Masuk Daftar
My Getplus

Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak

Pemerintah kolonial Belanda mengenakan pajak kepala dan kuku panjang bagi warga Tionghoa. Tidak berlaku bagi peranakan Tionghoa atau Tionghoa muslim.

Oleh: Amanda Rachmadita | 14 Mar 2023
Lingkungan Tionghoa di Batavia antara tahun 1900 dan 1940. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

PAJAK masih menjadi topik hangat. Masyarakat geram melihat perilaku pejabat pajak dan keluarganya yang pamer harta dan gaya hidup mewah. Maklum, publik merasa segala hal nyaris dikenai pajak. Sementara para pejabat pajak kaya raya.

Sudah sejak zaman kolonial, masyarakat di Hindia Belanda dikenai berbagai jenis pajak. Bahkan, masyarakat Tionghoa dikenai pajak kepala (hoofdgeld der Chineezen). Menurut arsiparis cum sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, aturan pajak kepala dikeluarkan sejak 9 Oktober 1619, beberapa hari sebelum Souw Beng Kong diangkat menjadi Kapitan Cina yang pertama dalam masa pemerintahan kolonial.

“Begitu diangkat dan dilantik, tugas Souw Beng Kong yang pertama adalah memungut pajak orang Cina,” tulis Mona.

Advertising
Advertising

Baca juga: Bermacam Pajak Era Kolonial

Pajak kepala dikenakan kepada setiap laki-laki Tionghoa berumur 16 tahun hingga 60 tahun membayar pajak sebesar 1,5 real per kepala. Pajak kepala kerap disebut “surat konde” karena orang-orang Tionghoa di masa silam kebanyakan memiliki rambut panjang yang digelung menjadi konde.

Sementara itu, menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, di masa kepemimpinan Phoa Beng Gan sebagai Kapitan Cina, pajak kepala ini besarnya f.0,25 bila dibayarkan tiap bulan, namun bila dibayar setahun menjadi f.2,50.

“Masyarakat Tionghoa banyak yang merasa keberatan dan tidak mau membayar pajak tersebut, tetapi mereka yang membangkang akhirnya dituntut di pengadilan dan dikenakan hukuman 8 hari kurungan penjara atau denda f.25,” tulis Benny.

Baca juga: Perilaku Wajib Pajak Tempo Dulu

Selain pajak kepala, sejarawan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi menyebut ada sejumlah pajak lain yang juga dibebankan kepada penduduk Tionghoa, di antaranya pajak jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang (menandakan orang kaya yang santai), pajak judi, dan pajak candu.

 

Menurut Mona, untuk mengingatkan warganya membayar pajak setiap awal bulan, Kapitan Cina akan memasang bendera selama tiga hari di depan rumahnya. Pemasangan bendera ini sebagai tanda bagi penduduk Tionghoa di Batavia agar segera melunasi kewajiban pajaknya.

“Boleh jadi ini pula asal muasal penamaan kampung Tiang Bendera (sekarang nama jalan) di daerah kota lama Jakarta,” kata Mona.

Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng

Bagi warga Tionghoa yang tinggal di luar wilayah kota atau ommelanden, mereka membayar pajak kepada potia, yaitu kepala atau mandor pengelola perkebunan atau pertanian, di wilayah mereka. Namun, ada saja warga Tionghoa yang mengelak bayar pajak, dan ada pula potia yang tidak menyetor hasil pungutan pajak kepada Kapitan Cina.

Pajak kepala atau surat konde tidak berlaku bagi warga Tionghoa yang memeluk agama Islam yang kerap disebut sebagai peranakan Tionghoa atau peranakan Cina. Selain tidak dibebankan pajak kepala, meraka juga tidak lagi memelihara kuncir, yang oleh orang Belanda disebut geschoren Chineezen, artinya orang Tionghoa yang mencukur kuncirnya.

“Adapun hukum aturan yang dikenakan kepada peranakan Cina ini adalah hukum yang sama diberlakukan kepada warga pribumi yaitu hukum Islam,” sebut Mona.

Baca juga: Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan

Tidak diketahui pasti jumlah peranakan Tionghoa yang bermukim di wilayah Batavia. Namun, diperkirakan pada abad ke-18 jumlahnya cukup berarti, terbukti dengan adanya jabatan kapitan tersendiri untuk kelompok Tionghoa muslim yang disebut Kommandant der Parnakkans Chineezen. Jabatan ini turun-temurun dipegang oleh keluarga Dossol. Diketahui hanya ada tiga kapitan peranakan Tionghoa dalam sejarah Batavia, yaitu Dossol, digantikan anaknya, Tamien Dossol, dan kemudian digantikan anaknya, Aliemuddin Tamien Dossol.

Di masa kepemimpinan Aliemuddin, kata Mona, jabatan kapitan peranakan Tionghoa dihapus bersamaan dengan jabatan kapitan pribumi lainnya. “Belanda beranggapan karena kaum Cina muslim ini sudah berbaur dengan pribumi lainnya, maka dirasa tidak perlu lagi untuk memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri,” tulis Mona.

Terkait pajak kepala yang dibebankan kapada penduduk Tionghoa, Mona Lohanda dan Andreas Pardede dalam Antara Prasangka dan Realita: Telaah Kritis Wacana Anti Cina menulis, baru tahun 1900 pajak tersebut dimasukkan dalam pajak penghasilan yang mereka bayar.

“Pajak kekayaan dikenakan hanya kepada orang Eropa dan Timur Asing, termasuk orang Tionghoa. Dengan demikian, rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga yang dimiliki warga dikenakan pajak,” tulis Mona dan Andreas.*

TAG

pajak tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Diaspora Resep Naga Kiprah Tionghoa dalam Tinju dan Wushu Sejarah Gambang Kromong dan Wayang Potehi Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah Pengaruh Tionghoa pada Masjid Demak dan Masjid Angke