Masuk Daftar
My Getplus

Muljono Dukung PKI

Di Yogyakarta, perwira menengah ini memimpin gerakan mendukung G30S di Jakarta. Dia ditangkap dan dihukum mati. Membuat banyak orang yang memiliki nama sama dengannya memilih ganti nama.

Oleh: Petrik Matanasi | 03 Okt 2024
Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono, pucuk pimpinan Korem Yogyakarta yang jadi korban gerakan Mayor Muljono. (Wikipedia.org)

SEKITAR September 1967, beberapa anggota regu tembak berlatih. Mereka akan melaksanakan tugas mengeksekusi beberapa terpidana mati: bekas Letnan Kolonel (Letkol.) Untung, Letnan Ngadimo, Mayor Sujono, dan Mayor Muljono Surjowedojo. Mereka dianggap bersalah dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Untung, Ngadimo, dan Sujono terlibat dalam G30S di Jakarta, yang menewaskan Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani dkk. pada dini hari 1 Oktober 1965. Sementara, Mayor Mulyono adalah pelaku di balik tewasnya Danrem Yogyakarta Kolonel Katamso dan wakilnya, Letkol Sugijono, pada hari yang sama namun beda jam.

Sehari-harinya, Mayor Mulyono menjabat sebagai perwira staf V KOREM 72. Namun Mayor Muljono “tak anti” politik. Dia punya banyak sekutu non-militer di Yogyakarta.

Advertising
Advertising

“Mayor Muljono, sebagai perwira yang bertanggungjawab atas pertahanan sipil, telah menjalin hubungan erat dengan organisasi-organisasi sipil seperti PKI,” catat John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal.

Kedekatan Mayor Muljono –konon merupakan anak didik Wiryomartono dari Biro Khusus yang terkait dengan petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI)– dengan orang-orang PKI membuatnya “melek” perpolitikan tanah air yang sedang diwarnai persaingan sengit antara PKI dan Angkatan Darat dalam merebut simpati Presiden Sukarno. Isu  kudeta Dewan Jenderal yang kian kencang berhembus pun bukan hal asing di telinganya. Maka dia pun telah memikirkan tindakan antisipatif yang mesti diambil jika kudeta benar-benar terjadi.

Sebagaimana Letkol Untung di ibukota, Mayor Muljono terus bergerak sesuai garis yang telah diambil Biro Khusus. Mayor yakin Batalyon L di Korem-nya akan mendukungnya. Namun, usahanya menawari Kolonel Katamso menjadi ketua Dewan Revolusi di Yogyakarta mendapat penolakan. Kendati begitu, dia tetap bergerak.

“Mayor Muljono membagi-bagikan senjata kepada anggota-anggota Hansip dan Veteran yang menjadi pengikutnya,” catat Djoko Soekiman dalam Sejarah Kota Yogyakarta.

Setelah itu, orang-orangnya pun bergerak. Pada pukul empat sore tanggal 1 Oktober 1965, Kolonel Katamso didatangi orang suruhan kelompok Mayor Muljono. Katamso dijemput dengan mobil Gaz.

Sekitar pukul 18.00, di markas Komando Resort Militer (KOREM) 72/Pamungkas yang membawahi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Korem Letkol Sugijono yang baru tiba dari Semarang hendak memberi pengarahan kepada para perwira korem. Tak ada Mayor Mulyono di dalam rapat itu. Sugijono kemudian dibawa kelompok Mulyono ke tempat yang tak diketahuinya.

Di  Kompleks Batalyon L, Sugijono bertemu Katamso. Keduanya dieksekusi malamnya dengan pukulan kunci mortir. Setelah keduanya tak bernyawa dimasukkan ke sebuah lubang yang tak jauh dari tempat eksekusi.

Pada hari itu juga Mayor Muljono mengumumkan Dewan Revolusi di Yogyakarta. Namun upayanya segera mendapat penolakan. Maka apa yang dilakukan Mayor Muljono hingga harus ada korban yang terbunuh pada 1 Oktober 1965 menjadi sia-sia. Sesuatu yang berdampak buruk dalam gerakannya. 

“Pada tanggal 2 Oktober malam Mayor Muljono telah pulang ke rumah keluarganya di Wates,” catat PJ Suwarno dalam Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta, 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis.

Setelah 5 Oktober 1965, Mayor Muljono menghilang. Dia menyiapkan basis perlawanan menghadapi pasukan lawannya. Dia membangun basis di sekitar Boyolali yang dulunya menjadi basis Merapi Merbabu Complex (MMC).

Mayor Muljono akhirnya hanya bisa bergerak tak lebih dari tiga minggu. Pada 18 Oktober 1965, dirinya ditangkap pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus). Konon Bupati Boyolali Suali berusaha membebaskannya, namun itu menjadi hal yang mustahil.

Mayor Muljono yang menjadi tokoh kunci G30S di Yogyakarta itu pun dengan cepat diproses hukum sebagaimana Letkol Untung di Jakarta. Kedua perwira menengah itu lalu divonis hukum mati.

Keterlibatan Mayor Muljono dalam G30S membuat nama Mulyono setelah 1965 agak tercoreng di Jawa Tengah. Bukan hanya karena petulangan Mayor Mulyono. Di sekitar Blora-Ngawi terdapat Mbah Suro, mantan kepala desa Nginggil yang menjadi dukun dan dianggap pula sebagai pendukung G30S. Mbah Suro sebelumnya bernama Mulyono Surodihardjo. Di zaman revolusi, Mbah Suro muda adalah anggota Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) pimpinan Kolonel Ahmad Yadau yang kiri. Maka tak aneh bila ada anak bernama Mulyono kemudian ganti nama.

TAG

g30s pki

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Njoto Ikut HUT ABRI Berujung Dieksekusi Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Gembong PKI Ingin Jadi Tentara Indonesia antara Republik dan Kerajaan Alimin Si Jago Tua PKI Gumuljo Wreksoatmodjo Sang Pembela Untung Sjamsuri Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965