KASUS korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 menggegerkan masyarakat Indonesia. Pengungkapan perkara korupsi yang menyeret nama sejumlah petinggi Pertamina itu membuat publik geram, sebab Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-blending atau dioplos di depo maupun storage menjadi Pertamax. Dalam proses pengadaannya, bahan bakar minyak (BBM) Pertalite tersebut dibeli dengan harga lebih tinggi atau setara harga Pertamax. Akibat perbuatan ini kerugian negara pada 2023 diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun.
Masyarakat yang marah dan kecewa kepada Pertamina memutuskan untuk mengisi BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik swasta. Salah satunya SPBU milik Shell. Walaupun Shell baru saja menaikkan harga sejak 1 Maret 2025, antrean kendaraan masih terlihat di beberapa lokasi SPBU berlogo kerang tersebut.
Logo kerang tak semata berkaitan dengan aktivitas perusahaan Shell dalam industri migas dan BBM. Lebih dari itu, kerang seakan menjadi pengingat akan sejarah kemunculan perusahaan ini yang mulanya berkaitan dengan penjualan barang-barang antik.
Baca juga:
Menurut Vasily Simanzhenkov dan Raphael Idem dalam Crude Oil Chemistry, sejarah perusahaan Shell dimulai pada 1833, dalam situasi yang tidak biasa bagi perusahaan minyak, ketika Marcus Samuel dari Inggris membuka sebuah toko kecil di London yang menjual benda-benda aneh dan antik serta kerang laut yang menjadi kesukaan orang-orang Victoria pada masa itu. Kerang-kerang yang dipasarkan Samuel cukup beragam, ada yang dihias dan tidak sedikit pula yang dibentuk menjadi kotak-kotak dekorasi yang memanjakan mata.
“Kerang saat itu sangat populer sebagai dekorasi, dan tidak butuh waktu lama sebelum perdagangan kerang berubah menjadi bisnis ekspor-impor yang berkembang pesat,” tulis Simanzhenkov dan Idem.
Sejarah Shell sebagai perusahaan minyak dimulai pada 1890-an ketika Marcus Samuel Junior melakukan perjalanan bisnis ke Jepang. M.S.Vassiliou menulis dalam Historical Dictionary of the Petroleum Industry, pria kelahiran London, 5 November 1853 itu tertarik dengan industri perminyakan dan melihat peluang dalam pengangkutan minyak. Ia membeli armada kapal tanker dan pada 1892 berhasil mendapatkan izin untuk kapal tankernya transit di Terusan Suez.
“Kapal-kapal tankernya merupakan kapal tanker minyak pertama yang berhasil memikat perusahaan Terusan Suez atas keamanan dan kelayakannya. Ia mampu mengirimkan produk minyak bumi Rothschild dari Rusia ke Bangkok dan Singapura, di mana produk tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih murah dari pada Standard Oil,” tulis Vassiliou.
Karena menginginkan sumber minyak mentah yang lebih dekat dengan pasarnya, Samuel pindah ke operasi hulu, mengeksplorasi minyak di Kalimantan yang dikuasai oleh Belanda. Menurut Ronald W. Ferrier dan J. H. Bamberg dalam The History of the British Petroleum Company, Samuel ingin mengembangkan bisnisnya menjadi lebih besar. Sadar akan koneksinya yang luas di wilayah Timur Jauh, ia tak puas hanya mengirimkan kargo minyak menggunakan kapal tanker yang dibangun khusus, S. S. Murex. Oleh karena itu, pada tahun berikutnya, Samuel mendirikan Tank Syndicate yang kemudian diubah menjadi Shell Transport and Trading Company pada Oktober 1897.
Baca juga:
Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan
Marcus Samuel dan saudaranya, Sam Samuel, menamai usaha baru ini dengan nama yang diambil dari usaha dagang ayah mereka yang paling menguntungkan, yaitu kerang laut hias. Merek dagang pertama perusahaan baru ini, yang didaftarkan pada 10 Oktober 1900, adalah gambar kerang.
Sementara itu, penemuan minyak di Sumatra pada akhir abad ke-19 mendorong lahirnya Royal Dutch Company tahun 1890. Vassiliou menyebut perusahaan ini didirikan oleh Aeilko Zijlker. Tak lama setelah perusahaan tersebut berdiri, Royal Dutch sukses meraih keuntungan yang menjanjikan. Namun, setelah kematian Zijlker, perusahaan ini mengalami kemunduran dan produksinya menurun.
Royal Dutch kemudian diambil alih oleh Jean-Baptis Kessler. Namun, Kessler kekurangan modal untuk membangkitkan kembali perusahaan ini. Ia mendekati kenalannya, Henri Deterding, mantan manajer bank di Penang. “Deterding mengambil kesempatan dan meminjamkan uang yang dibutuhkan Royal Dutch, dengan menggunakan minyak dalam inventaris sebagai jaminan,” tulis Vassiliou.
Pada 1895, Deterding mulai bekerja untuk Royal Dutch. Ia kemudian menjadi direktur pelaksana menggantikan Kessler yang meninggal pada Desember 1900. Deterding memiliki visi menjadikan Royal Dutch, yang saat itu pemain kecil, menjadi kekuatan besar dalam industri perminyakan. Ia percaya pada aliansi global antara perusahaan-perusahaan dan eksploitasi pasar yang teratur. Oleh karena itu, ia tak suka dengan persaingan yang merusak, di mana perang harga kerap dijadikan senjata. Hal inilah yang dilakukan Standard Oil untuk mendominasi pasar. Perusahaan Amerika Serikat itu memulai perang harga di Asia sejak tahun 1894 dan terkadang memberikan lampu minyak secara gratis.
Deterding mendekati Marcus Samuel. Ia beberapa kali mengusulkan aliansi mengingat Shell memiliki ladang minyak di Asia Timur dan organisasi transportasi canggih yang dapat menghalangi dominasi Standard Oil. Alih-alih bersaing satu sama lain, dalam pandangan Deterding, akan lebih baik bila mereka bekerjasama untuk menahan dominasi Standard Oil. Terlebih baik Shell maupun Royal Dutch pernah menjadi target pengambilalihan Standard Oil.
Upaya kerjasama sesungguhnya telah dilakukan sejak Kessler masih memimpin Royal Dutch. Kessler melakukan diskusi dengan Shell pada 1890-an untuk menggabungkan operasi pemasaran, tetapi kedua perusahaan belum mencapai kesepakatan formal. Hal ini sebagian besar karena Shell ingin lebih dari sekadar menggabungkan operasi pemasaran; perusahaan tersebut ingin mengakuisisi Royal Dutch.
Baca juga:
Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Menurut sejarawan Amerika, Mira Wilkins dalam The History of Foreign Investment in the United States to 1914, setelah melalui diskusi yang panjang dan tidak mudah, Royal Dutch Company dan Shell sepakat membentuk koalisi. Hubungan kerjasama ini menjadi formal pada 1902-1903 ketika perusahaan-perusahaan Inggris dan Belanda, yang bergabung dengan Rothschild Paris, mengorganisir Asiatic Petroleum Company untuk menjual minyak dari Jepang ke Afrika Selatan.
Ketika Royal Dutch dan Shell bergabung membentuk Royal Dutch Shell Group pada 1907 dengan Henri Deterding sebagai direktur utama, mereka menciptakan struktur modal yang kompleks dan tak biasa, yang terdiri dari dua perusahaan induk. Kedua perusahaan induk itu adalah Anglo-Saxon Petroleum Company dan Bataafsche Petroleum Maatschappij.
Vassiliou menyebut perusahaan yang pertama didirikan di bawah hukum Inggris dan yang kedua di bawah hukum Belanda. Shell memiliki 40 persen saham dan Royal Dutch memiliki 60 persen saham. “Struktur modal dasar ini akan terus berlanjut selama hampir satu abad hingga tahun 2005, ketika grup ini dilebur menjadi satu perusahaan Royal Dutch Shell –yang oleh hampir semua orang menyebutnya Shell,” jelas Vassiliou.*