Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Selepas pengakuan kedaulatan, kecakapan Yani kembali diuji dengan tugas mengatasi pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah pada 1952.
“Lebih baik bermandi keringat di medan latihan daripada mandi darah di medan pertempuran.” Itulah pernyataan populer dari Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang gugur di tangan sekelompok petualang militer pada dini hari 1 Oktober 1965.
Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1922 dari pasangan Sarjo bin Suharyo dan Murtini. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Bogor pada 1935, Yani masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah setingkat sekolah menengah pertama, di Bogor.
Lulus dari MULO pada 1938, Yani melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middelbare School (AMS), setara dengan sekolah menengan atas, di Jakarta. Yani hanya menjalani pendidikan hingga kelas dua di AMS karena ada kewajiban mengikuti pendidikan militer dari pemerintah Hindia Belanda. Yani pun mengikuti pendidikan militer di Dinas Topografi Militer, Malang dan kemudian mengikuti sekolah militer lanjutan di Bogor.
Selepas pendidikan militer di Bogor, Yani meniti karier sebagai prajurit dengan pangkat sersan. Pedudukan Jepang pada 1942 berdampak pada karier militer Yani. Ia lalu mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, kemudian Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan lulus sebagai terbaik.
Proklamasi membawa pemuda Yani bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Yani menjadi komandan TKR Purwokerto. Perang Kemerdekaan menempa sekaligus membuktikan kecakapan militer Yani. Di Pertempuran Pingit, pasukan Yani berhasil meredam Agresi Militer I Belanda (1947). Keberhasilan itu membuat Yani dipercaya menjadi komandan Wehrkreise II, yang membawahi daerah Kedu, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II (1949).
Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Selepas pengakuan kedaulatan, kecakapan Yani kembali diuji dengan tugas mengatasi pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah pada 1952. Dalam tugas itulah Yani membentuk pasukan khusus yang diberi nama Banteng Raiders dan berhasil mengatasi pemberontakan. Beberapa tahun bertugas di balik meja Staf Angkatan Darat usai mengatasi DI/TII, Yani tugas belajar ke Command and General Staff College, Forth Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat (1955) dan Spesial Warfare Course, Inggris (1956).
Bekal pendidikan yang diperolehnya di luar negeri langsung diuji di lapangan ketika Yani dipercaya memimpin Operasi Tujuh Belas Agustus untuk mengatasi pemberontakan PRRI, 1958. Keberhasilan memimpin operasi tersebut membuat bintang Yani terang. Puncaknya, ketika Indonesia sedang gencar mengupayakan pembebasan Irian Barat, Yani diangkat Presiden Sukarno menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dan pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal.
“Saudara-saudara, sejak saat sekarang ini, lebih-lebih lagi diharap dari saudara-saudara untuk memberikan saudara-saudara punya tenaga sepenuh-penuhnya, semaksimum-maksimumnya kepada perjuangan simultan membebaskan Irian Barat. Kepada Mayor Jenderal Yani terutama sekali di bidang militer,” ujar Sukarno dalam pidatonya ketika melantik Yani, 23 Juni 1962, yang diterbitkan Departemen Penerangan.
Dalam biografi ayahnya yang berjudul Profil Prajurit TNI, putri A. Yani Amelia Yani menuturkan, awalnya Yani tidak masuk daftar kandidat calon pemimpin AD. Nama Yani baru masuk setelah dimasukkan KSAD AH Nasution dalam daftar calon yang disodorkan kepada presiden menyusul ditolaknya daftar pertama. Sukarno yang terkesan pada kinerja Yani di KOTI, langsung memilih Yani.
Dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas, Nasution sebetulnya berat melepaskan Yani. Deputi II-nya itu merupakan orang kepercayaan AH Nasution yang cakap dalam teknis kemiliteran dan antikomunis dalam sikap.
Pengangkatan Yani menjadi orang nomor satu di AD juga menimbulkan kecemburuan karena Yani bukan perwira paling senior. Menurut sesepuh AD yang pernah menjadi perwira pembantu Yani di Markas Besar AD, Sayidiman Suryohadiprodjo, penunjukan Ahmad Yani masih wajar, dalam arti tidak menyalahi tradisi TNI AD atau melangkahi dalam segi senioritas karena saat itu tak banyak perwira tinggi yang lebih senior dari Yani.
"Mungkin Pak Soeharto yang merasa lebih senior karena pernah bersama Yani sewaktu di Divisi Diponegoro. Akan tetapi, orang juga anggap ini tindakan Bung Karno untuk kurangi wewenang dan reputasi Pak Nasution yang jabat KSAD,” ujar Sayidiman kepada Historia.
"Namun, latar belakang politik kental (dalam pemilihan Yani menjadi KSAD). Itulah yang sulit dihindari pada level atas. Apalagi ketika berkaitan dengan orang seperti Bung Karno sebagai presiden,” lanjut Sayidiman.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Kuatnya bau politis dalam pengangkatan Yani menimbulkan kegaduhan bahkan sejak Yani belum diangkat. Orang-orang yang tak menginginkannya menduduki jabatan tertinggi AD memfitnah Yani melakukan korupsi sehingga memiliki sedan mewah Mercedes Benz. Perkara itu sampai ke telinga Sukarno hingga presiden perlu mengecek kebenarannya dengan menanyakan Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang merupakan sahabatnya sekaligus sahabat Yani.
“Kepada Bung Karno aku terangkan bahwa Mercedes itu diperoleh A. Yani atas usaha aku dengan Suwarma yang menjadi dealer Mercedes di Indonesia. Dan persetujuan perwakilan Mercedes. Rupa-rupanya, Bung Karno juga menanyai Suwarma dan kepala perwakilan Mercedes itu. Aku pikir, Bung Karno ingin A. Yani mempunyai nama yang bersih apabila ia sampai diangkat jadi KSAD,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Begitu badai yang meliputi pengangkatannya dilalui, Menpangad Yani mesti melewati badai-badai lain yang menunggu. Setelah Trikora, Yani mesti menuruti kemauan presiden mengganyang Malaysia sambil menahan serangan-serangan PKI di dalam negeri. Yani salah satu penentang keras pembentukan angkatan kelima, dengan mempersenjatai petani dan buruh, yang diusulkan PKI. Gaya hidup Yani yang dianggap mewah juga dijadikan sasaran serangan oleh PKI.
Dengan Sukarno, Yani berhasil mendekatkan AD yang sebelumnya, di bawah Nasution, cenderung bersifat pesaing. Menurut pakar politik asal Monash University Harold Crouch, meski sama-sama antikomunis, Yani dan Nasution menampilkan citra diri secara berbeda. Yani berbeda pendapat dengan Sukarno soal PKI. Tetapi sebagai orang Jawa, Yani cenderung memperlakukan Sukarno sebagai bapak, yang bisa salah tapi tidak boleh ditentang secara terbuka. "Sebagai orang Jawa yang tak memiliki keislaman yang puritan seperti Nasution, ia lebih mudah menjadi bagian dari lingkungan Istana Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia.
Berita sakitnya Sukarno dan munculnya dokumen Gilchrist serta santernya isu Dewan Jenderal yang dikabarkan akan mengkudeta Sukarno membuat suhu perpolitikan dalam negeri memanas. Yani menjadi orang yang terus diserang sehubungan dengan isu Dewan Jenderal. Penjelasannya kepada presiden bahwa di AD hanya ada Wanjakti, yang bertugas menilai perwira tinggi untuk kepentingan kenaikan pangkat, tak menurunkan tensi politik yang ada.
Dalam kemelut politik yang penuh intrik itulah Yani dibangunkan dari tidurnya pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh putranya, Eddy, atas permintaan pasukan Tjakrabirawa. Pasukan yang dipimpin Peltu Mukijan itu meminta Yani memenuhi panggilan presiden ke Istana. Perlawanan Yani menjadi dalih pasukan tersebut untuk menembaknya.
“Peluru menembus tubuhnya, dan Pak Yani masih sempat bertanya, ‘Bagaimana Bapak?’ maksudnya Bung Karno. Suamiku jatuh sambil memandang ke arah Untung anak kami yang ketujuh,” ujar Yayu Rulia, istri Yani, dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-Kenangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar