Biliki, Petrus Kanisius, Iqbal Menezes, Zacarias Pereira, Benvindo bukanlah sekadar nama-nama. Mereka, bersama ribuan putra dan putri asal Timor Leste, mewakili sebuah tragedi. Mereka tercerabut dari akarnya di tengah perang dan pendudukan militer Indonesia.
Sejarawan lazim melukiskan kolonialisme dengan beleid, ketimpangan negeri terjajah, kebangkitan nasionalisme, dan seterusnya. Buku ini justru memperlihatkan bahwa kolonialisme dapat digambarkan melalui kisah dramatis anak-anak yang dibawa dari Timor Timur –nama yang disematkan Indonesia setelah menduduki wilayah ini– ke Indonesia, secara paksa atau setengah paksa, sejak 1975 hingga 1999.
Mereka dibawa dengan persetujuan orangtua, ada pula yang tanpa izin atau dengan tipu daya. Ada yang diperlakukan dengan baik, ada yang dipekerjakan, bahkan menjadi semacam budak. Sekitar dua dari empat ribu kasus berlangsung melalui lembaga-lembaga, separo lainnya adopsi. Karena itu, Helene memilih istilah netral “transfer” untuk menangkap makna “pengiriman”, “pengambil-alihan”, “penculikan” dan “perdagangan anak”.
Perjalanan hidup anak-transfer tersebut warna-warni dan kompleks. Helene van Klinken mendeskripsikannya secara padat dan rinci transfer itu, nasib mereka di Indonesia, hingga lembaga-lembaga yang bertanggungjawab atas nasib mereka. Semua itu diletakkan dalam kerangka sejarah kolonialisme Indonesia di bekas provinsi ke-27 tersebut.
Helene menuliskannya berdasarkan wawancara, penelitian arsip, dan pendekatan oral history yang lebih personal dan akrab di Indonesia dan Timor Leste, untuk tesisnya di University of Queensland, Brisbane.
Beragam Motif
Di Timor Leste maupun di Indonesia, mengadopsi anak adalah lazim dan biasanya terjadi di antara keluarga dan kerabat dengan alasan ekonomi. Pokok buku ini bukan tradisi ini, melainkan transfer anak di masa perang dengan motif dan cara berbeda-beda.
Adopsi ini kadang diformalkan dengan imbalan uang dan beras, atau dengan dokumen. Namun persetujuan orangtua layak diragukan karena mereka mengira dokumen itu memastikan sang anak akan kembali selepas sekolah tapi nyatanya tak pernah terjadi. Dalam banyak kasus, orangtua biologis akhirnya kehilangan kontak dengan orangtua adopsi.
Tekanan sosial, penindasan, dan ketakutan diduga melatari motif transfer anak. Namun, bukan mustahil, ada orangtua yang berharap masa depan anaknya menjadi lebih baik. Yang pasti, suasana putus asa yang meluas di tengah perang mendorong orangtua Timor menyerahkan anak mereka. Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat sebanyak 4.534 anak diangkut ke Indonesia sejak 1975 hingga 1999.
Baca juga: Kisah Perwira di Wilayah Sengketa Timor Timur
Salah satunya Biliki. Putri desa terlahir pada 1969 ini berasal dari keluarga petani. Ketika tentara Indonesia masuk pada 1975, dia ikut pamannya masuk hutan. Setelah menyerah, dia tinggal di sebuah gedung di Ainaro yang merangkap rumah dan sekolah. Pamannya memintanya menjauhi tentara Indonesia yang menjaga kompleks tersebut.
Suatu hari seorang anggota Kopassus (kala itu RPKAD) mengajak Biliki dan teman-temannya naik truk. Dengan helikopter, Biliki dibawa ke tangsi Taibesi, Dili, sempat lari tapi diambil lagi. Akhirnya dia hidup di kompleks Kopassus di Cijantung.
Di masa Orde Baru, dia ingin mencari orangtuanya di Timor Timur, tapi takut. Melalui Komisi Kebenaran Penerimaan dan Rekonsiliasi (CAVR), Mei 2004, Biliki kembali, namun sulit untuk hidup di sana. “Saya orang Timor Leste walaupun tumbuh dewasa di Indonesia dan berkewarganegaraan Indonesia,” ujarnya.
Kata-kata teguh Biliki ini menyingkap hasrat identitas anak transfer yang tak lekang sekalipun riwayat pribadi dan bangsanya pernah tergores penjajahan. Ada yang namanya diubah, di-Indonesia-kan, bahkan ada yang (harus) berganti agama.
Demi Integrasi
Zaman merdeka bagi anak-anak transfer merupakan halaman baru yang tetap menyisakan trauma masa silam. Biliki harus berganti orangtua-adopsi dua kali. Kakak-beradik Agusta dan Madelina hidup terpisah di dua keluarga; demikian juga Luis dan Agusta. Banyak yang sulit menyesuaikan diri di sekolah-sekolah Indonesia akibat trauma dan kurang pangan.
Ada yang diusir orangtua angkat atau terdampar di dunia kriminal. Ada pula yang jadi terkenal seperti aktor sinetron Toni Taulo (anak angkat Mayjen Kiki Syahnakri), petenis Sebastian da Costa (anak-angkat Yunus Yosfiah), bos preman Tanah Abang Hercules (anak angkat Zacky Anwar Makarim), dan petinju Thomas Americo (anak angkat prajurit Brawijaya). Para perwira tinggi Indonesia biasanya memilih yang cerdas untuk diadopsi dan disekolahkan. Seperti Francisco Kalbuadi (anak angkat Dading Kalbuadi) jadi pejabat di Dili dan Dominggos Savio (anak angkat Prabowo Subianto) jadi dutabesar Timor Leste di Singapura.
Adopsi anak-transfer merupakan salah satu cara petinggi Indonesia menandingi Front Klandinista, kelompok prokemerdekaan di kalangan mahasiswa Timor Leste di Indonesia pada 1990-an. Sebelumnya, menyusul invasi 1975, Presiden Soeharto sendiri mensponsori 61 anak-transfer untuk disekolahkan di Indonesia. Dengan cara-cara ini, negara ingin menunjukkan “kemurahan hati” dan memamerkan betapa putra-putri Timor Leste “menginginkan” integrasi.
Baca juga: Timor Timur Membangun Solidaritas Internasional
Helene van Klinken telah menyumbang pengetahuan berharga tentang transfer anak dari Timor Leste, yang tak dikenal publik. Apabila dibandingkan dengan kisah anak-anak pengungsi Timor Leste di Nusa Tenggara Timur yang terekam dalam buku Sindhunata (ed.), Jembatan Air Mata, Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur, akan tampak gejala anak-transfer sebagai fungsi politik kolonial.
Menjadikan anak transfer Timor Leste sebagai “putra-putri bangsa Indonesia”, yang merupakan tujuan pemerintah Indonesia, menunjukkan perilaku negara yang menganggap diri superior. Di sini, kepedulian prajurit TNI terhadap nasib anak-anak tersebut berkelindan dengan kepentingan pribadi dan negara. Dalam relasi kolonial, cara-cara tersebut mencerminkan upaya pihak penguasa-cum-penjajah untuk menegaskan hegemoninya dalam melestarikan suatu penjajahan, yang secara eufemistis disebut “integrasi”.