MAUMERE penuh sesak dengan lautan manusia hari itu, 11 Oktober 1989. Begitulah yang lekat dalam ingatan sineas Yuda Kurniawan mengenang suasana kota kecil yang merupakan ibukota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu saat disinggahi Paus Yohanes Paulus II.
“Seingat saya, Paus naik mobil terbuka semacam jip. Disambut sepanjang jalan dan ramai banget sampe hampir enggak bisa jalan mobil itu. Jadinya macet banget. Warga datang dari segala macam penjuru,” kenang pendiri rumah produksi Rekam Films yang filmnya Nyanyian Akar Rumput (2018) sukses menyabet Piala Citra di Festival Film Indonesia 2018 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik itu kepada Historia.
Meski beretnis Jawa, Yuda lahir di Ruteng, Manggarai, Pulau Flores, NTT pada 8 Oktober 1982. Pada medio 1985, ia sekeluarga pindah mengikuti ayahnya yang berdinas di perusahaan kontraktor, Hutama Karya, di Maumere.
“Waktu itu saya kira-kira kelas I atau kelas II SD, jadi belum tahu betul Paus itu siapa. Jadi sebelum (Sri Paus) datang, sempat baca di koran. Sempat nonton beritanya juga di TV karena sebelumnya beliau kan ke Jakarta,” sambungnya.
Baca juga: Mengintip Belakang Layar Nyanyian Akar Rumput
Sebelum ke Maumere, Paus Yohanes Paulus II singgah di Jakarta dan Yogyakarta. Dalam kunjungan ke Indonesia dari 9-14 Oktober 1989 itu, Paus menyambangi lima kota.
Yuda kala itu bersekolah di sebuah SD Negeri yang siswanya mayoritas Katolik. Maka kabar akan datangnya pemimpin tertinggi Katolik dunia membuat pihak sekolah geger. Yuda dan para siswa lain pun ikut dibuat sibuk pihak sekolah untuk turut ambil bagian menyambut Paus.
“Makanya ketika itu oleh guru, kita (siswa) juga dikondisikan menyambut kedatangannya (Sri Paus). Kita dikasih tahu guru bahwa nanti Paus Yohanes Paulus (II) akan datang. Bahwa beliau adalah pemimpin Gereja Roma (Katolik). Jadi kita disuruh berbaris di pinggir jalan ikut menyambut,” tambahnya.
Di sana, Sri Paus beristirahat dan bermalam di Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret. Esoknya, 12 Oktober 1989, Sri Paus memimpin misa kudus di Lapangan Gelora Samador.
“Kebetulan juga rumah saya dekat sama lapangan sepakbola (Samador) itu. Kira-kira yang hadir ratusan ribu dari penjuru Kabupaten Sikka. Ada juga dari Ende, Waingapu, pokoknya ramai dan heboh. Mereka datang sehari sebelumnya dan menginap di lapangan itu,” tandas Yuda.
Baca juga: Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian I)
Permintaan Sri Paus untuk bermalam di Maumere sempat mengkhawatirkan “Tim Lima” pimpinan Suhartono ‘Tono’ Suratman, perwira Kopassus yang bertugas mengawal Sri Paus. Pimpinan ABRI dan bahkan Presiden Soeharto sempat mempermasalahkan keputusan itu.
“Sarana dan prasarana di pulau itu juga minim dan terbatas untuk ukuran VVIP setingkat Sri Paus. Kompleks seminari terlalu luas dan tak banyak dikenal orang-orang pusat. Isu keselamatan Sri Paus sebagai kepala negara Vatikan dan pemimpin dunia jadi pusat keprihatinan mereka,” kenang Mayjen (Purn.) Tono Suratman dalam bukunya, Santo Yohanes Paulus II: Mencium Bumi Indonesia.
Namun, pertimbangan keamanan itu tak diindahkan Sri Paus. Alhasil pemerintah pusat terpaksa mengalah dan mesti menyesuaikan dengan keadaan dan situasi keamanan.
Patut disyukuri, hingga berakhirnya agenda Sri Paus di Maumere, termasuk agenda misa kudus di Lapangan Samador, hal-hal tak diinginkan tak terjadi. Sri Paus lantas melanjutkan perjalanannya ke Dili, Timor Timur (kini Timor Leste).
Baca juga: Secuplik Jejak Paus Paulus VI di Jakarta
Singgahi Bumi Loro Sae dan Medan
Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia terjadi di masa kekerasan dan pelanggaran HAM di “Bumi Loro Sae” –yang mayoritas populasinya penganut Katolik– masih tersisa. Luka dari integrasi paksa Timor Timur ke Republik Indonesia pada 1970-an masih ada.
“Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Timor Leste (Timor Timur, red) pada 1989 membawa atensi global terkait situasi di sana sekaligus menjadi dukungan moral. Lawatan Sri Paus jadi pengingat bahwa mereka tidak sendiri walaupun Sri Paus juga mesti cermat dalam bertindak agar tidak menyinggung pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah,” tulis Jeff Kingston dalam The Politics of Religion, Nationalism, and Identity in Asia.
Masih di hari yang sama dengan misa kudus di Maumere yang dipimpinnya, Sri Paus tiba di Dili pada 12 Oktober 1989. Keamanan yang diberikan tentu lebih ketat.
Baca juga: Timor Timur Membangun Solidaritas Internasional
Menurut B. Heri Yulianto dalam 328 Para Battalion: The Untold Stories of Indonesian Legendary Paratroopers, berbagai unsur TNI dikerahkan menyokong Tim Lima yang mengawal Sri Paus. Salah satunya Yonif Para Raider 328 dalam Operasi Tahap XVIII (Operasi Kresna 03).
Sri Paus menggelar misa kudusnya di Tasi Tolu, Dili, dengan diramaikan para hadirin yang membawa poster-poster anti-integrasi. Ia paham situasinya. Tad Szulc dalam biografi Pope John Paul II mencatat, Sri Paus dalam khutbah Ekaristinya turut mendoakan sekira 200 ribu orang yang meregang nyawa selama Invasi Timor Timur (1975-1976).
“Ia berbicara dengan terang soal kekerasan tanpa menyebut pihak Indonesia walaupun tidak diragukan lagi pihak mana yang Sri Paus kutuk di hadapan puluhan ribu orang yang mengikuti misa terbuka itu,” sambung Kingston.
Selepas misa, massa tetap bertahan di lokasi. Bahkan, puluhan di antaranya menggelar demonstrasi anti-integrasi yang direspon dengan penangkapan lusinan pendemo.
“Aksi damai dengan meneriakkan slogan-slogan dan spanduk-spanduk anti-integrasi itu diikuti tindakan pengamanan, penangkapan, dan penyiksaan. Mereka yang berhasil kabur mengungsi ke gereja dan kediaman resmi Uskup (Carlos Filipe Ximenes) Belo,” ungkap Catherine E. Arthur dalam Political Symbols and National Identity in Timor-Leste.
Sementara itu, Sri Paus bertolak ke Medan, Sumatera Utara. Mengutip buku Kisah Kedatangan Sri Paus ke Indonesia, Paus Yohanes Paulus II dijadwalkan memimpin misa kudus di Lapangan Pacuan Kuda Tuntungan dekat perbatasan Medan-Deli Serdang pada 13 Oktober 1989.
Baca juga: Adopsi demi Integrasi
Misa itu dihadiri sekira 150 ribu jemaat. Menariknya, paduan suara yang mengiringinya dengan menampilkan lagu-lagu daerah adalah paduan suara gabungan dari gereja-gereja Katolik dan Protestan.
“Sebelum memimpin doa, Paus juga menerima ulos. Pemberian pakaian adat Batak. Hal ini menandakan Paus diterima secara adat Batak. Tidak lupa dalam khotbahnya, Sri Paus menyelipkan bahasa Indonesia dan bahasa Batak. Beliau memulai ceramahnya dengan menyapa umat: ‘Putra-putriku dari Sumatera yang terkasih dalam Tuhan kita Yesus Kristus, Horas,’” tambah Tono Suratman.
Selepas misa, Sri Paus bertolak kembali ke Jakarta untuk agenda pertemuan terakhir dengan Presiden Soeharto dan acara penutupan lawatan bersama para uskup dan anggota-anggota Konferensi Waligereja Indonesia. Lalu pada 14 Oktober 1989, Sri Paus berpamitan untuk terbang ke Mauritius sebelum pulang ke Vatikan pada 16 Oktober 1989.
“Terlepas dari situasi di Dili, Paus Yohanes Paulus II mengaku terkesan dengan toleransi beragama secara implisit yang terkandung dalam ideologi nasional Indonesia, Pancasila. Kunci dari toleransi ini adalah pemisahan agama dari politik oleh negara dengan cermat,” tukas Michael R. J. Vatikiotis dalam Indonesian Politics Under Suharto: The Rise anf Fall of the New Order.