BELAKANGAN ini, isu “partai coklat” ramai diperbincangkan. Kemunculannya seiring dengan pemilihan kepala daerah 2024 yang telah dilangsungkan beberapa hari lalu. Sejumlah politisi yang “melahirkan” istilah tersebut. Bagi mereka, apa yang dimaksud partai coklat adalah keterlibatan oknum polisi dalam pemilu sekarang.
Polisi sendiri adalah institusi negara yang dituntut netral dalam politik. Kendati begitu, keterlibatan polisi dalam politik di Indonesia bukan hal baru. Hanya cara berpolitiknya tak seperti sekarang. Akarnya dari era Hindia Belanda.
Di zaman Hindia Belanda, orang-orang pribumi yang jadi anggota polisi kolonial berhimpun dalam Inlandsche Politie Bond. Kebiasaan berserikat para polisi itu berlanjut setelah Indonesia merdeka. Setelah 1945, terdapat organisasi bernama Angkatan Muda Polisi Republik Indonesia di Jakarta, Pemuda Polisi Republik Indonesia di Kediri, Barisan Polisi Istimewa di Solo, Persatuan Sekerja Polisi (PSP) di Purwokerto serta Ikatan Buruh Polisi Republik Indonesia (IBPRI) di Bojonegoro. Organisasi-organisasi tersebut semacam serikat buruh di perusahaan-perusahaan.
Baca juga:
Pada 12 Mei 1946, sebuah kongres para warga kepolisian diadakan di Madiun. Adanya keinginan dari organisasi serikat pekerja kepolisian di daerah-daerah kepolisian untuk bersatu menjadi alasan di baliknya.
“Dalam kongres warga kepolisian di Madiun tanggal 12 Mei 1946, organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan itu secara resmi dilebur, dijadikan satu organisasi warga kepolisian yang bersifat nasional bernama Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia disingkat P3RI,” tulis Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian.
Domopranoto dipercaya menjadi ketua P3RI pertama, dengan wakilnya Oemar Sahid. Sekretarisnya Srimardji dan bendaharanya Honggopranoto.
P3RI dengan demikian sejak awal mengiringi perjalanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), yang sejak 1 Juli 1946 bernama Djawatan Kepolisian Negara (DKN) setelah sebelumnya menyandang nama Badan Kepolisian Negara (BKN).
Dalam kongres P3RI di Yogyakarta pada 1947, diputuskan bahwa anggota-anggota P3RI tidak dibenarkan berpolitik. Berpolitik yang dimaksud adalah, anggota P3RI tidak boleh menjadi anggota partai atau organisasi buruh.
Kendati jumlah anggota kepolisian RI bertambah besar setelah bubarnya negara-negara federal dan Republik Indonesia Serikat (RIS), pada 1950 organisasi warga kepolisian diputuskan tetap P3RI. Kala itu ketua P3RI adalah Memet Tanumidjaja dengan wakilnya Djen Mohammad Surjopranoto. Setelah 1953, posisi ketua diduduki Mohamad Basah dan Memet menjadi wakil ketua I.
Baca juga:
Pembersihan Polisi pada Masa Lalu
Di masa ini, P3RI aktif menyuarakan independensi kepolisian sekaligus menolak usulan penempatan kepolisian di bawah kementerian manapun. Independensi itu solusinya dengan pembentukan kementerian tersendiri untuk kepolisian.
“Dalam sebuah program yang disusun tahun 1948 atau 1949, P3RI menuntut adanya Kementerian Kepolisian yang independen. Fungsi kepolisian, sebagaimana dinyatakan, tidak lagi seperti di era kolonial, ketika polisi hanya menjadi asisten pamong praja dan kejaksaan. P3RI berpendapat bahwa sejak revolusi, kepolisian telah mengemban peran baru yang besar untuk memberikan kontribusi aktif bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan sosial, serta keamanan dalam negeri. Peran ini hanya dapat dipenuhi dengan baik jika kepolisian memiliki kementeriannya sendiri. Sebagai landasan teoritis untuk posisi yang luar biasa ini, P3RI menawarkan teori empat kekuasaan pemerintahan di mana kepolisian merupakan kekuasaan keempat,” tulis Daniel S Lev dalam Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays.
“Karena tidak ada kementerian baru, polisi berusaha menghindari penempatan di kementerian mana pun yang akan menjalankan kekuasaannya dengan paksa, khususnya Kementerian Kehakiman yang bersemangat. Untuk sementara waktu polisi lebih suka tetap berada di bawah Perdana Menteri, yang memberi mereka prestise dan independensi yang lebih besar.”
Menjelang Pemilu 1955, P3RI memutuskan ikut serta dalam pemilu tersebut. Menurut buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999, P3RI dapat 2 kursi parlemen alias Dewan Perwakilan Rakjat (DPR) dan 3 kursi di Konstituante (pembuat Undang-undang Dasar).
Baca juga:
Di DPR, kursi wakil P3RI diduduki Mohamad Basah dan Memet Tanumidjaja. Buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama - 1955) menyebut, Raden Mohamad Basah yang kelahiran Cicalengka, 9 November 1908 jadi polisi sejak 1943. Sebelumnya, dia pegawai kejaksaan sejak 1935. Sementara, Memet Tanumidjaja adalah sarjana hukum lulusan Recht Hoge School dengan gelar Mr. (Meester in Rechten) yang sejak 1942 jadi perwira polisi. Sementara wakil P3RI di Konstituante adalah Soekarno Djojonegoro (Kapolri 1959-1963), Achmad Bastari, dan Moedjoko Koesoemodirdjo.
Mereka berlima bekerja di DPR dan Konstituante dari 1956 hingga 1959, tahun ketika Dekrit Presiden dikeluarkan Sukarno dengan dukungan tentara yang dipimpin Nasution pada 5 Juli. Setelah 1959, polisi tetap punya wakil di MPRS/DPRS.
Setelah Kepolisian dimasukkan ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masa Orde Baru, P3RI dilebur menjadi Persatuan Anggota Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (PAAKRI). Setelah Pemilu 1971, tak ada lagi serikat pekerja kepolisian yang ikut serta menjadi peserta Pemilu. Anggota polisi aktif yang menjadi anggota DPR kala itu adalah bagian dari Fraksi ABRI yang jumlahnya cukup banyak di DPR.*