Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Hadi Purnomo, mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai tersangka kasus pajak BCA pada 21 April 2014. Saat menjabat Direktur Jenderal Pajak pada 2002-2004, Hadi menerima keberatan pembayaran pajak yang diajukan BCA sehingga merugikan keuangan negara sekira Rp375 milyar.
Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pajak pernah tercatat beberapa kali dalam sejarah Indonesia. Pada masa Mataram Kuno, orang menyebut pejabat pajak sebagai mangilala drawya haji.
“Kelompok petugas ini pertama kali disebut dalam sumber prasasti pada awal abad ke-9 (Garung/Pengging, 741 Saka/819 Masehi),” tulis Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa.
Baca juga: Perilaku Wajib Pajak Tempo Dulu
Mangilala drawya haji mengumpulkan pajak dari penduduk terkena pajak (wargga kilalan) semisal petani, pedagang, dan orang asing. Tiap wargga kilalan punya bentuk pajak berbeda. Pajak petani berupa sebagian hasil sawah, sedangkan pajak pedagang dan orang asing bisa berupa kain, uang emas, atau perak. Besaran pajaknya juga berbeda.
Petani paling sering jadi sasaran ulah menyeleweng mangilala drawya haji. Sebab, “Milik golongan ini adalah tanah yang tidak bisa dilarikan dan hasilnya sukar disembunyikan,” tulis Onghokham, “Tahun Pajak 1980-an dalam Perspektif Sejarah,” termuat dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong.
Baca juga: Bermacam Pajak Era Kolonial
Nayaka, petugas pemungut pajak di desa, beberapa kali lalai menghitung luas sawah petani dan jumlah pajak yang harus dibayar. Kesalahan hitung bisa merugikan petani. Bisa-bisa petani wajib membayar pajak lebih tinggi. Sedangkan Nayaka dan mangilala drawya haji berpotensi menggelapkan selisih pajak itu untuk kepentingan pribadi. Tapi ulah mereka tak selalu berjalan mulus.
Prasasti Luitan (823 S/901 M) menerangkan sejumlah perwakilan petani keberatan atas perhitungan nayaka. “Mereka itu mohon agar sawah mereka diukur kembali,” tulis Boechari, “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno,” termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Nayaka menghitung sawah petani seluas 1 tampah (6.750-7.860 meter persegi). Padahal sawah petani hanya seluas 2/3 tampah. Penguasa Mataram menerima keberatan itu sehingga petani tak harus membayar pajak lebih tinggi.
Baca juga: Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan
Kasus hampir serupa termaktub dalam Prasasti Palepangan (828 S/906 M). Perwakilan petani berselisih paham dengan nayaka. Pangkalnya nayaka menghitung sawah petani seluas 2 lamwit (setara dengan 40 tampah) dan pajak mereka sebesar 6 dharana perak. Karuan petani kalang-kabut. Mereka tak punya perak sebanyak itu. Lagipula mereka yakin sawah mereka tak seluas perhitungan nayaka.
Petani mohon kepada penguasa untuk meninjau ulang keputusan nayaka. Penguasa pun menyuruh nayaka mengukur ulang luas sawah petani. Hasilnya sawah petani hanya seluas 1 lamwit dan 7,5 tampah. Jumlah pajak petani pun turun. Mereka cuma membayar sebesar 5 kati (1 kati=32 dharana) dan 5 dharana perak.
Boechari berkesimpulan dua kasus itu menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Sayangnya, tak ada catatan sanksi atau hukuman untuk para pejabat pajak yang menyeleweng.