Masuk Daftar
My Getplus

Kiprah Tionghoa dalam Olahraga

Olahragawan seakan tidak punya masa depan. Namun, keturunan Tionghoa punya tujuan lain menguasai berbagai cabang olahraga.

Oleh: Randy Wirayudha | 18 Jul 2017
Kontingen Indonesia ke Olimpiade XV Helsinki, tahun 1952. Kiri-kanan: Sudharmaja (lompat tinggi), Thio Ging Hwie (angkat besi), Suharko (renang). Foto: repro buku "Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah."

Setelah Indonesia merdeka, keturunan Tionghoa banyak yang menjadi atlet olahraga. Mereka menyadari menjadi olahragawan seakan tidak punya masa depan; kalau pensiun paling jadi pelatih. Namun, mereka tetap menjalani karier sebagai olahragawan untuk menunjukkan identitas keindonesiaan.

“Di masa kolonial, banyak Tionghoa yang berorientasi kepada Belanda dan itu menyusahkan posisi mereka pasca kemerdekaan. Tahun 1950-an, nation building mulai mengemuka, tapi kemudian belongingness (rasa memiliki) orang Tionghoa masih dipertanyakan. Ini yang kemudian menjadi penting kenapa orang Tionghoa di Indonesia ingin begitu menonjol dalam olahraga. Walau mereka tahu bahwa di masa itu hingga 1960-an atau mungkin sampai sekarang, olahraga tidak punya masa depan,” kata Taufiq Tanasaldy dalam diskusi “Nation Building and Sport: The Indonesia Chinese in the 1950s” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 17 Juli 2017.

Berbagai daerah pun mengandalkan atlet Tionghoa pada perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON). Begitu pula Indonesia juga mengandalkan mereka dalam ajang internasional.

Advertising
Advertising

Taufiq meneliti PON III pada 20-27 September 1953 di Medan, Sumatra Utara, melalui media massa seperti Sin Po yang kemudian berubah jadi Warta Bhakti hingga tabloid Aneka, yang tersimpan di Arsip Nasional Beijing, Tiongkok. Dia menemukan nama-nama atlet Tionghoa dalam berbagai cabang olahraga.

“Bicara atlet Tionghoa di era 1950-an, terlebih di media-media cetak, itu sangat mudah diidentifikasi. Namanya masih pakai nama Tionghoa, tidak seperti sekarang. Mereka yang terlibat dalam olahraga Indonesia, beyond bulutangkis dan sepakbola. Mungkin Anda akan terkejut atau terjatuh dari kursi Anda ketika mendengarnya,” ungkap Taufiq, peneliti dari University of Tasmania, Australia.

Taufiq membeberkan bahwa “dari tahun 1950-an, 90 persen atlet binaraga adalah Tionghoa. Ada juga bola basket, tenis meja, tenis lapangan, renang, polo air. Belum lagi tinju. Zaman sekarang Anda mungkin tidak membayangkan banyak atlet Tionghoa yang dominan dalam tinju. Ditambah lagi cycling (balap sepeda), angkat besi, hingga atletik walau di cabang ini tidak banyak yang menonjol.”

Pada PON III, dari cabang angkat berat yang diikuti 22 partisipan (kontingen daerah), hampir semuanya mengandalkan atlet-atlet Tionghoa. Di cabang ini, hampir semua medali juga dipetik para atlet Tionghoa.

“Di cabang renang, dari 15 medali di nomor putra, sembilan medali emas direbut perenang Tionghoa. Di nomor putri dengan empat emas yang direbut, semuanya juga jatuh ke perenang Tionghoa. Di basket, semua tim yang ikut diisi para pemain Tionghoa, kecuali Sulawesi Selatan meski setengah dari timnya juga masih Tionghoa,” tambah Taufiq.

Taufiq memandang keterlibatan atlet Tionghoa dalam olahraga bertujuan untuk menunjukkan identitas keindonesiaan mereka. “Bahwa mereka juga bagian dari satu entitas besar bangsa Indonesia,” tegas Taufiq.

Taufiq menyatakan bahwa pemerintah dan penyelenggara (organisasi olahraga nasional) harus mendorong masyarakat agar bisa lebih menerima orang-orang Tionghoa lewat beragam bentuk apresiasi. Mulai dari penghargaan hingga mengemukakan sepak terjang mereka di media massa.

“Seperti di tahun 1960, PSSI memberi pengakuan gold category untuk sembilan pemain timnas Indonesia, di mana lima di antaranya Tionghoa. Seperti Tan Liong Houw, Thio Him Chang, Kwee Kiat Sek. Setahun atau dua tahun setelahnya, mereka diberi medali Satya Lencana oleh pemerintah Sukarno,” kata Taufiq.

“Pemerintah punya peran memperkuat penerimaan akan kaum minoritas. Masyarakat yang lain kemudian bisa melihat tindakan pemerintah. Kalau pemerintah sudah menerima pencapaian kelompok minoritas ini, masyarakat juga akan merasa, oh iya, pemerintah saja sudah memberi pengakuan. Kemudian nantinya lagi minoritas bisa lebih mudah menjadi bagian dari kehidupan berolahraga,” imbuhnya.

Peran atlet Tionghoa berubah di era Orde Baru. Pasca peristiwa 1 Oktober 1965, tidak sedikit dari atlet Tionghoa memilih keluar dari Indonesia. “Tahun 1967 banyak dari mereka yang pergi dari Indonesia. Mereka kena persekusi (dikaitkan dengan komunisme). Meski masih ada di antara mereka yang kemudian berprestasi, tapi dalam olahraga selanjutnya hanya sebatas di cabang bulutangkis. Ini yang masih jadi bahan riset saya selanjutnya,” pungkas Taufiq.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh