Masuk Daftar
My Getplus

Peran Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak

Penerimaan negara dari minyak dan gas turun, pemerintah beralih ke pajak yang semula kurang digarap. Radius Prawiro melakukan gebrakan dengan reformasi perpajakan.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 19 Nov 2024
Radius Prawiro membuka rapat kerja Departemen Perdagangan dan Koperasi di PUSDIKOP, 26 Maret 1979. (Perpusnas RI).

BELUM genap setahun menjabat menteri keuangan dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), Radius Prawiro menghadapi tantangan yang tak mudah. Penerimaan negara dari minyak bumi dan gas alam (migas) setelah anjloknya harga migas di pasaran dunia. Pemerintah pun harus menggali sumber pendapatan lain. Pilihan jatuh pada pajak.

Menurut Bambang Subandrijo dalam Pernak-pernik Perjalanan Sejarah Radius Prawiro, ketika hendak memangku jabatan menteri keuangan, Radius Prawiro menyatakan kesediaannya kepada Presiden Soeharto untuk menjalankan dua tugas utama: reformasi perpajakan dan kepabeanan.

“Ia segera menyelesaikan draft undang-undang perpajakan yang baru yang sudah dirintis beberapa tahun sebelumnya oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana,” tulis Bambang.

Advertising
Advertising

Tak tanggung-tanggung pemerintah menyiapkan tiga rancangan undang-undang (RUU) Perpajakan. Setelah rampung, Radius Prawiro mewakili pemerintah menyampaikan ketiga RUU tersebut kepada DPR.

Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro

Setelah pembahasan di DPR, paket UU Perpajakan disahkan pada akhir 1983. Mereka adalah UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; serta UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang-barang Mewah (PPN dan PPnBM).

Reformasi perpajakan pun dimulai.

Radius Prawiro, menteri keuangan merangkap sebagai direktur jenderal pajak, menggalakkan pentingnya pajak sebagai penerimaan negara. Dia tak sungkan-sungkan memberikan wejangan kepada para pemungut pajak agar tak lagi “berburu di kandang binatang” melainkan mencari yang belum rela membayar pajak. Yang bayar pajak dipelihara dengan pelayanan yang baik dan memuaskan agar menjadi pembayar pajak yang taat, setia, dan jujur.

Bahkan, saat berpidato di depan para petugas Direktorat Jenderal Pajak, Radius mengutip isi buku Bagus Sriman Cari Ilmu karya Bakti, putranya. Kutipan itu sendiri menyalin bait Serat Wulangreh pupuh Megatruh yang ditulis oleh Susuhunan Pakubuwana IV, raja Surakarta.

“Bila tak ikhlas, lebih baik menganggur saja, tidak usah mengabdikan diri. Bebas semuanya..."

Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang

Pentingnya Reformasi Perpajakan

Pajak sudah berperan penting sebagai sumber pendapatan negara sejak setelah perang kemerdekaan. Pada 1951, pajak ekspor mendominasi penerimaan negara hingga mencapai 54%. Berikutnya pajak impor mengambil-alih dominasi tersebut.

Pada awal pemerintahan Orde Baru pun pajak masih mengambil porsi terbesar dalam penerimaan negara. Namun, penerimaan dari pajak makin lama makin berkurang dan tergesar oleh penerimaan dari minyak dan gas (migas) yang booming tahun 1973 hingga 1982. Pemerintah pun bersikap longgar terhadap penerimaan dari pajak.

“Mau bayar pajak, syukur, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Mungkin karena pada waktu itu kita sedang bergelimang uang dari minyak,” kata Radius Prawiro dalam biografinya Kiprah, Peran, dan Pemikiran.

Baca juga: Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru

Anjloknya harga migas mendorong pemerintah mencari sumber pendapatan lain. Pada 1981 Menteri Keuangan Ali Wardhana menggandeng konsultan dari Harvard Institute for International Development untuk menyusun langkah antisipatif dalam mengoptimalkan penerimaan negara selain dari migas. Semuanya diformulasikan dalam wujud reformasi pajak.

Namun hal itu dibantah oleh Radius Prawiro, yang menggantikan Wardhana. “Tidak betul itu. RUU Perpajakan ini, yang membuatnya adalah tim kita sendiri, dipimpin oleh Dirjen Pajak,” ujarnya kepada majalah Tempo edisi 38/13, 19 November 1983.

Setelah bekerja keras selama enam bulan, hasilnya dibicarakan lagi oleh tim Menko Ekuin Ali Wardhana, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas JB Sumarlin, Menteri Muda/Sekretaris Kabinet Moerdiono, dan Menteri Keuangan Radius Prawiro.

“Pak Widjojo [Nitisastro] juga ikut terus, karena beliau dari dulu amat prihatin tentang perpajakan,” ujar Radius. “Kemudian, kita bicarakan lagi dalam forum yang lebih luas, dengan para menteri lainnya.”

Baca juga: Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru

Kendati demikian, Radius membenarkan tim Harvard melakukan penelitian tentang sistem perpajakan yang baru. “Itu benar. Departemen Keuangan banyak meminta pendapat dari luar negeri. Maksudnya, agar kita tidak mengulang kesalahan yang pernah dibuat oleh negara lain, terutama negara berkembang, yang telah mempraktekkan sistem perpajakan serupa.”

Rencana pemerintah untuk melakukan pembaruan perpajakan disampaikan Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR pada 16 Agustus 1983. Presiden mengatakan, sebelum pelaksanaan Repelita IV dimulai, pemerintah akan mengajukan beberapa RUU perpajakan nasional. Tujuan utamanya untuk lebih menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar migas.

Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 5 Nopember 1983, Radius menjelaskan bahwa sebagian besar UU Perpajakan yang berlaku merupakan warisan kolonial. Misalnya Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, dan Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. Perubahan, penambahan, dan penyesuaian dilakukan pada 1967 dan 1970. Namun masih belum memenuhi aspirasi rakyat dan kebutuhan pembangunan nasional. Karena itulah diperlukan pembaruan sistem perpajakan.

“Hal ini disebabkan karena perubahan, tambahan dan penyesuaian yang dilakukan bersifat penyempurnaan saja, sedangkan sistem intinya masih berlandaskan pada falsafah dan tatacara pemungutan pajak warisan zaman kolonial,” ujar Radius.

Baca juga: Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro

UU Perpajakan Baru

Mengutip buku Radius Prawiro: Kiprah, Peran, dan Pemikiran, reformasi perpajakan diperlukan karena sistem dan peraturan perpajakan telah usang, tidak efisien. Ada banyak kelemahan yang bisa digunakan untuk menghindari pajak sehingga merugikan negara.

Selain itu, penerimaan negara dari pajak sangat bergantung pada pajak perusahaan-perusahaan minyak bumi atau pemungutan pajak lebih diarahkan kepada perusahaan besar. Dalam sistem perpajakan yang baru, sasaran pembayar pajak dijaring seluas-luasnya. Hal ini untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah orang kaya dan perusahaan yang mampu membayar pajak.

Dalam upaya meningkatkan jumlah pembayar pajak, pemerintah memilih perluasan basis pembayar pajak, bukan peningkatan tarif, serta menyederhanakan dan menurunkan tarif pajak.

“Dengan perubahan perpajakan nasional itu diusahakan tersusunlah sistem perpajakan yang berintikan kesederhanaan, menunjang pemerataan, dan memberikan kepastian. Kesederhanaan tersebut diperlukan agar mudah untuk dilaksanakan dan dimengerti baik oleh petugas pajak maupun oleh wajib pajak,” ujar Radius di depan DPR.

Baca juga: Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa

Reformasi perpajakan dimulai dengan tiga UU yang disahkan pada 1983. Untuk mengawali penerapan paket UU perpajakan baru tersebut, pemerintah meluncurkan kebijakan pengampunan pajak pada April 1984.

Reformasi pajak berlanjut dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Khusus untuk yang disebut terakhir, ketika pembahasan, hampir semua fraksi di DPR menentang. Alasannya belum perlu dan memberatkan rakyat.

Radius kemudian melakukan pendekatan kepada fraksi-fraksi di DPR. Dia menerangkan pentingnya UU ini untuk menambah pendapatan pemerintah daerah yang bertanggungjawab atas pemeliharaan dan pembangunan wilayahnya. Pembagian hasil PBB 90 persen untuk daerah dan 10 persen untuk pemerintah pusat. Menteri Sekretaris Negara Sudharmono juga ikut meyakinkan anggota-anggota DPR. Akhirnya semua fraksi dapat menerima. UU Pajak Bumi dan Bangunan pun disahkan.

“Sejak itu ada lima UU Perpajakan yang terdiri dari 156 pasal dan hanya mengenal 9 macam tarif. Sebelumnya, kita memiliki 13 UU warisan kolonial dengan 575 pasal dan mengenal 262 macam komponen tarif,” kata Radius.

Presiden Soeharto menyebut lima UU Perpajakan yang baru sebagai momentum nasional.

Baca juga: Jejak Direktorat Pajak

Faktor Penentu

Salah satu perubahan penting dalam UU pajak yang baru adalah penerapan azas self assessment. Dengan azas tersebut wajib pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftar, menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.

Setiap wajib pajak mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas, dan melaporkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam wilayah wajib pajak bertempat tinggal. Wajib pajak harus mengisi SPT dengan jujur.

“Untuk itu undang-undang telah mengatur suatu mekanisme kontrol berikut sanksi-sanksi yang cukup berat bagi mereka yang tidak jujur memenuhi kewajiban pajaknya, yang berarti melanggar hukum dan prinsip-prinsip keadilan,” tulis Radius.

Setelah lima UU perpajakan yang baru diberlakukan pada awal 1984 dan awal 1986, pemerintah gencar melakukan sosialisasi, penyuluhan, dan pelatihan aparat pajak. Dalam berbagai kesempatan, Radius selalu mengingatkan bahwa berhasil-tidaknya pelaksanaan pembaruan sistem perpajakan ditentukan oleh empat faktor.

Baca juga: Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan

Keempat faktor itu adalah sistem perpajakan, baik menyangkut perangkat undang-undang dan peraturan maupun aparat pelaksananya; sistem penunjang antara lain sistem pembukuan, akuntansi, dan profesionalisme; faktor eksternal berupa faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik; serta masyarakat khususnya wajib pajak termasuk di dalamnya sistem informasi dalam arti yang seluas-luasnya, tingkat kesadaran dan kepatuhan.

Keempat faktor penentu tersebut saling menunjang dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Misalnya, perangkat peraturan yang sudah baik tidak mungkin berjalan bila aparat pelaksananya enggan melaksanakan. Demikian pula perangkat dan aparat pelaksana yang sudah baik tidak akan menjamin peningkatan wajib pajak bila tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat serta faktor-faktor eksternal tidak mendukung.

Radius mengakui dalam pelaksanaan sistem perpajakan yang baru muncul sikap skeptis dan apriori dari masyarakat. “Dengan arif, kesabaran, telaten dan upaya yang terus menerus, citra perpajakan yang tidak baik serta sikap skeptis dan apriori tersebut kita hadapi dan kita kikis sehingga tercipta suasana yang jauh lebih baik,” tulis Radius.

Pada akhirnya reformasi perpajakan berjalan dengan baik dan membuahkan hasil. Jumlah wajib pajak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejalan dengan itu penerimaan negara dari pajak pun naik.

Reformasi perpajakan juga mengubah struktur penerimaan negara. Penerimaan di luar migas naik dari 32,8% selama Repelita III menjadi 65,8% selama Repelita V. Dalam tahun 1993/94 penerimaan non-migas mencapai 76,1% dari total penerimaan dalam negeri. Persentase di atas 60% mulai dicapai sejak tahun anggaran 1989/90. Sejak tahun 1986/87 penerimaan non-migas bahkan melampaui penerimaan migas.

Reformasi perpajakan masih terus berlangsung. Pada 1994, pemerintah melakukan perubahan dan penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berubah. Lalu, untuk melengkapi, terbit serangkaian UU baru di bidang perpajakan pada 1997. Tiga tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan serangkaian UU untuk mengubah UU yang telah ada. Kemudian, sebagai penyambung estafet reformasi pajak yang sudah berlangsung selama 40 tahun, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

“Upaya pembaruan sistem perpajakan yang dilaksanakan pemerintah merupakan suatu kisah sukses yang perlu dicatat sebagai kerja bersama, karena berhasil meningkatkan jumlah pembayar pajak dan penerimaannya, tanpa menimbulkan gejolak dalam masyarakat,” tulis Radius.*

Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.

TAG

radius prawiro kementerian keuangan pajak

ARTIKEL TERKAIT

Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak Pajak Judi Masa Kompeni Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Penunggang Pajak Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Jejak Direktorat Pajak Pakaian pada Masa Jawa Kuno Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan Bermacam Pajak Era Kolonial