Masuk Daftar
My Getplus

Jejak Direktorat Pajak

Selama bertahun-tahun direktorat di Kementerian Keuangan ini berperan sebagai tulang punggung negara.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 25 Okt 2021
Suasana pedagang di pasar pada masa lalu. (KITLV).

SAAT ini sebagian besar pendapatan negara berasal dari pajak. Wajar jika pajak disebut sebagai tulang punggung negara karena mempengaruhi keberlanjutan program-program pembangunan. Direktorat Jenderal Pajak, sebagai bagian dari Kementerian Keuangan, berperan penting dalam menjaga agar tulang punggung negara tetap dapat berdiri tegak.

“Oleh karena itu, Anda yang bekerja di Ditjen Pajak tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Anda mengemban amanah yang sangat penting bagi Republik ini,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam upacara peringatan Hari Pajak di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak pada 14 Juli 2018.

Peringatan Hari Pajak, meski baru dimulai pada 2017, bersandar pada sebuah peristiwa yang menunjukkan kesadaran sejarah pentingnya pajak bagi negara yang akan merdeka.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia

Dalam sidang panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Radjiman Wedyodiningrat, seorang dokter dan ketua BPUPK, mengusulkan agar “pemungutan pajak harus diatur hukum”. Usulan itu diterima sehingga pajak muncul dalam draft kedua Undang-Undang Dasar yang disampaikan pada 14 Juli 1945. Butir kedua pada Pasal 23 Bab VII Hal Keuangan menyebut: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Tanggal 14 Juli inilah yang kemudian dipilih sebagai Hari Pajak.

Lalu, tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, organisasi Kementerian Keuangan langsung dibentuk. Urusan pajak ditangani oleh Pejabatan Pajak, yang kini menjadi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

DJP memiliki tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Sepanjang sejarahnya, DJP memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa.

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Aik Kuswanaji/kemenkeu.go.id).

Menyusun Organisasi

Pajak termasuk bidang yang pertama dilembagakan di bawah organisasi Kementerian Keuangan. Pada September 1945, organisasi Kementerian Keuangan disusun dan terdiri dari lima pejabatan. Salah satunya Pejabatan Pajak. Pejabatan Pajak membawahi tiga urusan, yaitu perpajakan, bea dan cukai, serta pajak bumi.

Ketika pemerintahan hijrah ke Yogyakarta, pejabatan-pejabatan di bawah Kementerian Keuangan ikut pindah. Pejabatan Pajak ditempatkan di Magelang, Jawa Tengah.

Proses pemindahan tak berjalan mudah. Para pemuda keuangan mendorong gerobak yang berisi berkas penting melalui Batalyon X yang terkenal buas ke Gang Kenari. Di sana gerbong-gerbong kosong telah disediakan di pabrik candu. Dengan dikawal beberapa pemuda keuangan, barang-barang itu sampai ke tujuan dengan selamat.

Kendati dalam situasi perang, pembenahan tetap dilakukan. Pada 1 Oktober 1946, struktur organisasi Kementerian Keuangan dirombak. Urusan bea dan cukai serta pajak bumi dilepaskan dari Pejabatan Pajak dan menjadi dua pejabatan tersendiri.

“Dalam permulaan periode ini tugas Departemen Keuangan terutama berkisar pada penyempurnaan pemungutan pajak dan pencetakan uang sendiri,” tulis buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, Volume 2.

Baca juga: Kementerian Keuangan di Masa Perang

Beberapa kebijakan yang diambil antara lain pajak potong hewan, pajak radio, pajak pendapatan, hingga “pajak pembangunan” yang dipungut dari rumah makan dan penginapan. Aturan ini terus disempurnakan sesuai kondisi dan kebutuhan demi terisinya kas negara.

Organisasi Kementerian Keuangan terus mengalami penyempurnaan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1948, nomenklatur pejabatan diubah menjadi jawatan. Kementerian Keuangan memiliki delapan jawatan, di antaranya Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, dan Jawatan Pajak Bumi.

Menyusul pengakuan kedaulatan, kerja Kementerian Keuangan kian berat. Kekurangan tenaga ahli dan hasrat efisiensi mendorong Kementerian Keuangan mengangkat tiga pejabat tinggi, yakni Sekretaris Jenderal, Thesaurier Jenderal, dan Direktur Jenderal Iuran Negara. Yang pertama menangani urusan umum dan kepegawaian, yang kedua urusan pengeluaran dan anggaran belanja negara, dan yang terakhir bertugas mengkoordinasi jawatan-jawatan yang mengurus pendapatan negara.

Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, dan Jawatan Pajak Bumi ditempatkan di bawah Direktur Jenderal Iuran Negara.

“Hal ini dilakukan agar memudahkan penerimaan negara,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.

Baca juga: Menghapus Lembaga Keuangan Warisan Kolonial

Kendati demikian, hingga pertengahan 1950-an, pendapatan dari pajak, bea cukai, dan pajak bumi belum maksimal. Apalagi pos-pos anggaran terbesar kemudian tersedot untuk menumpas pergolakan-pergolakan di daerah. Pendapatan negara juga berkurang karena terjadinya barter dan penyelundupan di daerah sehingga menyebabkan defisit negara yang besar.

“Hal ini juga menyebabkan Jawatan Pajak ditarik langsung di bawah koordinasi Menteri Keuangan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y.

Pajak bumi sempat dihapus karena desakan politik. Seiring pemberlakuan pajak hasil bumi pada 1959, dibentuklah Jawatan Pajak Hasil Bumi di bawah Departemen Iuran Negara. Jawatan Pajak serta Bea Cukai pun ditempatkan di bawah Departemen Iuran Negara.

Baca juga: Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai

Pada 1964 dibentuk Kompartemen Keuangan. Jawatan Pajak berubah menjadi Direktorat Pajak yang berada di bawah Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara. Setahun kemudian Direktorat Pajak Hasil Bumi berubah menjadi Direktorat Ipeda di bawah Menteri Iuran Negara. Keduanya kemudian menjadi instansi vertikal Departemen Keuangan pada 1966-1967.

Pada 1976, Direktorat Ipeda (kemudian ganti nama jadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan) dan unit-unit pelaksana di daerah bergabung menjadi bagian dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Organisasi DJP terbagi atas kantor pusat dan kantor operasional. Kantor pusat terdiri atas sekretariat DJP dan direktorat. Dalam perkembangannya pada setiap pemerintahan dan pergantian menteri keuangan, DJP mengalami reorganisasi.

Tetap saja upaya menambah anggaran negara lewat sektor pajak bukanlah pekerjaan mudah.

Petugas pajak pada masa kolonial Belanda. (Wikimedia Commons).

Stigma Kolonial

Ekonom M. Dawam Rahardjo dalam “Evolusi Struktur Pajak dan Proses Demokratisasi”, dimuat Prisma, No. 4, 1985, menyebut bahwa pajak dalam sejarah Indonesia merupakan stigma masa kolonial. Tak heran jika dulu kata-kata ini sering dilontarkan: “Apa gunanya kita merdeka kalau masih disuruh bayar belasting (pajak)?”

“Dalam kata-kata itu pajak dicitrakan sebagai ciri penjajahan dan merdeka berarti bebas dari pajak,” tulis Dawam.

Akibat stigma itu pemerintah cenderung berhati-hati dalam mengambil kebijakan keuangan. Untuk membiayai perjuangan dan pemerintahan, Kementerian Keuangan mendapatkan dana dengan cara mencetak uang, menjual candu dan emas ke luar negeri, serta menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk program pinjaman nasional dan sumbangan seperti fonds kemerdekaan.

Pada awal kemerdekaan berupaya melakukan penetapan dan pemungutan semua pajak, kecuali pajak bumi dan bea cukai. Antara lain pajak pendapatan, upah, kekayaan, rumah tangga, perseroan, “untung perang”, verponding, kupon, potong, pembangunan, radio, bea balik nama, bea warisan, dan bea materai.

Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak

Setelah pengakuan kedaulatan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, aparatur pajak dari pemerintahan federal bentukan Belanda digabungkan ke dalam aparatur Republik Indonesia. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah penyeragaman peraturan pajak dan menghentikan pemungutan pajak yang dualistis.

Demi menambah penerimaan negara, sempat diberlakukan pajak baru, yakni pajak peredaran untuk barang dagangan yang berpindah tangan. Pajak ini mulai berlaku 1 Januari 1951, namun mendapat kecaman keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena mengakibatkan kenaikan harga barang. Atas tekanan DPR, pemberlakukan pajak peredaran dibatasi dan pada 1 Oktober 1951 diganti oleh pajak penjualan. Pada tahun yang sama, pajak bumi yang dikenakan pada petani pemilik tanah menghadapi apa yang dikenal dengan Mosi Tauchid dan akhirnya dihapuskan.

Penjajahan juga meninggalkan warisan sistem perpajakan. Beberapa pajak tetap dikenakan berdasarkan peraturan zaman kolonial.

“Kesemua pajak warisan zaman kolonial tersebut tetap dipungut namun sampai pada tingkat yang tidak membangkitkan trauma dan antipati para pembayarnya,” tulis Gatot Subroto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan kandidat doktor di University College London, Inggris, dalam Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia.

Baca juga: Bermacam Pajak Era Kolonial

Tidak adanya Anggaran Belanja Negara yang disahkan sebelum tahun yang bersangkutan juga jadi kendala. Pemerintah kesulitan mengajukan rancangan undang-undang pajak kepada DPR jika tak diketahui untuk apa pungutan itu diperlukan.

Untuk menyiasatinya dikeluarkan undang-undang darurat. Menurut buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, selama 1950-1954 dikeluarkan 59 undang-undang darurat di bidang keuangan dengan 37 di antaranya mengenai perpajakan.

Selain itu, untuk menghindari kesulitan yuridis dan keberatan DPR, pemerintah melakukan beberapa pungutan yang tidak memerlukan pengesahan dengan undang-undang. Misal, Tambahan Pembayaran Impor yang diberi bentuk sebagai multiple exchange rate, “yaitu nilai penukaran yang banyak tingkat terhadap uang asing, tergantung daripada pemakaian uang asing itu.”

Namun, upaya menambah penerimaan negara terkendala struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada volume impor dan ekspor.

“Menggantungkan diri pada sektor perdagangan internasional sudah tentu sangat riskan karena sangat sensitif terhadap fluktuasi pasar dunia,” tulis Dawam.

Baca juga: Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan

Maka, jika pada 1956-1959 hanya ada tambahan pajak penduduk bangsa asing, setelah itu lebih banyak jenis pajak diperkenalkan. Sebut saja pajak bea balik nama kendaraan bermotor, pajak deviden, sumbangan wajib istimewa kendaraan bermotor, dan sumbangan wajib istimewa bangunan.

Menyusul peraturan mengenai pajak hasil bumi, pemerintah mulai menggiatkan pajak atas tanah di seluruh Indonesia. Guna sosialisasi, pemerintah mengirim regu-regu pionir ke daerah-daerah. Sebagai tindak lanjut, kantor-kantor perwakilan pajak hasil bumi didirikan dan disusul dengan kantor-kantor dinas.

“Pungutan pajak hasil bumi tidak masuk kas pemerintah pusat seperti halnya dengan pajak hasil bumi dahulu, melainkan langsung diperuntukkan pemerintah daerah tingkat II guna membiayai pembangunan daerahnya sendiri,” tulis buku 20 Tahun Indonesia Merdeka.

Upaya-upaya tersebut menuai hasil. Pada 1959 pemasukan pajak mencapai Rp7.283 juta. Lima tahun kemudian meningkat jadi Rp105.117 juta. Pajak pendapatan dan perseroan jadi penyumbang terbesar.

Pelantikan pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak pada 23 Maret 1977. (Perpusnas RI).

Meninjau Sistem Perpajakan

Selain mengintensifkan pajak dan perbaikan organisasi, pemerintah berupaya meninjau kembali sistem perpajakan. Beberapa kali pemerintah membentuk panitia untuk merumuskannya. Beberapa kali pula diadakan konferensi dinas untuk menghadapi persoalan-persoalan urgen yang perlu dipecahkan. Namun mengubah sistem perpajakan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Setelah konferensi dinas pada 1957, dibentuk Panitia Organisasi Direktorat Pajak, yang bertugas memikirkan usul-usul perbaikan aparatur pajak. Panitia inilah yang merumuskan Tridarma Pajak, yaitu memungut pajak sedemikian hingga: meliputi semua wajib pajak; berdasarkan objek yang semestinya; serta tepat waktunya, baik penetapan maupun pembayarannya.

Demi keperluan penetapan pajak, terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23/1960 mengatur ketentuan tentang rahasia bank. Perpu itu mengatur pengecualian; demi keperluan penetapan pajak, bank diwajibkan memberikan keterangan kepada pejabat dari Jawatan Pajak. Pejabat tersebut harus mendapat surat izin khusus dari menteri keuangan yang memuat nama wajib pajak.

Baca juga: Perilaku Wajib Pajak Tempo Dulu

Saat itu pengenaan pajak masih menggunakan official assessment, yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika surat ketetapan pajak dikeluarkan. Sistem ini diterapkan hingga 1980-an.

Saat itu pengumpulan pajak dari masyarakat masih jauh di bawah target. Kebanyakan orang malah sama sekali tidak membayar pajak. Radius Prawiro, menteri keuangan merangkap direktur jenderal pajak, sadar betul perlunya terobosan. Dia mengambil prakarsa untuk melakukan reformasi perpajakan.

Terbitlah beberapa regulasi baru mengenai perpajakan. Untuk mengawali penerapan paket UU perpajakan baru ini, pemerintah meluncurkan kebijakan pengampunan pajak pada April 1984. Sayangnya, program ini kurang mendapat respons dari wajib pajak.

Reformasi pajak saat itu masih terbatas pada aspek administrasi. Kendati terbatas, sistem perpajakan baru memang mendesak dan harus diterapkan. Sebelumnya, sistem perpajakan mengenal 48 tarif pajak perorangan dan sepuluh tarif pajak bagi badan hukum. Regulasinya juga terlalu banyak dan terkadang saling bertentangan.

“Sistem ini sama sekali tidak dapat dipakai untuk praktik-praktik akuntansi modern,” tulis Radius Prawiro dalam Perguatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi.

Baca juga: Pengampunan Pajak Masa Sukarno

Menurut Dawam, UU itu memberi peluang bagi usaha penciptaan golongan pembayar pajak, kendati dalam pelaksanaannya lebih mengesankan untuk memperluas basis wajib pajak. “Namun dengan dijalankannya kebijaksanaan pembaruan perpajakan dalam situasi resesi, kesadaran masyarakat akan pajak justru akan meningkat,” tulis Dawam.

Reformasi pajak mendorong perubahan sistem pemungutan pajak. Jika sebelumnya menerapkan official assessment, Kementerian Keuangan mengubahnya dengan sistem self assessment (penghitungan pajak sendiri). Dengan penerapan sistem ini, wajib pajak mau tidak mau harus memahami berbagai peraturan perpajakan, sehingga dapat melaksanakan kewajiban pajaknya dengan baik.

Menteri Keuangan Radius Prawiro (kanan) mendampingi Presiden Soeharto menerima Menteri Kerja Sama Ekonomi Jerman Barat, Hans Klein, di Bina Graha, Jakarta, 3 Mei 1988. (ANRI).

Paradigma Baru

Struktur Direktorat Jenderal Pajak pun harus menyesuaikan. Tiga pilar fungsi administrasi pajak, yaitu penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan, diwujudkan dengan membentuk Kantor Penyuluhan, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (kemudian menjadi Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) pada 1989. Pembentukan kantor-kantor ini merupakan bagian dari upaya untuk membuat pajak semakin dekat dengan masyarakat.

Reformasi perpajakan terus dilanjutkan. Pada 1983 dan 1991-2000 dilakukan reformasi undang-undang perpajakan. Setelah itu, DJP mengadakan reformasi birokrasi pada 2000-2001 sebagai persiapan menghadapi reformasi perpajakan tiga jilid.

Jilid pertama dilakukan 2002-2008. Jilid kedua berlangsung 2009-2014. Sedangkan reformasi perpajakan jilid ketiga mulai digulirkan tahun 2017 setelah berakhirnya program pengampunan pajak. Targetnya hingga 2024. Reformasi terbesar ini meliputi perubahan dalam organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta peraturan perpajakan.

Baca juga: Jejak Pengampunan Pajak

Reformasi perpajakan memunculkan paradigma baru bahwa wajib pajak adalah partner. Hal ini diwujudkan dengan keberadaan satu jabatan khusus, yaitu Account Representative (AR). Tugasnya antara lain memantau kepatuhan formal wajib pajak, melaksanakan tugas konsultasi, dan membimbing wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Di tengah proses reformasi perpajakan, Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Fokus Kementerian Keuangan tersedot pada upaya melindungi rakyat sekaligus memulihan ekonomi dari pandemi.

Kendati demikian, reformasi perpajakan tetap dilakukan sebagai upaya jangka menengah panjang untuk membangun tata perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.

TAG

kemenkeu pajak

ARTIKEL TERKAIT

Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak Pajak Judi Masa Kompeni Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Penunggang Pajak Menyita Harta Pejabat Kaya Raya A.A. Maramis Bergelut dengan Kesehatan A.A. Maramis Menikmati Masa Pensiun