Masuk Daftar
My Getplus

Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa

Radius Prawiro memberi perhatian pada nasib petani dan koperasi. Menggalakkan swasembada beras, menata koperasi, hingga menyediakan kredit bagi pertani dan masyarakat desa.

Oleh: Randy Wirayudha | 18 Nov 2024
Presiden Soeharto didampingi Menteri Radius Prawiro dan Menteri M. Jusuf meninjau Bulog, 7 Agustus 1969. (Perpusnas RI).

RADIUS Prawiro punya perumpaan yang menarik mengenai swasembada. Dia menyebut misi swasembada beras bagi Indonesia serupa dengan misi Apollo ke bulan bagi Amerika Serikat. Butuh proses panjang dan biaya yang besar.

“Swasembada beras relatif mudah untuk direncanakan namun jauh lebih rumit dan sukar untuk dicapai,” catat Radius Prawiro dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi.

Swasembada beras sudah diupayakan sejak 1950-an. Beberapa program digulirkan tapi gagal mencapai sasaran. Pemerintah Orde Baru melanjutkan upaya swasembada beras dengan beragam alasan.

Advertising
Advertising

“Hal yang terutama, beras adalah makanan pokok bagi orang Indonesia,” ujar Radius. “Pemerintah sering menganjurkan masyarakat untuk memakan bahan makanan lain seperti roti, jagung, sagu, singkong, dan bahkan beras imitasi yang terbuat dari tepung terigu. Namun, rakyat tidak menyukainya.”

Ketersediaan beras selalu menjadi fokus kabinet. Pada Mei 1967, pemerintah membentuk Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai pengganti Komando Logistik Nasional (Kolognas) yang berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Bulog juga bertugas menjaga ketahanan pangan, memastikan pasokan beras senantiasa tersedia, dan stabilisasi harga beras.

Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro

Peran Bulog sangat sentral. “Kelangkaan beras merupakan pengalaman menakutkan bagi orang Indonesia, seolah-olah langit akan runtuh,” kata Radius.

Namun, hal itulah yang dialami pemerintah. Indonesia pernah mengalami kekuarangan beras pada periode 1969-1982. Yang paling parah terjadi pada 1972; menyebabkan harga meningkat lebih dari 100%.

Untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri, pemerintah harus mengimpor dari negara lain. Beberapa kali Radius mendapat penugasan. Pada 1968, sebagai gubernur Bank Sentral, dia berangkat ke Mesir untuk mengamankan kontrak-kotrak beras dan menetapkan dasar-dasar kebijakan di masa mendatang. Kemudian, pada 1970-an, Radius Prawiro sebagai menteri perdagangan mendapat tugas khusus untuk mencari beras ke Bangkok dan Tokyo.

“Pengalaman keterlambatan impor Bulog tahun lalu rupanya membuat Kabinet siang-siang bergegas mengisi kekurangan stok nasional dari luar negeri,” catat Tempo, 23 Juni 1973.

Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang

Dari Kredit hingga Pupuk

Untuk mencapai swasembada beras, pemerintah menggelar program intensifikasi produksi padi dengan nama Bimbingan Massal (Bimas) secara nasional sejak 1965/1966. Sebagai akibat keterbatasan devisa negara, pemerintah memperkenalkan sistem Bimas Gotong Royong (Bimas GR) pada 1968/1969. Program ini merupakan kerjasama antara pemerintah dan perusahaan swasta asing, terutama dalam penyediaan dana.

Pada musim tanam 1969, Radius sebagai gubernur BI bersama Sri Paku Alam dan Sudarsono Hadisapoetro, guru besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, mengadakan Pilot Proyek Unit Desa BRI di Yogyakarta berkenaan dengan aspek perkreditan. Fokusnya pada perbaikan pelaksanaan Bimbingan Massal (Bimas) yang disempurnakan dengan Unit Desa. Kegiatan-kegiatannya meliputi, percontohan, penyuluhan, penyaluran saprodi, perkreditan, dan pemasaran yang semuanya tidak ditangani oleh satu badan.

Radius sebagai gubernur BI berperan dalam penerapan pemberian kredit kepada petani padi berupa bibit unggul, sarana produksi pupuk, serta biaya hidup. Jika panen berhasi, petani mengembalikan kredit, tapi jika gagal tak perlu membayar utang. Ternyata pilot proyek ini berhasil dengan baik.

Dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto di Istana Negara, Radius menceritakan kisah sukses apa yang disebut “Bimas yang Disempurnakan” di Yogyakarta. Radius mengatakan, kunci keberhasilan Bimas adalah bibit unggul, sarana produksi serta penetapan harga dasar gabah untuk menghindarkan petani dari penimbunan dan ijon.

Baca juga: Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru

Menurut Patmono dalam biografi Radius Prawiro: Kiprah, Peran, dan Pemikiran, hasil pilot proyek tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai landasan pelaksanaan Bimas Nasional yang Disempurnakan dan mulai dilaksanakan sejak musim tanam 1970. Sejak itu, produksi padi meningkat dari tahun ke tahun.

Selain itu, percobaan di Yogyakarta juga berhasil mendekatkan pelayanan kredit BRI kepada para petani langsung tanpa melalui Koperasi Pertanian (Koperta). BRI kemudian mengembangkan sistem perbankan mikro untuk menyediakan kredit bersubsidi bagi petani padi melalui Bimas.

“Setelah percobaan di D.I. Yogyakarta dinilai berhasil, maka selanjutnya BUUD/KUD dikembangkan di daerah-daerah lain,” catat buku Induk KUD dalam Lintasan Sejarah Gerakan Koperasi Indonesia, 1979-1994.

Untuk memperkuat kehadiran Badan Usaha Unit Desa (BUUD) atau Koperasi Unit Desa (KUD), pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1973 tentang Unit Desa. Dengan Inpres ini, koperasi-koperasi yang berdiri di suatu wilayah unit desa dilebur menjadi BUUD atau KUD. Peleburan koperasi-koperasi menjadi satu KUD dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah dalam mengatur KUD dan menyelaraskan program pemerintah lainnya.

Sejak itu, ribuan KUD didirikan di tingkat kecamatan di seluruh negeri. Kantor cabang BRI berfungsi terutama sebagai agen penyalur untuk Bimas dan program pinjaman pedesaan bersubsidi lainnya.

Pada 1973, Radius Prawiro diangkat sebagai menteri perdagangan dalam Kabinet Pembangunan II. Salah satu tugas khusus yang dibebankan kepada Radius adalah menangani penyaluran pupuk kepada petani.

“Semua saya terima petunjuk (dari Presiden) itu sebagai petunjuk yang sederhana dan wajar-wajar saja. Baru kemudian setelah menjalani tugas sebagai Menteri Perdagangan, terasa strategisnya pupuk itu dalam usaha produksi pangan,” tulis Radius dalam buku Diantara Para Sahabat Pak Harto 70 Tahun yang dihimpun G. Dwipayana dan Nazaruddin Syamsuddin.

Baca juga: Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru

Radius berperan besar dalam meletakkan dasar-dasar mekanisme distribusi pupuk yang lebih mampu mengantisipasi kebutuhan petani. Penanganan penyaluran pupuk kepada petani perlu diatur sebaik-baiknya karena dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat.

Salah satu kebijakan yang diambil adalah memberikan kesempatan kepada swasta untuk turut-serta dalam pendistribusian pupuk bersubsidi kepada petani dengan harga sama dengan yang diberikan kepada peserta Bimas. Pengecer swasta juga diberi kesempatan untuk menjual pupuk kepada petani Bimas atau Intensifikasi Massal (Inmas) jika BUUD atau KUD di daerah tersebut tidak berjalan. Keputusan ini mengurangi hambatan birokrasi. Penyaluran pupuk kepada petani menjadi lebih lancar dan menjangkau wilayah yang lebih luas.

Sempat muncul sinyalemen adanya penjualan pupuk di atas harga yang ditentukan. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 3 Desember 1975, Radius menegaskan kami ingin tahu siapa yang menjual. Sebab, penjualan pupuk sudah diatur dengan suatu pengawasan dan penyalur wajib menaatinya. Bahkan Radius tak segan meminta nama penyalur, di mana, dan kapan kejadiannya.

“Soal-soal seperti ini bisa dilaporkan mellaui Kantor Wilayah atau langsung ke Departemen Perdagangan,” ujar Radius, dikutip Parlementaria No. 68 tahun 1976.

Baca juga: Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro

Menggalakkan Koperasi

Pada 1978, Radius Prawiro tetap menjabat menteri perdagangan dalam Kabinet Pembangunan III. Bedanya, kali ini dia mendapat limpahan wewenang urusan koperasi yang sebelumnya berada dalam Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi.

Tentu Radius tidak sendirian. Dia didampingi oleh Bustanil Arifin sebagai menteri muda urusan koperasi merangkap kepala Bulog dalam menyusun kebijakan-kebijakannya terkait penggenjotan produksi pertanian menuju swasembada.

Demi kelancaran distribusi pupuk yang dibutuhkan untuk swasembada beras, Radius merombak KUD. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, petani mesti membeli pupuk dua kali lupat dari HET (harga eceran tertinggi). Penyebabnya kelangkaan pupuk akibat birokrasi panjang yang mempersulit KUD penyalur dan KUD pengecer di beberapa daerah.

Lini III, lokasi gudang produsen dan/atau distributor di wilayah kota/kabupaten, mengalami kesulitan untuk berkoordinasi dengan 3.500 KUD dalam menetapkan jumlah kebutuhan pupuk yang diperlukan petani. Parahnya lagi, Lini III kerap jadi sasaran rebutan enam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di 27 provinsi, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) di 11 provinsi, dan 37 perusahaan swasta di 11 provinsi.

“Untuk itulah peran KUD dalam distribusi pupuk perlu ditingkatkan karena sebagian besar anggota KUD adalah petani sekaligus pengguna pupuk di lini terakhir,” kata Radius.

Radius menekankan perombakan birokrasi, pemberian subsidi pupuk, hingga pelibatan petani dalam pengelolaan KUD secara bertahap. Gudang-gudang dan sarana produksi pertanian dibangun di desa-desa. Juga memperbaiki dan membuat jalan-jalan, meningkatkan sarana transportasi, serta menata sistem kerja yang lebih efesien.

Bersamaan dengan itu berjalan pula program Intensifikasi Khusus (Insus) sebagai implementasi dari Bimas. Program Insus dilaksanakan oleh petani sekelompok untuk memanfaatkan potensi lahan sawah secara optimal. Untuk mensukseskan program ini ditetapkan penyaluran pupuk melalui KUD. Demi pembinaan KUD, pemerintah memberi kesempatan kepada KUD untuk membeli pupuk langsung dari Lini III dengan jumlah terbatas (kurang lebih 10 ton) secara tunai. Selain itu ada penyediaan input, pendidikan petani, penyediaan prasarana, strategi pemasaran, dan kebijakan harga.

Berkat duet Radius dan Bustanil, KUD tumbuh dan berkembang pesat. Setelah melalui perombakan, KUD dapat menjangkau seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat. Dari pertanian, perikanan, peternakan, hingga simpan-pinjam.

Sepanjang 1970-an sampai 1980-an, pemerintah juga melakukan investasi besar-besaran untuk membangun infrastruktur pertanian seperti waduk, bendungan, dan irigasi dengan tujuan meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Hasilnya, produksi padi berhasil naik dari tahun ke tahun dan akhirnya swasembada beras tercapai pada 1984.

Pemberdayaan Masyarakat

Ketika Radius Prawiro ditunjuk sebagai menteri keuangan dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), perhatiannya pada nasib petani tak menurun. Radius mengupayakan pemberdayaan petani dan masyarakat pedesaan dengan program Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) dan Simpanan Pedesaan (Simpedes).

Awalnya, kredit sektor pertanian itu ditujukan untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi padi. Pada 1985, Kredit Bimas dihentikan dan digantikan dengan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai bentuk penyempurnaannya, yang disalurkan melalui KUD. Cakupan komoditasnya pun menjadi lebih luas hingga merambah palawijaya dan hortikultura.

Bagi petani yang memerlukan KUT untuk tanaman padi dan palawija disediakan lewat KUD. Sedangkan bagi petani yang tidak memperoleh fasilitas KUT disediakan fasilitas kredit seperti Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), serta KMK melalui BRI Unit Desa.

Kupedes, yang dimulai tahun 1984, memperkenalkan kredit umum bagi masyarakat pedesaan yang ditawarkan dengan tingkat suku bunga komersial. Kupedes menyediakan kredit hingga Rp2 juta dengan tingkat bunga flat 1,5 persen per bulan.

Kupedes diberikan kepada perorangan dan tidak diperkenankan kepada kelompok. Kupedes telah mencapai sasarannya, yakni menyuplai permintaan akan kredit bagi usaha produktif di pedesaan dan memungkinkan sistem BRI Unit untuk dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang.

Dalam kaitannya dengan program intensifikasi beras, Kupedes memberi peluang kepada petani untuk kegiatan usaha tani (beras) dengan cara kredit tunai yang bisa dipakai untuk pembelian sarana produksi. Hingga Desember 1986, 28 persen dari kredit outstanding Kupedes dipergunakan untuk kegiatan pertanian. Namun, penduduk pedesaan yang melakukan berbagai kegiatan, misalnya perdagangan dan industri kecil, juga menggunakan kredit modal kerja untuk kegiatan sektor pertanian.

“Selama periode 1984-1986, BRI telah berubah menjadi sistem perbankan yang menguntungkan , yang menyediakan jasa perbankan bagi penduduk pedesaan di Indonesia,” catat Patmono.

Simpedes diperkenalkan sebagai proyek pilot pada November 1984 dan diluncurkan secara nasional pada 1986. Simpedes memberi bunga 12 persen dari saldo tabungan, tergantung jumlahnya. Yang membuatnya menarik, kata Radius, “dalam Simpedes, penabung diperkenankan untuk menarik uang dengan frekuensi tak terbatas.”

Tak ayal Simpedes berangsur-angsur popular di masyarakat pedesaan. Terlebih, lanjut Radius, dengan adanya insentif tambahan dan undian berhadiah per enam bulan.

Program Kupedes dan Simpedes terus berjalan meski Radius sudah beralih menjabat Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan (Ekuin-PP) dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993).*

Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.

TAG

radius prawiro kementerian keuangan

ARTIKEL TERKAIT

Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru Tuan Tanah Cakung Indo-Priangan Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang Para "Ekonom" Perintis Selain Margono Masa Kecil Radius Prawiro Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Bos Perkebunan Diculik TKR