengan demikian mempunyai hak dan kewajiban untuk memikul tanggung jawab di luar militer, telah terpaksa memperluas kegiatan nonmiliternya,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967. Belakangan setelah Sukarno lengser dan Soeharto berkuasa peran militer menjadi semakin luas.
Baca juga: Kisah Para Deputi Jenderal Yani
Seskoad adalah lembaga yang berani berbeda dengan Sukarno di awal 1960-an. Dari Seskoad juga kemudian Orde Baru dilahirkan. Era Soeharto, yang dikenal sebagai masa Orde baru, banyak perwira yang dulu belajar di Amerika telah menjadi perwira tinggi di Angkatan Darat.
Soeharto tidak pernah belajar di Amerika, namun penggantinya dalam memimpin Angkatan Darat pada 1967 adalah Maraden Panggabean, yang dikirim ke Infantry Officers Advance Course pada 1956. Maraden lalu menjadi Panglima ABRI dari 1973 hingga 1978. Penggantinya adalah M. Jusuf juga pernah belajar di Amerika.
Dari ribuan perwira Angkatan Darat yang belajar di Amerika, Hario Kecik adalah “produk gagal”. Kecik pernah berseberangan dengan Ahmad Yani setelah dikirim belajar ke Uni Soviet. Sepulang dari sana, ia menjadi tahanan politik Orde Baru.*