SEPUCUK surat untuk Letnan Satu Kiki Syahnakri datang di pengujung 1974. Isinya perintah pindah tugas ke Komando Distrik Militer (Kodim) Atambua. Dia tersentak. Semangat tugasnya di Komando Daerah Militer (Kodam) XVI/Udayana sebagai komandan peleton tempur sedang tinggi-tingginya. Apalagi cita-cita bertugas di satuan tempur telah tercapai. Tapi Kiki tak harus dan berangkat ke Atambua.
Atambua terletak di Pulau Timor, tak jauh dari perbatasan Indonesia dan Timor Portugis –nama Timor Timur sebelum integrasi ke Indonesia. Dari Waingapu, Kiki harus menempuh sehari perjalanan dengan bus umum menuju Atambua. Perjalanan berat bukan main. Sebagian besar jalan tak teraspal, penuh lumpur. Bus juga mesti melintasi sungai-sungai yang belum dilengkapi jembatan. Setiba di Atapupu, distrik kecil di Atambua, Kiki bergabung ke dalam tim yang tengah mempersiapkan daerah operasi.
Pemerintah Indonesia sudah membaca situasi Timor Portugis setelah Revolusi Bunga di Portugal pada April 1974. Timor Portugis sebagai jajahan Portugal beroleh hak menentukan nasibnya. Tiga kekuatan muncul di sana: Fretilin (ingin merdeka), UDT (federasi ke Portugal), dan Apodeti (integrasi ke Indonesia). Cepat atau lambat, konflik bakal meletus. Dengan sokongan Amerika Serikat, TNI bersiap masuk ke sana. Markas Besar (Mabes) TNI memerintahkan Kodim Atambua membuat Analisis Daerah Operasi.
Kiki kebagian tugas menginventarisasi pos-pos secundalinha (pos-pos terdepan di perbatasan), yang terdiri dari 10-12 milisi lokal Timor Portugis. Dia juga mengamati kondisi dan kontur geografis wilayah perbatasan untuk mengukur tingkat kesulitan dan memudahkan TNI melintasi wilayah itu.
“Kamu tak boleh banyak berkomunikasi dengan warga,” begitu pesan Komandanya.
Tapi Kiki seringkali bertanya ke warga perihal nama-nama daerah di sana. Apalagi peta yang dimiliki TNI tak mencantumkan nama tiap daerah. Untuk mengatasi kendala bahasa, Kiki belajar bahasa setempat, Tetun. Perlahan, dia mulai mengenal masyarakat Timor Portugis, menggaulinya, lalu jatuh hati dengan mereka.
Mutasi itu ternyata menghadirkan pengalaman menarik dan menantang yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Ini terungkap dalam bukunya, Timor Timur The Untold Story.
Beberapa Gesekan
Beberapa bulan sebelum invasi pasukan Indonesia ke Timor Portugis, tim Komando Operasi Pasukan Sandi Yudha (nama lama Kopassus) tiba di Atambua pada Agustus 1975. Tim ini memiliki nama sandi Flamboyan dan terdiri atas tiga subtim: Susi, Umi, dan Tuti. “Misi utamanya membuka jalan bagi pelaksanaan operasi pokok TNI/ABRI di Timor Portugis,” tulis Kiki.
Kiki, yang menjabat komandan Koramil Atapupu, pernah bergesekan dengan tim Susi. Kala itu situasi perbatasan memanas. Demi keberhasilan operasi militer, pemerintah Indonesia membatasi suplai bahan bakar ke wilayah Timor Portugis. Wilayah perbatasan pun diperketat. Padahal sejumlah anggota tim Susi telah merangsek masuk ke Timor Portugis.
Suatu hari, kiriman bahan bakar untuk tim Susi tiba di Atapupu dan disimpan di rumah warga. Curiga bakal digunakan Fretilin, Kiki menyitanya. Seorang perwakilan tim Susi mengaku bahwa bahan bakar itu milik mereka. Kiki tak lantas percaya, apalagi jumlahnya melebihi kuota. Terjadi ketegangan, yang kemudian reda setelah pemimpin mereka turun tangan.
Tak lama setelah itu, invasi digelar. Dan Timor Portugis dinyatakan resmi berintegrasi ke Indonesia pada Juli 1976. Tapi perlawanan bawah tanah kelompok pro-kemerdekaan yang digalang Fretilin tak surut.
Selang 20 tahun kemudian, gesekan kembali mewarnai karier Kiki. Tak tanggung-tanggung, dia bersilang pendapat dengan Kolonel Prabowo Subianto, wakil komandan Kopassus. Musababnya perihal usul Prabowo tentang pembentukan “massa tandingan”.
Prabowo tak mau TNI terus disalahkan dan dituding sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur. Karena itu, dia memandang TNI tak perlu turun menghadapi massa. Cukup massa menghadapi massa. Kiki tak berterima. Dia menganggap usul ini ceroboh dan berpotensi memicu konflik horizontal. Keduanya tak mau mengalah. Dua minggu setelah perselisihan, jabatan Kiki sebagai komandan Korem (Komando Resort Militer) Timor Timur dinyatakan berakhir.
Refleksi Lepasnya Timor Timur
Selama di bawah kuasa Indonesia, Timor Timur terus bergejolak. Pemerintah pusat berupaya meredamnya dengan operasi militer. Selain itu, pemerintah memberi anggaran pembangunan daerah yang besar. “Timor Timur yang saat itu mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat mendapat limpahan dana yang sangat besar,” tulis Kiki. Bahkan lebih besar ketimbang anggaran untuk provinsi Nusa Tenggara Timur.
Semua cara itu tak berhasil. Timor Timur akhirnya lepas dari pangkuan Indonesia pada 1999 dan berganti nama menjadi Timor Leste.
Kiki mengakui banyak kesalahan yang dibuat pemerintah pusat dan TNI. Pemerintah, misalnya, mengabaikan struktur sosiologis dan adat masyarakat Timor Timur. Gereja dan otoritas adat kerap dipinggirkan dalam meredam perlawanan. Sementara TNI, dalam taktik dan strategi operasi, dinilai jauh dari penghargaan terhadap nilai-nilai HAM.
“Jatuhnya korban di kalangan rakyat, selain melanggar hukum humaniter dan melukai hati rakyat, secara perlahan juga menciptakan musuh baru bagi TNI,” tulis Kiki.
Kiki sendiri tak lepas dari tuduhan pelanggaran HAM berat oleh lembaga swadaya masyarakat dan media asing. Dia dianggap membiarkan milisi pro-integrasi berkonflik dengan rakyat, jelang dan usai referendum 1999. Cap master of terrors disematkan padanya. Tapi dia menampiknya.
“Tudingan-tudingan seperti itu adalah bagian dari pembunuhan karakter yang dengan sengaja dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu,” tulis Kiki. Untuk mendukung pernyataannya, dia hadirkan kesaksian Peter Cosgrove, komandan Interfet (International Force for East Timor), yang bilang Kiki melakukan tugasnya dengan baik ketika memimpin pasukan TNI.
Beberapa babak sejarah Timor Timur seperti kasus Balibo dan Santa Cruz tak disinggung dalam buku ini. Karena itu, pengamat politik CSIS, J. Kristiadi, menilai buku ini akan lebih kredibel bila ditulis orang netral. “Meski demikian, tetap ada kejujuran yang disampaikan dalam buku ini,” ujarnya dalam peluncuran buku Kiki di Grand Sahid Jaya.