Masuk Daftar
My Getplus

Ikut HUT ABRI Berujung Dieksekusi

Bersama kesatuannya, Lettu Ngadimo diperintahkan ikut merayakan HUT ABRI di Jakarta. Di sana dia terseret petualangan G30S.

Oleh: Petrik Matanasi | 05 Okt 2024
Pasukan Yon 530/Para Brawijaya, tempat Lettu Ngadimo berada, sedang bersiaga di lapangan Medan Merdeka. (Tangkapan layar Youtube film "Pengkhianatan G30S/PKI)

ATAS perintah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto di Jakarta, beberapa kompi pasukan dari batalyon infanteri 530/Para Brawijaya yang berkedudukan di Madiun secara bergelombang berangkat ke ibukota. Perwira yang ikut tak hanya para komandan kompi tapi juga perwira staf seperti Letnan Satu (Lettu) Ngadimo Hadisuwignjo. Sehari-harinya dia adalah perwira Seksi I/Intelijen. 

“Tanggal 26 September saya berangkat ke Jakarta bersama dua kompi dari Madiun lewat jalur selatan,” terang Ngadimo dalam persidangan perkara Untung tahun 1966, seperti dikutip dalam G-30-S, Gerakan 30 September, dihadapan Mahmillub di Djakarta: Perkara Untung.

Pada hari yang sama, dua kompi dari batalyon 531/Para dari Malang juga berangkat ke Jakarta melalui jalur utara. Esoknya, dua kompi dari batalyon 530 berangkat lagi. Mereka ditempatkan di daerah Kebun Jeruk, Jakarta.

Advertising
Advertising

“Pasukan diperintahkan membawa helm luar dan dalam, membawa bekal pakaian untuk penugasan setengah bulan, serta makanan cadangan tujuh hari berikut peluru tajam,” sambung Ngadimo.

Baca juga: 

Peringatan HUT TNI Pertama di Cilegon

Pasukan dari Jawa Timur itu berada di Jakarta untuk mengikuti upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-20. Mereka bertemu pasukan dari Jawa Tengah pula, dari batalyon 454 Para/Diponegoro, yang berada di sekitar Gambir.

Pada 29 September 1965 malam, Lettu Ngadimo yang beragama Islam mendapat tugas untuk ikut pengarahan di Lubang Buaya. Lantaran bukan orang Jakarta, ia terlambat datang.

Dalam rapat pengarahan itu, Kapten Suradi memberikan pengarahan tentang pembagian sektor-sektor pasukan. Lalu Letnan Satu Dul Arief memberi pengarahan soal penculikan para jenderal.

Lettu Ngadimo diberi peran cukup penting dalam penculikan, meski tak ikut dalam penculikan. Dul Arief memintanya untuk memberi uraian lagi kepada para perwira atau bintara mengenai taktik di lapangan. Yakni cara-cara raids atau  penyergapan. Ini karena latar belakang Lettu Ngadimo sebagai prajurit raider. Pasukan batalyon 530, 531 dan 454 adalah pasukan raider di bawah Kostrad.

“Saya uraikan pasukan itu harus menjadi tiga, satu kelompok dengan tugas pokok penangkapan, kedua pelindung, dan ketiga cadangan dan diatur sedemikian rupa begitu kendaraan berhenti di tempat supaya pasukan segera berada di sasaran masing-masing.  Menurut saya kelompok penangkapan di tengah, pelindung di kanan kiri, di muka dan belakangnya, setelah itu lalu bubaran,” terang Ngadimo.

Baca juga: 

Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI

Pagi 30 September 1965, Lettu Ngadimo ke Lubang Buaya lagi. Ia melihat banyak pemuda-pemudi yang dilatih kemiliteran oleh instruktur dari Angkatan Udara. Lettu Ngadimo mengaku ada acara dalam bagi-bagi senjata.

Malamnya, prajurit dari batalyon 530 yang berada di Jakarta pun dilibatkan dalam Gerakan 30 September (G30S) yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Ada yang ikut pasukan Pasopati, penculik para jenderal, maupun yang disiagakan di sekitar Lapangan Monas.

“Tapi mereka tidak tahu apa-apa,” jelas Ngadimo menerangkan semua yang terlibat itu. 

Tentara hanya ikut perintah komandan. Namun itu tak cukup untuk dijadikan alasan bagi rezim Orde Baru. Maka umumnya para prajurit tidak tahu apa-apa yang terlibat G30S itu terpaksa menjalani screening dan sebagian ditahan.

Lettu Ngadimo sendiri sebagai perwira yang aktif dalam G30S tentu harus merasakan lebih dari penahanan dan screening. Ngadimo diadili, tak seperti kebanyakan yang dituduh G30S. Koran Angkatan Bersenjata edisi 16 April 1966 memberitakan, dalam sidang Jumat malam 15 April 1966, Ngadimo dituntut hukuman seumur hidup dan seluruh hartanya disita oleh negara.

Pada sidang minggu berikutnya, vonis untuknya berubah. Menurut koran Angkatan Bersenjata edisi 21 April 1966, pada Rabu malam 20 April 1966, Ngadimo dijatuhi hukuman mati.

Ngadimo dan pelaku G30S lain seperti Muljono, Untung, dan Sujono pernah meminta pengampunan dari Pejabat Presiden Jenderal Soeharto pada pertengahan 1967. Namun, sebut koran Berita Yudha tanggal 23 Juni 1967, Soeharto menolak grasi atau pengampunannya. Hidup pria kelahiran Malang tahun 1926 dan pernah tinggal di Jalan Saman itu pun harus berakhir dieksekusi mati demi Orde Baru.*

TAG

g30s brawijaya

ARTIKEL TERKAIT

Muljono Dukung PKI Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Gumuljo Wreksoatmodjo Sang Pembela Untung Sjamsuri Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Melawan Sumber Bermasalah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade