Pada hari Jumat terakhir sebelum tragedi 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Haris Nasution berkunjung ke Bandung. Nasution diundang memberikan ceramah kepada anggota Resimen Mahasiswa Batalyon Universitas Padjajaran. Dalam acara itu, Nasution dikawal oleh seorang ajudannya yang berparas indo.
“Yang mendampingi saya adalah adalah ajudan yang paling muda, Letnan Satu Pierre Tendean. Ia terhitung pemuda yang ganteng, dan terus ia saja menjadi sasaran kerumunan para mahasiswa,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Tercatat 15 April 1965, Pierre resmi menjadi ajudan Nasution yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Pierre merupakan ajudan termuda yang berpangkat letnan satu. Sementara tiga ajudan Nasution lainnya sudah berpangkat kapten.
Baca juga: Kisah Pierre Si Ajudan Tampan
Mengemban tugas sebagai ajudan mengharuskan Pierre ikut ke mana saja Nasution bertugas. Menurut biografi resmi Pierre Tendean dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, kegiatan Nasution yang paling sering di kawal Pierre adalah agenda main tenis. Keluarga Nasution biasanya main tenis dua kali seminggu di lapangan tenis Menteng dan Senayan.
Menurut Saifuddin Sofyan, mantan pemungut bola (ball boy) lapangan tenis Senayan, Pierre termasuk orang yang pendiam. Bicara hanya seperlunya saja. Pierre juga tidak segan menindak petugas lapangan tenis apabila berbuat lalai. Misalnya, saat ikatan net kurang kencang. Biasanya, Saifuddin dan kawan-kawannya kena hukuman oleh Pierre berupa push up di tempat.
Lain waktu, Nasution pulang dinas dari Bandara Kemayoran menuju ke rumahnya di Jalan Teuku Umar No. 40. Saat itu mobil Nasution terjebak macet. Pierre yang mendampingi segera berinisiatif turun dari mobil dan turun ke jalan. Jadilah Pierre Tendean menjadi petugas lalu lintas dadakan. Akibat ulah Pierre, mobil yang ditumpangi Nasution akhirnya bisa melengos di jalan sekaligus mengurai kemacetan yang ada.
Di kediaman Nasution, Pierre menempati paviliun khusus tempat tinggal para ajudan. Pierre sering diledek “Jawa Londo” oleh anak-anak Menteng sekitar kediaman Nasution. Olokan tersebut lantaran fisik Pierre yang berkulit putih, berhidung mancung, dan postur jangkung 175 cm. Tapi kalau sudah berbicara, maka Pierre terdengar medok dengan logat Jawa-Semarangnya yang sangat kental.
Baca juga: Elegi Cinta Pierre dan Rukmini
Kepada putri-putri Nasution, Pierre menampilkan perangai yang berbeda. Terhadap si sulung Yanti yang kala itu beranjak remaja, Pierre bersikap tegas, disipilin, dan terkesan galak. Yanti kerap kena tegur Pierre kalau menginap di rumah kawannya atau ketahuan coba-coba belajar menyetir mobil. Namun kalau berhadapan dengan sang adik, Ade Irma, Pierre luluh. Pierre cenderung melunak dan memanjakan putri bungsu Nasution ini. Saban sore, Pierre selalu menemani Ade bermain sepeda di halaman belakang rumah. Sementara istri Nas, Sunarti, kerap kali berperan menjadi pamong yang selalu menasihati Pierre, terutama soal percintaannya dengan Rukmini.
“Walaupun demikian, Yanti mengakui bahwa wajah Pierre ganteng luar biasa, yang memesona lawan jenis. Namun, dengan kekakuannya, Pierre jarang tampak genit di depan kaum hawa,” catat tim penulis biograsi resmi Pierre Tendean yang disunting Abie Besman.
Selain kegiatan di dalam kota, Pierre pun harus siaga sewaktu-waktu Nasution dinas ke kota lain. Nasution acap kali menjadi tamu undangan sebagai pembicara dalam konferensi atau seminar nasional. Biasanya, Pierre lah yang sering diminta Nasution untuk mendampingi dalam kunjungan di luar kota.
Baca juga: Pierre Tendean, Prajurit TNI Berdarah Prancis
Di saat Nasution menjadi pembicara, sosok Pierre ternyata menjadi pusat perhatian. Paras tampan Pierre selalu jadi magnet peserta seminar terutama peserta dari kalangan kaum hawa. Bukan sebuah pemandangan lazim jika seorang pria keturunan Indonesia-Prancis berbadan tegap mengawal seorang jenderal penting di jajaran angkatan bersenjata. Para perempuan yang penasaran sering berbisik dan bertanya, siapa sosok pemuda tampan yang mengajudani Jenderal Nasution itu?
Hal yang sama pun terjadi ketika Pierre mendampingi Nasution di Bandung, yang menjadi tugas terakhir pengawalannya. Para peserta memang mendengar pidato atau ceramah dari sang jenderal tetapi mata mereka teralihkan ketika melihat sosok Pierre Tendean. Kiranya, dari sinilah muncul istilah yang populer saat itu, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”