AKSI spionase di masa Perang Dunia II selalu menarik untuk ditelusuri. Mata-mata dari berbagai negara seperti Jerman, Inggris, Amerika Serikat, hingga Jepang saling beradu strategi untuk mencuri informasi penting dan menggalang dukungan demi memenangkan perang. Oleh karena itu, meski aksi para spion seringkali tak mencolok karena mereka bekerja seperti bayangan, aktivitas spionase selama perang berkecamuk turut memainkan peran penting. Bahkan, dalam beberapa kasus, mata-mata dipandang sebagai senjata rahasia untuk menghancurkan musuh.
Menurut Craig Nelson dalam Pearl Harbor: From Infamy to Greatness, jika senjata rahasia Amerika pada Perang Dunia II adalah radar dan pemecah kode, maka senjata rahasia Jepang adalah mata-mata. Para spion dari Negeri Samurai itu disebar ke berbagai wilayah, salah satunya Amerika, untuk menggali informasi mengenai kekuatan musuh dan membantu persiapan serangan ke wilayah lawan. Tugas ini diemban oleh Takeo Yoshikawa yang akan memainkan peran besar dalam serangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.
Yoshikawa tiba di Hawaii pada 27 Maret 1941. Menumpang kapal Nitta Maru yang berlayar dari Jepang, Yoshikawa menyamar sebagai Tadashi Morimura yang ditunjuk sebagai diplomat baru untuk Konsulat Jenderal Jepang di Honolulu, Hawaii.
Baca juga:
Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor
Kedatangan Yoshikawa menarik perhatian intel Amerika, sebab banyak rumor yang menyebut bahwa Konsulat Jepang di Honolulu merupakan sarang spionase di Oahu. “Meski Amerika Serikat telah menutup Konsulat Jerman dan Italia pada saat itu, Kedutaan Besar Jepang tetap terbuka, karena Amerika berpikir akan mengganggu negosiasi perjanjian yang sedang berlangsung jika mengusir mereka. Selain itu, pihak AS beranggapan bahwa agen asing Jepang tidak kompeten secara mental dan fisik sehingga tidak terlalu menimbulkan ancaman,” tulis Nelson.
Desas-desus yang merebak di kalangan intel Amerika mengenai aktivitas spionase di Konsulat Jepang di Honolulu pada kenyataannya benar. Alih-alih memiliki pengalaman yang berkaitan dengan diplomat, Yoshikawa sesungguhnya seorang perwira angkatan laut yang kariernya terhenti karena sakit dan akhirnya diberi tugas melakukan pengintaian di wilayah musuh.
Sebelum memulai tugasnya sebagai mata-mata di Hawaii, Yoshikawa belajar bahasa Inggris dan mempelajari semua sumber daya yang tersedia tentang Angkatan Laut AS. Ia juga mencari informasi mengenai letak geografis wilayah Hawaii. Pelajaran-pelajaran ini sangat membantunya ketika menjalankan tugas sebagai mata dan telinga bagi Jepang.
Setibanya di Hawaii, Yoshikawa segera memulai tugasnya sebagai mata-mata.
Mark Harmon dan Leon Carroll menulis dalam Ghosts of Honolulu: A Japanese Spy, a Japanese American Spy Hunter, and the Untold Story of Pearl Harbor, “diplomat” baru itu mengunjungi sejumlah tempat, kebanyakan tempat wisata, yang memungkinkannya melihat pemandangan dari udara untuk memantau aktivitas di pangkalan militer AS. Ia juga bertemu dengan orang-orang Jepang yang tinggal di wilayah tersebut. Namun, ia mendapat wejangan dari atasannya untuk tidak mempercayai orang Jepang yang tinggal di Hawaii karena mereka tidak terlalu antusias dalam mendukung misi ekspansi Jepang ke luar negeri.
Baca juga:
Mata-mata Jepang dalam Kekalahan Belanda
Dengan mengenakan pakaian turis berupa celana panjang linen dan kemeja bermotif floral yang disebut kemeja Aloha, Yoshikawa mengunjungi tempat-tempat wisata, pantai, hingga kedai teh yang dioperasikan oleh orang Jepang. Menurut Nelson, “diplomat” muda itu juga sesekali berenang di dekat tepi luar Pearl Harbor untuk mencari kapal selam dan jaring torpedo. Bersama dengan beberapa wanita dari konsulat, Yoshikawa mengikuti tur perahu dengan dasar kaca di pelabuhan Kaneohe dan mencatat berbagai kedalamannya.
“Di klub anggar Jepang yang populer di kalangan perwira militer AS, Yoshikawa dikenal sebagai ‘pendengar yang penuh perhatian’, sementara di kedai teh Shuncho-Ro di Alewa Height, ia minum dan makan sepuasnya sambil dilayani oleh para geisha dan menggunakan teleskop yang disediakan oleh pemiliknya untuk para turis di lantai dua, Yoshikawa menjalankan tugas pengintaiannya,” tulis Nelson.
Aktivitas intelijen yang disamarkan dengan kegiatan pelesir ini membuat Yoshikawa tidak disukai oleh rekan-rekannya di Konsulat Jepang. Ia biasanya muncul di kedutaan pada pukul 11:00 siang, namun alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, Yoshikawa justru lebih sering terlihat menyusun rencana dan membuat catatan di meja kerjanya lalu pergi berkeliling Hawaii. Mereka yang tak mengetahui tujuan kedatangan Yoshikawa yang sebenarnya ke Hawaii menganggapnya sebagai pemalas dan peminum alkohol.
Baca juga:
Sebelum Pearl Harbor, Pesawat AL Jepang Pernah Tenggelamkan Kapal AL AS.
Yoshikawa membiarkan rekan-rekannya memandang dirinya dengan reputasi seperti itu. Menurut Nelson, hal itu sengaja dilakukan Yoshikawa untuk membuat rekan-rekannya di kedutaan menepis desas-desus bahwa ia adalah seorang perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Sebab, tidak ada seorang pun di angkatan laut, yang mereka tahu, yang akan berperilaku seperti itu.
Yoshikawa melakukan banyak misi pengintaian dari dalam taksi. Namun, tak jarang ia pergi berkeliling Hawaii bersama Masayuki Kotoshirodo, pria keturunan Jepang yang lahir di Hawaii dan memiliki kewarganegaraan ganda sebagai supir sekaligus pemandu “wisata”. Kotoshirodo, yang dikenal dengan nama Richard, cukup membantu Yoshikawa karena sebagai penduduk lokal, ia memiliki banyak informasi dan pengetahuan tentang berbagai hal di Hawaii, termasuk aktivitas militer AS.
Aksi spionase Yoshikawa membuatnya banyak mengetahui seluk beluk aktivitas serta tata letak instalasi maupun kapal dan pesawat militer AS di Hawaii. Terry Crowdy menulis dalam The Enemy Within: A History of Espionage, dari perjalanan ke Pearl City, Yoshikawa memperhatikan bagaimana kapal-kapal Amerika ditambatkan secara berpasangan, yang akan membatasi efek serangan torpedo. Ia juga memperhatikan sejumlah besar kapal berada di pelabuhan pada akhir pekan dan membuat catatan tentang arah dan durasi patroli udara.
Baca juga:
Tomegoro Yoshizumi, Intel Negeri Sakura
“Ketika mengunjungi Kaneohe, Yoshikawa mengundang dua staf konsulat wanita untuk melakukan perjalanan dengan perahu. Setelah mendengar desas-desus bahwa orang Amerika melihat Kaneohe sebagai tempat berlabuh alternatif, Yoshikawa memastikan bahwa kapal pelesirannya memiliki bagian bawah kaca yang dapat digunakan untuk mengukur kedalaman air. Dari sini ia melihat bahwa tempat itu terlalu dangkal untuk kapal-kapal besar. Pada 6 Agustus 1941, ketika publik diizinkan untuk berkunjung ke pangakalan udara Wheeler, Yoshikawa menjadi salah satu pengunjung. Meski tak dapat mengambil gambar karena kamera dilarang, ia mendapat banyak informasi tentang pangkalan, pesawat P-40, pilotnya, dan bagaimana tiga pesawat bisa lepas landas secara bersamaan,” tulis Crowdy.
Catatan-catatan yang dikirimkan Yoshikawa sangat bermanfaat bagi Jepang. Tanpa sepengetahuannya, pada September 1941 laporan-laporan dan informasi yang ia kirimkan ke Tokyo telah menjadi bahan pengawasan ketat oleh Biro Ketiga. Melalui laporan pengamatan Yoshikawa itu pula Jepang menyempurnakan rencana serangan ke Pearl Harbor di akhir tahun 1941.
Di sisi lain, serangan Jepang ke Pearl Harbor menyadarkan Amerika bahwa aktivitas spionase Jepang tak dapat dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, setelah serangan mematikan yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan sejumlah kapal dan pesawat militer AS itu, Konsulat Jepang di Honolulu yang telah lama dicurigai sebagai sarang spionase digerebek.
Yoshikawa dan staf konsulat lainnya ditahan selama sepuluh hari. Mereka kemudian dibawa dengan penjagaan ketat ke kapal Penjaga Pantai AS yang membawanya ke San Diego. Pada Maret 1942, Yoshikawa dan sejumlah staf Konsulat Jepang dimasukkan ke kamp interniran di Arizona, sebelum FBI membawa mereka ke New York City. Setelah itu, mereka dikirim ke Jepang di bawah pengaturan pertukaran diplomat antara negara-negara yang sedang berperang.*