MALAM itu Tan Liep Tjiauw kecewa. Lapangan tenis untuk partai final kejuaraan tenis tahunan Malaya, Agustus 1949, basah dan licin. Dan dia pun kalah melawan KH Ip, petenis China. Namun, media tetap memuji prestasinya dan mafhum karena dia kelelahan karena sebelumnya harus bermain di final ganda campuran.
Tan Liep Tjiauw, asal Blora, merupakan salah satu petenis Indonesia yang bersinar di era 1940 hingga 1960-an. Bersama Katili, Ketje Soedarsono, Panarto, dan Doelrachman, dia menjadi bintang tenis tanah air setelah pemain generasi awal seperti Soemboedjo, Soemardi Hoerip, dan Soelastri Hoerip meredup.
Baca juga: Kiprah Tionghoa dalam Olahraga
Olahraga tenis masuk Indonesia sekira tahun 1900. Menurut laman Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (Pelti), pelti.or.id, kemungkinan diperkenalkan orang Belanda, kendati tak tertutup kemungkinan dibawa para pelaut Inggris yang singgah di kota-kota besar di Nusantara.
Awalnya tenis hanya dimainkan orang-orang kaya, Belanda maupun Tionghoa, di kota-kota besar. Salah satu petenis Tionghoa di masa itu adalah Kho Sin Kie. Mulai bermain di usia 14 tahun, dia memenangi kejuaraan tenis di Jawa Tengah dan seluruh Jawa. Pada 1933, dia dikirim untuk mengikuti National Olympic Games di China. Menariknya, dia kemudian mewakili China dalam kompetisi Davis Cup di Meksiko dan Eropa setahun kemudian. Setelah menjuarai Bournmount Championship pada 1939, dia kembali ke Jawa.
“Dia terus mengalahkan pemain-pemain tenis di Jawa, tempat dia hidup hingga kemerdekaan Indonesia,” tulis Leo Suryadianata dalam Prominent Indonesian Chinese.
Baca juga: Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis
Penerusnya antara lain Liep Tjiauw, yang muncul sebagai pemain berbakat pada 1940. Di masa pendudukan Jepang, dia ikut pertandingan tenis dan meraih juara. Di masa merdeka, dia tiga kali menjuarai Kejuaraan Nasional –sementara istrinya empat kali– di event nasional maupun luar negeri, perorangan maupun beregu. Dia bahkan sempat bermain di kejuaraan Wimbledon, Inggris, pada 1953 –kali pertama orang Indonesia terjun ke ajang paling bergensi di dunia.
Liep Tjiauw dan Liem Yoe Djiem, plus Ketje Soedarsono, menjadi wakil Indonesia di Interport Championship di Singapura. Indonesia berhasil menjadi juara umum, dan Liep Tjiauw merebut juara tunggal putra. Pada 1961, untuk kali pertama, Indonesia ikut Davis Cup.
Pemain muda Tionghoa juga bermunculan setelah eranya seperti Lita Liem, Sie Nie Sie, atau Go Soen Hauw (Gondowidjojo), yang berhasil memenengani beberapa event.
Baca juga: Kiprah Tionghoa dalam Tinju dan Wushu
Salah satu yang fenomenal adalah Lita Liem. Petenis Tionghoa Manado ini bermain di berbagai turnamen (Grand Slam) di Asia, Eropa, dan Amerika selama 1968-1975 untuk tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Di ganda putri, bersama Lany Kaligis, prestasi terbaiknya adalah mencapai perempat final di Australia Terbuka tahun 1970 dan Wimbledon tahun 1971. Dia juga beberapa kali meraih medali emas di ajang Asian Games.
“Dia pernah mengumpulkan hadiah uang tertinggi di antara pemain wanita Asia (US$1.000) dalam putaran turnamen Eropa dan Amerika,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Kini, kita mengenal nama-nama seperti Dewi Fortuna, Suwandi, Wynne Prakusya, Angelique Widjaya, Beatrice Gumulya, dan masih banyak lagi. Etnis Tionghoa telah memberikan kado manis untuk tenis Indonesia.*
Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013