DEMI kehidupan yang lebih baik, seorang tukang kayu meninggalkan Banten yang tengah berperang dengan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Batavia, wilayah kekuasaan VOC, lebih menjanjikan. Dengan segera dia terlibat dalam pekerjaan pembangunan kota Batavia. Berkat hubungan baiknya dengan VOC, dia memperoleh kemudahan dalam berbagai usaha. Salah satunya penanaman tebu dan pendirian pabrik gula.
Tukang kayu itu adalah Jan Con, imigran asal Tiongkok, pelopor industri gula di Batavia, yang dikonsentrasikan di wilayah Ommelanden (luar tembok kota).
Wajar jika VOC menyokong Jan Con. Gula merupakan komoditas penting untuk pasar Eropa. Namun, VOC tak lagi bisa bergantung pada produksi gula di Formosa (Taiwan), wilayah koloni lainnya. Setelah terusir dari Formosa oleh Zheng Chenggong (Coxinga), loyalis Ming, VOC mendorong budidaya tebu dan produksi gula di Batavia yang baru didirikannya tahun 1619.
Jan Con tak sendirian. Ada beberapa pengusaha Tionghoa yang juga mempelopori industri gula di Batavia seperti Poa Beng Gan, Lim Keenqua, Que Boqua, dan Nie Hoe Kong. Perlahan tapi pasti industri gula di Batavia membuahkan hasil dan mencapai masa kejayaan pada 1710. Saat itu terdapat 130 pembuatan gula milik Tionghoa.
Namun, pada 1730-an, harga gula di pasar internasional merosot. Banyak pabrik gula gulung tikar. Ribuan buruh Tionghoa kehilangan pekerjaan. Situasi ini menimbulkan keresahan sosial yang berujung pada pemberontakan dan pembantaian orang-orang Tionghoa yang dikenal dengan Geger Pecinan pada 1740.
Beberapa tahun kemudian, setelah ketegangan mereda, orang-orang Tionghoa menjalankan bisnis ini lagi. Produksi gula perlahan membaik. Namun, setelah tahun 1780, produksi kembali turun karena kekurangan bahan bakar untuk tungku.
“Pabrik gula berjuang dengan sejumlah masalah, yaitu penipisan tanah dan kekurangan tenaga kerja, kerbau dan kayu,” catat M. Leidelmeijer dalam Van suikermolen tot grootbedrijf: technische vernieuwing in de Java-suikerindustrie in de negentiende eeuw.
Pemerintah Batavia menyatakan penurunan itu karena keadaan, bukan rendahnya kemampuan orang-orang Tionghoa. Dalam beberapa laporannya, Jan Hooyman, seorang pendeta di Batavia, tak setuju. Dia justru menyoroti penggunaan teknik produksi yang usang.
Teknologi Batu
Tebu (Saccharum officinarum Linn) adalah tanaman bahan baku gula. G. Roger Knight dalam Sugar, Steam and Steal menduga tebu dibiakkan secara selektif dari rumput-rumputan yang ditemukan di pinggiran tenggara Asia, kemungkinan New Guinea –kita menyebutnya Nugini.
Penggunaan tebu untuk membuat gula berasal dari berbagai wilayah di Asia pada masa pramodern. Dari sana menyebar ke Timur Tengah, lalu Mediterania dan akhirnya ke “Dunia Baru” (benua Amerika).
“Selama berabad-abad, gula diproduksi di seluruh dunia oleh para perajin yang pada dasarnya menggunakan teknik kerajinan tangan,” catat Knight.
Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2, gula tebu mengalami perkembangan luar biasa pada abad ke-17 setelah metode penyulingan dari Tiongkok diperkenalkan ke Cochinchina (Vietnam), Siam, Kamboja, dan Jawa.
Metode penyulingan itu menggunakan teknologi sederhana. Dua silinder kayu/batu yang diletakkan berhimpitan digunakan sebagai gilingan yang diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu dimasukkan di antara kedua silinder, diperas dua kali untuk memperoleh sebanyak mungkin sarinya, yang ditampung dalam belanga yang terdapat di bawah gilingan. Setelahnya sari tebu dipanaskan agar dapat menghasilkan gula.
“Belanga-belanga itu,” catat Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, “selalu diimpor dari Tiongkok, kemungkinan besar dari Foshan (dekat Kanton) yang pabrik metalurginya sangat terkenal.”
Metode penyulingan itu yang diperkenalkan dan diterapkan orang-orang Tionghoa dalam industri gula skala kecil di sekitar pantai utara Jawa seperti Banten, Cirebon, Tegal dan Jepara. Menyusul kemudian Batavia.
Para pemilik penggilingan, catat Lombard, umumnya memiliki perkebunannya sendiri. Namun, ada juga petani Tionghoa yang tidak memiliki penggilingan. Mereka memasok hasil panen dan memperoleh separo dari gula yang dihasilkan dari tebunya.
Meskipun keuntungannya cukup menjanjikan, produksi gula bukan usaha yang mudah dijalankan. Butuh modal besar dan keterampilan manajerial. Itulah sebabnya VOC terus mendorong pengusaha Tionghoa untuk membuka industri gula di Batavia pada abad ke-17 dan 18. Hanya sedikit penduduk asli dari Batavia terlibat dalam industri ini.
“Para penggiling gula pribumi terbatas pada kapitan atau pemimpin kelompok etnis pribumi lainnya. Di antara mereka adalah Kapitan Daeng Matara, pemimpin masyarakat Bugis, yang menjual pabrik gulanya di Condet pada tahun 1700,” catat Bondan Kanumoyoso dalam “Beyond the City Wall: Socio-Economic Development in the Ommelanden Batavia, 1684-1740”, disertasi di Universitas Leiden tahun 2011.
Teknologi Bit
Setelah VOC runtuh, produksi gula terus berjalan. Perubahan terjadi di masa kekuasaan Inggris. Monopoli gula oleh pemerintah dihapus, yang menjadi awal liberalisasi. Pusat produksi gula pun bergeser dari Batavia ke wilayah-wilayah pesisir Jawa.
Industri gula masih didominasi oleh penggunaan teknologi Tionghoa. Perbedaan terletak pada kapasitas produksi antara pabrik kecil dan pabrik besar. Pabrik kecil mudah dipindahkan, menyesuaikan panen ladang tebu. Sedangkan pabrik besar tak bisa dipindahkan, mengharuskan areal perkebunan tebu terkonsentrasi di sekitar pabrik.
Setelah kekuasaan Inggris berakhir, beberapa pegawainya memutuskan tinggal di Jawa dan berinvestasi dalam industri gula. Pada 1818 perusahaan Jessen, Trail and Co membeli perkebunan Bekasi yang masih dijalankan dengan teknologi Tionghoa. Kemudian teknologi modern diperkenalkan di sana dengan mengimpor peralatan dari Eropa.
Untuk meraup lebih banyak keuntungan, pemerintah Hindia Belanda memberikan perhatian ekstra. Menyusul kebijakan Sistem Tanam Paksa (1830-1870), liberalisasi industri gula Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Secara bertahap teknik Barat diperkenalkan secara sporadis.
Pada 1835, pemerintah mendorong penggunaan panci vakum yang bisa menghasilkan lebih banyak gula dan kualitas yang lebih tinggi. Untuk memenuhi anjuran pemerintah, Charles Etty, orang Inggris, mengimpor serta memasang panci vakum Howard dan ketel uap di pabrik gula Wonolangan di Probolinggo pada 1836. D.H. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia menyebut hal ini merupakan permulaan berdirinya industri modern di Indonesia.
Menurut Leidelmeijer, penggunaan panci vakum bukan hanya meningkatkan kualitas gula tapi juga mengurangi ketergantungan pengusaha Eropa terhadap keahlian penanak gula Tionghoa. Kendati demikian, “Pengusaha umumnya diberi kesempatan untuk memutuskan sendiri apakah mereka menginginkan dan menggunakan panci vakum dalam proses produksi.”
Bersamaan dengan itu, tenaga hewan digantikan oleh kincir air. Namun, penggunaan air untuk perkebunan tebu dan pabrik gula kerap menimbulkan kesukaran bagi petani. Untuk mengatasinya, pemerintah menganjurkan penggunaan tenaga uap. Penggunaan ketel uap membutuhkan batu bara yang jelas mengurangi keuntungan produksi. Pada akhirnya, ketel uap hanya menggantikan kincir air sebagai kekuatan pendorong sampai batas tertentu. Ketika ada cukup air, kincir air yang lebih murah tetap menjadi pilihan utama.
Kebijakan itu bisa dibilang terlambat. Menurut Leidelmeijer, industri gula Jawa secara teknis tertinggal dari negara-negara penghasil gula tebu lainnya. Akibatnya, industri tidak cukup siap untuk bertahan dalam persaingan ketat di pasar gula dunia. Kendati demikian, pemerintah kolonial tetap melanjutkan kebijakannya.
Akhirnya, pada 1870, hampir semua pabrik di Jawa menggunakan panci vakum dalam proses produksi. Peningkatan produktivitas dicapai dalam waktu singkat dengan penggunaan lebih banyak pabrik uap. “Dibandingkan dengan situasi di Karibia, industri ini memiliki posisi awal yang baik di pasar gula dunia,” catat Leidelmeijer.
Setelah krisis gula tahun 1883-1884, persyaratan produksi yang berbeda diberlakukan. Teknologi yang digunakan dalam industri gula bit diadopsi pabrik-pabrik gula besar milik orang Eropa di Jawa. Di dalam pabrik itu, mesin-mesin uap tanpa lelah menggiling batang tebu, mengambil sarinya, dan menghasilkan kristal gula putih.
“Pada abad kesembilan belas, proses produksi tradisional Tiongkok sepenuhnya digantikan oleh metode produksi industri Barat,” catat Leidelmeijer.
Yang Tersisa
Bukan berarti orang Tionghoa meninggalkan industri gula sepenuhnya. “Raja Gula” Oei Tiong Ham, misalnya, tanggap dengan perkembangan zaman. Pada 1925, dia mulai menjalankan rencana modernisasi terhadap lima pabrik gulanya di Pakis, Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, dan Ponen.
Dia juga mempekerjakan ahli-ahli Jerman sebagai penasehat ketika memutuskan membeli mesin penggilingan tebu. Selain itu, secara periodik, dia mengirim orang ke luar negeri untuk mempelajari metode produksi gula yang baru.
“Hasilnya, pabrik gulanya menjadi pabrik yang termodern di seluruh Hindia Belanda,” catat Yoshihara Kunio dalam Konglomerat Oei Tiong Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara.
Pada 1930, berkat rencana yang cermat dalam melakukan modernisasi, lima pabrik gula Oei Tiong Ham memiliki peralatan yang lebih baik ketimbang pabrik gula lain di Hindia Belanda.
“Pabrik Rejoagung merupakan pabrik gula pertama di Hindia Belanda yang dijalankan dengan tenaga listrik,” lanjut Yoshihara Kunio. “Pabrik itu juga dikenal sebagai pabrik gula ‘karbonasi’ terbesar di dunia.”
Teknologi sederhana dari Tiongkok kemudian hanya tersisa di beberapa wilayah dan digunakan untuk industri skala kecil. Bahkan hingga kini beberapa petani di Jawa Timur masih mewarisi teknologi dari Tiongkok tersebut. Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat beberapa petani mengolah sari tebu menjadi gula saka, oleh-oleh khas Nagari Lawang itu, dengan mengandalkan kerbau untuk menggerakkan mesin penggilingan. Teknologi sederhana yang berusia tua ini bahkan menjadi salah satu destinasi wisata populer di wilayahnya.
Penulis adalah lulusan Prodi Sejarah Universitas Diponegoro Semarang. Penulis lepas dan content creator sejarah.