Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Bung Karno
Ketika Ahmad Yani memuncak kariernya sebagai perwira Angkatan Darat.
PAGI sekali, Mayor Jenderal Ahmad Yani berangkat ke Istana Negara. Dia naik mobil bersama sopirnya, Hasan. Istri dan anak-anak Yani menanti di rumah dengan perasaan berdebar-debar. Hari itu 23 Juni 1962, Yani akan dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
“Hari itu adalah hari yang paling bahagia bagi kami sekeluarga,” kenang Amelia Yani, salah seorang putri Yani dalam biografi ayahnya Profil Prajurit TNI. “Waktu itu di rumah sudah banyak sekali tamu-tamu yang ingin memberikan ucapan selamat.”
Setiba di Istana, Yani tak dilantik sendirian. Ada beberapa Duta Besar (Dubes) yang ikut dilantik berbarengan. Mereka antara lain: Gustaaf Adolf Maengkom (Dubes RI untuk Polandia), Sudjono (Dubes RI untuk Ghana), dan Busono Darusman (Dubes RI untuk Austria).
Baca juga: Jenderal Yani di Lapangan Golf
Ketika dilantik sebagai KSAD, Yani tengah berada di usia puncak kariernya, 40 tahun. Dia juga merangkap jabatan penting sebagai Kepala Staf Operasi Pembebasan Irian Barat. Tak mengherankan apabila pada upacara pelantikannya, Presiden Sukarno banyak menyinggung soal Irian Barat.
“Saudara-saudara sejak saat sekarang ini lebih-lebih lagi diharap dari saudara-saudara untuk memberikan saudara-saudara punya tenaga sepenuh-penuhnya, semaksimum-maksimumnya kepada perjuangan simultan membebaskan Irian Barat. Kepada Mayor Jenderal Jani terutama sekali dibidang militer,” kata Sukarno dalam pidatonya yang diterbitkan Departmen Penerangan.
Yani kemudian mengucapkan sumpah jabatannya. Pangkatnya dinaikan setingkat menjadi letnan jenderal. Dengan demikian, Yani resmi telah menjadi orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat.
Awalnya Bukan Yani
Menurut penuturan Amelia, semula Yani tak termasuk dalam kandidat calon KSAD. Ada beberapa nama perwira tinggi senior lain yang diajukan. Semuanya ditolak oleh Sukarno. Nasution sendiri lebih cenderung kepada wakilnya, Gatot Subroto untuk menduduki jabatan KSAD. Namun pada awal Juni 1962, Gatot meninggal dunia karena serangan jantung.
Nasution kemudian mengusulkan beberapa nama lagi. Kali ini menyertakan nama Yani, yang menjadi Deputi II KSAD. Tanpa ada perbantahan, Sukarno langsung setuju.
Di mata Istana, Yani punya reputasi gemilang. Pada 1958, Yani sukses menggelar operasi militer penumpasan PRRI di Sumatera pada 1958. Dia lantas merapat ke Istana ketika menjabat kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang berada di bawah komando presiden. Dalam waktu 4 tahun sejak memimpin Operasi 17 Agustus di Padang, nama Yani terus melejit.
Baca juga: Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran
Sebagai perwira profesional, Yani memang mencatatkan prestasi menonjol. Yani juga memperoleh kepercayaan Nasution dan korps perwira AD karena seorang antikomunis garis keras. Meski demikian, pengangkatan dirinya menjadi KSAD terbilang cepat dan mulus.
Menurut sesepuh TNI AD Sayidiman Suryohadiprodjo yang pernah menjadi perwira pembantu Yani di Markas Besar AD, penujukan Yani masih wajar dan sesuai. Wajar dalam arti tak menyalahi tradisi TNI atau melangkahi dari segi senioritas. Saat itu, tak banyak perwira tinggi lain yang melebihi senioritas Yani.
“Mungkin Pak Harto yang merasa lebih senior karena pernah bersama Yani sewaktu di Divisi Diponegoro. Akan tetapi orang juga anggap ini tindakan Bung Karno untuk kurangi wewenang dan reputasi Pak Nasution yang jabat KSAD,” ujar Sayidiman kepada Historia. Kata Sayidiman lagi, “Correct iya, tapi latar belakang politik kental. Itulah hal yang sukar dihindari pada level atas. Apalagi dengan orang seperti Bung Karno sebagai presiden.”
Figur Kesukaan Presiden
Menurut pakar politik Monash University, Harold Crouch, kendati sama-sama antikomunis, Yani menampilkan citra diri yang berbeda dari Nasution. Ini terlihat dari cara Yani menentang kebijakan Sukarno terhadap PKI. Sebagai orang Jawa, Yani cenderung memperlakukan Sukarno sebagai seorang “bapak” yang bisa saja bertindak salah tetapi tak boleh ditentang secara terbuka .
“Dan sebagai orang Jawa yang tak memiliki keislaman yang puritan seperti Nasution, ia lebih mudah menjadi bagian dari lingkungan Istana Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia.
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
Kepribadian Yani yang menarik dan luwes menjadi nilai tambah sang jenderal. Karakter demikian memungkinkan Yani mengembangkan hubungan serasi dengan Sukarno. Faktor inilah yang meyakinkan Sukarno untuk menjatuhkan pilihannya kepada Yani.
Sesudah upacara di Istana selesai, Yani pulang kerumahnya di Jalan Lembang. Suasana ramai telah menanti. Acara selamatan dipersiapkan atas pelantikan Yani.
“Bapak turun dari mobil disambut ibu dan kami semua,” kenang Amelia. “Bapak tersenyum cerah sekali dan kami ikut merasakan kebahagiaan itu.”
Baca juga: Ketika Yani Akan Menangkap Nasution
Tambahkan komentar
Belum ada komentar