Masuk Daftar
My Getplus

Indonesia antara Republik dan Kerajaan

Silang pendapat mengenai bentuk negara Indonesia dalam sidang BPUPK. Diputuskan dengan pemungutan suara. Sebagian besar memilih republik.

Oleh: Amanda Rachmadita | 12 Agt 2024
Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) menggelar sidang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. (ANRI/Wikipedia).

ADA beberapa hal yang menjadi pembahasan para tokoh bangsa dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya bentuk negara yang akan dipilih, apakah republik, kerajaan atau federal. Silang pendapat sempat terjadi ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menggelar sidang untuk mempersiapkan rencana kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota menjabarkan pandangan mereka mengenai bentuk negara yang ideal untuk Indonesia.

Tak hanya para anggota BPUPK yang menaruh perhatian besar terhadap bentuk negara Indonesia. Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, juga pernah membahas hal ini bersama Hatta. “Pada bulan Maret [1945], Hatta dan aku terbang ke Makassar. Misi rahasia yang kami lakukan adalah melakukan pembicaraan tingkat tinggi guna menentukan bentuk yang sebenarnya dari negara kami nantinya,” sebut Sukarno.

Dalam pertemuan tersebut, Jepang mendorong agar Indonesia dibentuk menjadi sebuah monarki atau kerajaan. Menurut para pembesar Jepang, sejumlah pihak bahkan meminta agar Sukarno segera diangkat menjadi raja Indonesia. Namun, gagasan ini ditolak oleh Sukarno. Ia mengatakan, “di saat awal sekali, ketika kemerdekaan ini masih merupakan sebuah impian yang jauh, aku telah berjanji kami tidak menghendaki sebuah kerajaan. Aku selalu berbicara menentang bentuk lain, kecuali republik.”

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Dua Perempuan dalam BPUPKI

Gagasan menjadikan Indonesia sebagai sebuah kerajaan sesungguhnya cukup beralasan, mengingat pada saat itu terdapat sejumlah kerajaan di berbagai daerah di Nusantara. John Monfries menulis dalam biografi Sultan Hamengkubuwono IX, Prince in a Republic bahwa besar kemungkinan Jepang mendorong agar Indonesia dibentuk menjadi sebuah monarki karena menganggap bentuk negara seperti inilah yang sesuai bagi negara tersebut.

“Sekelompok pendukung monarki bertemu di Magelang dan setuju untuk mengusulkan Sultan sebagai kepala negara baru, dan ide ini disambut baik oleh Jepang dan sebagian besar pegawai negeri setempat. Para pamong praja konservatif yang telah menghabiskan sebagian besar karier mereka di bawah pemerintahan Belanda, mungkin melihat monarki baru sebagai kembalinya kemapanan di masa lalu. Namun, Hamengku Buwono dengan tegas menyangkal pernah menerima pendekatan dari Jepang dalam hal ini,” tulis Monfries.

Di sisi lain, opsi monarki sesungguhnya tak terlalu populer jika dibandingkan dengan republik. Banyaknya jumlah kerajaan di Indonesia pada saat itu justru menjadi penyebabnya, karena tidak ada satu pun penguasa yang memiliki pengakuan atau penerimaan yang luas di luar dari wilayahnya. Selain itu, menurut Monfries, sejumlah anggota kerajaan dari Yogyakarta dan Solo juga tidak menyuarakan monarki di sidang BPUPK. P.F. Dahler, tokoh Indo-Eropa sekaligus anggota BPUPK, yang justru aktif menyuarakan gagasan ini.

“Meskipun Dahler sebelumnya adalah seorang ‘100 persen republikan’, pria kelahiran Semarang tahun 1883 itu kini percaya bahwa monarki mewakili ‘pola terbaik untuk kemajuan manusia dan agama di dunia, karena seorang raja adalah wakil Tuhan di bumi’. Walau begitu, jika mayoritas memilih republik, ia tidak akan menghalangi,” tulis Monfries.

Di sisi lain, sejumlah anggota BPUPK beranggapan bahwa opsi monarki tak cukup meyakinkan. Mohammad Yamin beranggapan bahwa gerakan nasionalis yang muncul di berbagai wilayah Nusantara telah didasarkan pada prinsip-prinsip republik. Sedangkan Ki Bagus Hadikusumo menilai negara yang kemerdekaannya tengah diperjuangkan bersama itu sudah sepatutnya memiliki kepala negara yang dipilih oleh rakyat melalui konsensus, bukan berasal dari turun-temurun, seperti yang umum terjadi pada sebuah kerajaan. Silang pendapat di antara para anggota BPUPK mengenai bentuk negara mendorong dilakukannya pemungutan suara. Hasilnya, 55 orang mendukung bentuk republik, sementara enam orang memilih bentuk negara yang lain.

L.J. Giebels menulis dalam Sukarno: A Biography bahwa ada harapan sejumlah delegasi, khususnya para perwakilan dari wilayah kerajaan dan juga priayi, akan memilih bentuk pemerintahan monarki. Namun, hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa mayoritas anggota memilih bentuk pemerintahan republik.

Baca juga: 

Buah Kengototan Maria Ullfah dalam Rapat BPUPKI

“Menurut notulen, kelompok Muslim mendukung bentuk pemerintahan republik karena agama mereka mengharuskan agar masalah-masalah politik diselesaikan dengan musyawarah,” tulis Giebels.

Sementara itu, menurut Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, perbedaan pendapat mengenai bentuk negara Indonesia sesungguhnya hanya akal-akalan Jepang. Sebab sebagian besar tokoh bangsa yang ambil bagian dalam persiapan kemerdekaan Indonesia menghendaki agar negara merdeka yang akan dibangun itu berbentuk republik dengan seorang kepala negara yang dipilih oleh rakyat.

“Kelompok yang didukung Jepang yang menginginkan bentuk monarki yang jumlahnya kecil masih juga berani memperdengarkan suaranya, walaupun akhirnya kalah dan terpojok,” tulis aktivis pemuda Asrama Menteng 31 itu.*

TAG

bpupki

ARTIKEL TERKAIT

Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Alex Maramis: Dari Pendudukan Jepang Hingga Menjadi Anggota BPUPK Inggris dapat Membakar Lautan Patra Mokoginta Gagal Jadi Raja dan Dibuang Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Dua Dekade Kematian Munir dan Jejaknya Sebagai Pejuang HAM Persekusi Ala Bangsawan Kutai Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian II) Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian I)