ORANG yang menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pertama adalah Raden Mas Margono Djojohadikusomo (1894-1978), kakek dari Presiden Prabowo Subianto. Dialah yang kemudian mengerjakan persiapan pembentukan Bank Sentral (Bank Sirkulasi) Negara Indonesia pada 16 September 1945. Lewat Perppu Nomor 2 tahun 1946 yang terbit pada 15 Juli 1946, berdirilah Bank Negara Indonesia (BNI) dan Margono ditunjuk menjadi direktur utamanya. Namun belakangan, BNI tak menjadi bank sentral, melainkan Bank Indonesia yang terusan dari De Javasche Bank.
Margono merupakan lulusan sekolah abdi negara Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Dalam Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa disebutkan, di zaman Hindia Belanda Margono pernah bekerja di sektor perkreditan rakyat. Memulai dari jadi juru tulis, Margono pada akhirnya mencapai posisi sebagai pejabat pribumi urusan perkreditan rakyat di Purworejo, Kebumen, dan Madiun. Setelah tugas belajar di Belanda, Margono dipekerjakan pada bagian ekonomi Kementerian Kolonial Belanda. Pernah pula dia menjadi pengawas koperasi di Jakarta. Di zaman Jepang, dia bekerja pada Kantor Pusat Koperasi dalam Kementerian Dalam Negeri.
Baca juga:
Margono tentu bukan satu-satunya orang Indonesia yang bergerak dalam perbaikan ekonomi orang Indonesia. Raden Panji Soenario Gondokoesoemo (1892-1963), anak patih Mojokerto, juga punya kiprah penting. Menurut Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa, antara 1912 dan 1916 Soenario bekerja di kantor irigasi di Probolinggo dan Jakarta. Setelah belajar di sekolah dagang di Belanda, dia terjun ke dunia usaha. Sedari 1929 hingga 1935, dia menjadi direktur Bank Nasional Indonesia –yang berbeda dari BNI 1946– lalu pada 1935-1943 menjadi pengawas di Asuransi Jiwa Boemipoetra.
Kedua perusahaan terakhir tempat Soenario pernah berkiprah itu, meski tak disebut dalam buku pelajaran sejarah sekolah, merupakan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh kaum pergerakan nasional dan pengelolanya adalah orang-orang Indonesia. Bank era itu umumnya dikekola orang Belanda. Ketika itu Margono masih menjadi pegawai negeri kolonial.
Baca juga:
Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia
Bank Nasional Indonesia dianggap bank pertama yang didirikan dan dikelola oleh orang Indonesia. John O. Sutter dalam Indonesianisasi Politics in a Changing Economy, 1940-1955 (1959:89) menyebut NV Bank Nasional Indonesia didirikan oleh Indonesische Studieclub di Surabaya pada 1929 dengan modal 500 ribu gulden. Dr Soetomo, pemimpin Partai Bangsa Indonesia (PBI), terkait pula dengan pendirian bank ini. Selain bank itu, di Surabaya berdiri pula Gedung Nasional Indonesia, tempat Soenario menjadi direktur pertamanya.
Gaung Bank Nasional Indonesia dari Surabaya itu tak hanya menjangkau pulau Jawa saja, tapi juga Sumatra. Menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat, Anwar Sutan Saidi pada 30 September 1930 mendirikan Bank Nasional Indonesia di Bukittinggi. Namun bank pergerakan nasional itu kemudian menghilang.
Namun, bank tersebut masih kalah tua usianya dari perusahaan Asuransi Jiwa Boemipoetra. Mas Ngabehi Dwidjosewojo bersama Mas Karto Hadi Karto Soebroto dan Mas Adimidjojo, yang semua adalah guru, membangunnya pada 1912. Dwidjosewojo (1867-1943) merupakan guru bahasa Jawa di Kweekschool (sekolah guru) di Yogyakarta.
Baca juga:
Mengenal Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia
Edward S. Simanjuntak dalam “Raksasa Bumiputera dari Tangan Guru”, termuat di Prisma No. 2 Tahun XVIII, 1989, menyebut mereka mulanya ingin mengajak Boedi Oetomo, namun karena tak mendapat kepastian, ketiganya menggalang Perhimpoenan Goeroe Hindia Belanda (PGHB). Perusahaan itu kemudian berjalan. Sejak 12 Februari 1912, Onderlinge Lavensverzakering Maatschappij Perserikatan Goeroe Hindia Belanda, yang disingkat OLMij PGHB pun lahir. Waktu asuransi ini berdiri, Margono masih bersiap jadi PNS di OSVIA.
MKH Soebroto dipercaya menjandi direktur pertamanya dan M. Adimidjojo sebagai bendahara, sementara Dwidjosewojo presiden komisaris. Mulanya pemerintah kolonial memberi subsidi dengan harapan perusahaan ini dapat menolong pegawai negeri kolonial lain. Dwidjoseowo yang kelak dijuluki "Bapak Asuransi Indonesia", disebut dalam Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa, sejak 1938 hingga 1941 memimpin NV Perseroan Dagang Pertanian Boemipoetra dengan terus aktif mengawasi perusahaan asuransi yang dibangunnya.
Selain nama-nama di atas, ada pula pengusaha pribumi yang sudah besar yang dekat dengan kaum pergerakan. Semisal Agus Dasaad, Ghany Azis, Djohan, Djohar, dan Etek Ajub Rais. Meski tak banyak, kehadiran orang seperti mereka di dunia ekonomi era kolonial menjadi fondasi pembangunan ekonomi pribumi yang lebih mandiri. Jadi selain Margono, ada Dwidjosewojo dan Soenario Gondokoesoemo. Soenario belakangan punya menantu bernama Abdul Haris Nasution yang sesepun TNI AD.*