Masuk Daftar
My Getplus

Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak

Pajak yang memberatkan rakyat membuat para perempuan di Nigeria melawan. Protes yang terjadi di zaman kolonial Inggris itu mendorong perlawanan lain dan meningkatkan kedudukan perempuan dalam politik dan pemerintahan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 19 Des 2024
Foto yang dipotret sekitar tahun 1923-1925 ini menggambarkan kehidupan masyarakat Nigeria di masa pendudukan Inggris. ( Smithsonian Institution/Marc Matera, Misty L. Bastian & Susan Kingsley Kent, The Women's War of 1929).

PEMERINTAH resmi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku 1 Januari 2025. Keputusan ini menuai penolakan masyarakat. Warganet di sosial media menggaungkan tagar #TolakPPN12Persen. Penolakan juga dilakukan dengan unjuk rasa. Kendati pemerintah mengatakan PPN 12 persen diterapkan pada barang dan jasa mewah atau premium, namun kebijakan ini akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.

Di masa lalu, pajak yang memberatkan rakyat seringkali memicu perlawanan. Seperti perlawanan perempuan Nigeria di masa pendudukan Inggris. Menurut Daniel Olisa Iweze, dosen senior di Departemen Sejarah dan Studi Internasional di Universitas Benin, Nigeria, dalam “Women’s Protests against Colonial Taxation in the Eastern Provinces of Nigeria”, termuat di Histories of Tax Evasion, Avoidance and Resistance, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya protes perempuan di tahun 1929, salah satunya berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat lokal di masa itu.

Depresi Besar yang melanda berbagai negara, termasuk Nigeria, menyebabkan harga komoditas agraria seperti kelapa sawit yang menjadi andalan para petani jatuh di pasar internasional. “Pendapatan masyarakat biasa menyusut antara 70 dan 80 persen, sementara harga barang-barang impor seperti garam, minyak tanah, sabun, mesin, dan tekstil meningkat secara besar-besaran, juga karena kenaikan bea masuk. Hal ini menyebabkan penurunan konsumsi barang-barang impor tersebut,” tulis Iweze.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Bermacam Pajak Era Kolonial

Pendapatan dari pertanian yang menurun membuat masyarakat tak mampu lagi membeli berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam situasi yang tegang, ketika penduduk mengharapkan pengurangan tarif pajak atau penghapusan pajak, rumor tentang pajak tambahan baru yang menyasar perempuan semakin memperbesar sentimen negatif terhadap pemerintah kolonial Inggris.

Kebijakan pajak yang memicu perlawanan perempuan itu mulai diberlakukan pada 1927 di bawah kendali Frederick Lugard, pemimpin pertama pemerintah kolonial Inggris di Nigeria. Lugard memandang pajak sebagai inovasi yang akan membawa daerah jajahan ke “jalan kemajuan dan peradaban”. Ia beranggapan pendapatan pajak tak hanya dapat menutupi biaya administrasi pemerintah kolonial, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun jalan, kereta api, dan pekerjaan umum lainnya yang dapat memajukan wilayah koloni.

“Ordonansi Pendapatan Asli tahun 1927 mendiktekan pemungutan pajak langsung di seluruh Nigeria, yang pada akhirnya juga mencakup Provinsi-Provinsi Timur. Kapitasi dan pajak pendapatan dikenakan pada setiap laki-laki yang telah berusia 16 tahun ke atas. Seorang pengawas atau kepala desa yang berfungsi sebagai agen pajak akan mendata para lelaki yang memenuhi syarat di setiap rumah dan menilai kekayaan ekonomi mereka di setiap desa dan distrik. Pajak yang harus dibayar berkisar dari empat hingga tujuh shilling per orang,” tulis Iweze.

Meski di beberapa wilayah pemungutan pajak pertama pada 1928 berlangsung tanpa gangguan serius, ada sejumlah daerah di mana para wajib pajak melakukan perlawanan. Mereka awalnya menolak untuk membayar pajak, tetapi kemudian dipaksa oleh polisi kolonial. Para wajib pajak yang tak dapat dibujuk akhirnya ditangkap, diadili, dan dihukum. Hukumannya mulai dari menyita harta benda dan hewan ternak hingga hukuman cambuk yang brutal.

Tidak seperti di Provinsi Utara dan Barat, di mana beberapa daerah memberlakukan pajak per kepala untuk laki-laki dan perempuan, di Provinsi Timur Nigeria hanya laki-laki yang dikenai pajak. Oleh karena itu, ketika pengawas pajak melakukan sensus baru pada 1929, di mana mereka tak hanya mendata penduduk laki-laki tetapi juga perempuan dan hewan peliharaan, masyarakat di wilayah Timur menafsirkan hal ini sebagai sinyal bahwa perempuan juga akan dibebankan pajak.

Baca juga: 

Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak

“Penyampaian informasi yang keliru oleh para pengawas dan kesalahan penafsiran mereka atas arahan pemerintah kolonial menyebabkan rumor yang memobilisasi gerakan protes perempuan di berbagai wilayah di Timur pada November 1929,” tulis Iweze.

Protes perempuan meletus pada 16 November 1929 di Oloko yang berada di wilayah Bende, Provinsi Owerri. Kepala Okeugo, pengawas di wilayah adat Oloko, ditugaskan untuk melakukan pendataan ulang laki-laki dewasa di desa-desa untuk daftar pajak baru. Di tengah merebaknya rumor bahwa pendataan ulang itu ditujukan untuk memungut pajak dari perempuan, kepala Okeugo menugaskan Mark Emeruwa, seorang misonaris lokal, untuk melaksanakan sensus tersebut. Ketika Emeruwa, yang bertanggung jawab atas daftar pajak, mencoba mendata seorang perempuan untuk sensus, percikan api yang menyulut kerusuhan pun menyala.

Saat mendatangi salah satu kediaman penduduk, Emeruwa mendata anggota rumah dan memungut pajak yang tertunda. Istri pemilik rumah mengatakan bahwa suaminya tak memiliki uang untuk membayar pajak karena bukan pegawai pemerintah kolonial. Ia juga menegaskan bahwa sebelumnya perempuan tidak pernah dikenakan pajak dan sekarang pun tidak boleh dikenakan pajak.

Perselisihan ini menarik perhatian perempuan lain. Istri pemilik rumah yang didatangi Emeruwa memberi tahu mereka bahwa ia diminta untuk membayar pajak sebagai ganti suami, dan jika menolak, ia diancam akan dipukuli. Wanita itu juga memberi tahu para perempuan lain bahwa Emeruwa bertindak atas nama pemimpin lokal Okeugo. Sang pemimpin berencana menggunakan polisi kolonial untuk menyita harta benda mereka yang tidak mau membayar pajak. Para perempuan tidak mengizinkan Emeruwa menceritakan versinya tentang apa yang terjadi dan ia melarikan diri ke rumah kepala Okeugo.

Para perempuan desa yang marah berkumpul di rumah kepala Okuego untuk menuntut Emeruwa dan “mendudukinya” –sebuah cara tradisional bagi perempuan Igbo dalam melawan ketidakadilan. Okuego memohon kepada para wanita yang dirugikan dan meyakinkan mereka bahwa tidak ada rencana mengenakan pajak pada perempuan dan hewan peliharaan, tetapi mereka menolak semua permohonan dan menuntut topinya, simbol otoritasnya. Pada saat itulah petugas polisi melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan kerumunan yang menyebabkan beberapa perempuan terluka. Tindakan ini semakin memicu kemarahan para perempuan yang segera menyebarluaskan insiden itu ke desa-desa lain dan berhasil menarik ribuan perempuan untuk ikut ambil bagian dalam protes tersebut.

Baca juga: 

Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak

Kendati protes para perempuan itu ditumpas dengan keras oleh aparat keamanan, perlawanan tersebut berhasil dalam jangka panjang. Tak hanya memprotes kebijakan pajak, para perempuan di berbagai wilayah menyuarakan kritik berkaitan dengan kesulitan yang mereka hadapi imbas jatuhnya harga komoditas ekspor dan meningkatnya harga produk-produk impor.

Chima J. Korieh menulis dalam Nigeria and World War II: Colonialism, Empire, and Global Conflict, seorang petugas distrik untuk Provinsi Owerri melaporkan pada Desember 1929 bahwa para perempuan di distrik tersebut menuntut penghapusan pajak bagi laki-laki, kenaikan harga hasil bumi –terutama minyak sawit dan biji-bijian, serta penurunan harga barang-barang impor. Kaum perempuan di Obowo, Distrik Okigwe, yang berada di timur Nigeria juga mengajukan petisi kepada pejabat distrik terkait jatuhnya harga hasil bumi. Pada akhirnya aksi protes perempuan pada 1929 membentuk tradisi perlawanan pajak antikolonial yang mengilhami pemberontakan lebih lanjut pada 1930-an hingga 1940-an di berbagai wilayah di Nigeria.

Tak hanya itu, menurut Iweze, protes pajak yang dilakukan para perempuan di tahun 1929 mengilhami partisipasi politik kaum perempuan di negara tersebut. Selain ambil bagian dalam gerakan kemerdekaan Nigeria, beberapa perempuan bahkan dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan politik, sehingga protes ini dapat dipandang sebagai titik penting yang meningkatkan kedudukan perempuan ke dalam otoritas politik dalam sistem pemerintahan lokal yang direformasi pada tahun 1930-an hingga 1950-an.*

TAG

pajak nigeria

ARTIKEL TERKAIT

Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak Pajak Judi Masa Kompeni Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Penunggang Pajak Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Jejak Direktorat Pajak Pakaian pada Masa Jawa Kuno Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan