Demi Timor Timur, Uang Palsu Dimainkan

Uang palsu menghiasi sejarah Indonesia. Termasuk demi Timor Timur di masa pengujung Orde Baru yang "memakan" korban seorang jenderal.

Oleh: Petrik Matanasi | 20 Jan 2025
Demi Timor Timur, Uang Palsu Dimainkan
Suasana pasar uang di Pasar Glodok, Jakarta pada 1950. Dalam pasar uang seperti ini, sering tersua uang palsu. (ANRI).

BANYAK orang mendadak heboh karena adanya kasus uang palsu yang dicetak di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar. Tak hanya produk uang palsunya yang amat mirip dengan uang asli sehingga kabarnya bisa beredar lewat mesin ATM, proses pembuatannya pun di luar kebiasaan. Produksi uang palsu tersebut dilakukan di sebuah institusi pendidikan dan sudah dilakukan dalam waktu tidak sebentar. Akibatnya, 17 orang ditetapkan menjadi tersangka dan proses pengadilannya masih berjalan hingga sekarang.

Kasus uang palsu sejatinya bukan perkara baru di Indonesia. Oeang Republik Indonesia (ORI), yang merupakan salah satu cikal-bakal mata uang rupiah, pun sejak awal kemerdekaan kerap dipalsukan. Sebab, di tiap daerah, kepala daerah mencetak mata uang ORI sendiri.

Di Tapanuli, yang dipimpin dr. Ferdinand Lumban Tobing, terdapat Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA). Selaku pimpinan, dr. Ferdinand mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya uang palsu.

Advertising
Advertising

“Untuk mencegah pemalsuan, setiap lembar Orita ditandatangani oleh tujuh orang termasuk dr FL Tobing sebagai residen dan Ketua Dewan Pertahanan Daerah,” catat Nana Nurliana S dalam buku Dr. Ferdinand Lumban Tobing.

Toh langkah preventif tak menjamin keberhasilan 100 persen. Uang palsu tetap muncul di Tapanuli.

“Ternyata tidak sedikit uang palsu yang beredar sehingga mengacaukan perekonomian rakyat,” sambung Nana Nurliana.

Pengacau perekonomian tersebut tentu dikaitkan dengan pihak Belanda yang pada 1945 hingga 1949 ingin menguasai kembali Indonesia. Banyak pribadi atau golongan yang diam-diam ataupun terang-terangan mendukung Belanda.

Tak hanya di Tapanuli, Sumatra Utara, uang palsu juga beredar di Surakarta, Jawa Tengah. Dalam Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Julianto Ibrahim mencatat uang palsu, baik ORI palsu maupun NICA palsu, telah merusak sistem pembayaran di Surakarta.

Setelah Perang kemerdekaan Indonesia selesai, uang palsu tetap tak hilang dari Indonesia. Bahkan, kasus uang palsu yang menggemparkan publik terjadi di masa awal Reformasi. Adalah Ismail Putra, seorang yang mengaku masa mudanya pernah menjadi intel dari Resimen V Angkatan Perang Republik Indonesia, yang menjadi otaknya. Uang yang dipalsukannya adalah pecahan Rp50.000.

Pada Juli 2000, Ismail Putra dan Eddy Kereh dijadikan tersangka pemalsuan uang. Ismail Putra dikenakan pasal 244 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu menyebut: barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Kasus uang palsu Ismail Putra rupanya menyeret nama Jenderal Tyasno Sudarto. Ketika kasus uang palsu ini disidangkan pada tahun 2000, Tyasno menjabat kepala staf angkatan darat (KSAD), dari Oktober 1999 hingga Oktober 2000. Menurut Ismail Putra, ketika uang-uang palsu itu dicetak, Tyasno belum menjadi KSAD, dia masih Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) dengan pangkat letnan jenderal.

Pengakuan Ismail Putra jelas membuat sang jenderal yang merasa nama baiknya dicoreng angkat bicara. “Tuduhan itu tidak benar,” bantah Tyasno Sudarto dengan keras, seperti dikutip dalam buku Bencana Uang Palsu.

Terlepas dari bantahan Jenderal Tyasno, uang palsu tersebut menurut Ismail digunakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Timor-Timur yang nyaris lepas dari Republik Indonesia. Uang palsu tersebut menjadi satu bentuk medium dukungan ABRI kepada milisi pro-integrasi yang mendukung Timor-Timur tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. 

“Sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat dituduh memproduksi dan mendistribusikan uang palsu bernilai jutaan dolar. Salah seorang yang terlibat adalah Brigadir Jenderal Soemaryono, perwira perencaan di bawah Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo Hadisiswoyo,” kata buku Chega! Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste, Volume 5.

Uang palsu itu merupakan operasi rahasia untuk membiayai milisi-milisi pro integrasi. Salah satu milisi yang sohor namanya adalah Eurico Guterres. Dia tak pernah dipenjara karena kasus uang palsu itu. Namun, tidak demikian dengan KSAD Jenderal Tyasno. Dia apes.

“Jenderal Tyasno Sudarto dicopot pula dari jabatan KASAD antara lain karena isu uang palsu,” catat Mayor Jenderal (purnawirawan) Kivlan Zen dalam Masalah Internal TNI AD 1945-2000.

TAG

uang palsu sejarah ekonomi timor-timur

ARTIKEL TERKAIT

Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian II) Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian I) Yusman Sudah Komando Sebelum Sekolah Perwira Baku Tembak karena Kaget Adopsi demi Integrasi Antara Temasek, 1MDB, dan Danantara Efisiensi Mahathir Potong Gaji Menteri Perjalanan Hidup Mar'ie Muhammad, Menteri Keuangan Berjuluk "Mr. Clean" Mencukupi Nutrisi Bukan Hanya Makan Nasi Perjalanan Susu ke Indonesia, dari Konsumsi hingga Industri