UNTUK kesekian kalinya pemerintah Indonesia mengusulkan repatriasi Prasasti Pucangan. Warisan kebudayaan Nusantara yang kadang disebut Calcutta Stone atau Airlangga Stone itu kini masih tertinggal di Kalkuta, India. Prasasti yang berasal dari pertengahan abad ke-11 itu berisi riwayat Raja Airlangga, penguasa Kerajaan Medang Kahuripan yang bertakhta kurun 1019-1043 Masehi (M).
Dalam pertemuan bilateral dengan Menteri Kebudayaan merangkap Menteri Pariwisata India Gajendra Singh Shekhawat di sela agenda G20 di Brasil pada 8 November 2024, Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon mengajukan permintaan repatriasinya. Repatriasi Prasasti Pucangan punya arti penting bagi sejarah Nusantara dan pengembaliannya akan mempererat persahabatan kebudayaan RI-India.
Sejatinya, pimpinan DPR pada 2015 sudah pernah mengajukan permintaan repatriasi Prasasti Pucangan seiring kunjungan Menteri Luar Negeri India Sushma Swaraj. Lalu, pimpinan MPR juga menegaskan desakan serupa pasca-bertemu Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia medio Juni 2022.
Menurut sejarawan Peter Carey dalam siniar Dialog Sejarah “Memburu Harta Jarahan: Repatriasi Benda Bersejarah dari Negeri Penjajah” di kanal Youtube Historia.ID, 5 Agustus 2020, prosesnya memang takkan mudah karena Prasasti Pucangan, sebagaimana juga Prasasti Sangguran atau Minto Stone, sudah terjadi peleburan budaya benda itu kepada budaya lokal.
“Walau dalam kasus Prasasti Pucangan ia sempat ada di gudang Indian Museum dalam situasi porak-poranda. Itu kalau bisa kembali (saja) ke Museum Nasional (Indonesia) dan dipelihara dengan baik. Ini harus ada semacam desakan (resmi) dari pemerintah Indonesia dengan semua fakta dan penelitian. Harus ada (riset) provenance yang sangat teliti dan harus sudah memastikan dengan jelas seumpama benda itu kembali agar kondisinya akan lebih baik dari sebelumnya,” kata Carey.
Baca juga: Prasasti Damalung yang Hilang Ditemukan di Negeri Seberang
Riwayat dan Legitimasi Raja Airlangga
Selain berisi riwayat Raja Airlangga, fakta menarik dari prasasti bermaterial batu andesit dengan dimensi tinggi 124 cm dan lebar 86 cm itu terpahat dua inskripsi dengan aksara dan masa yang berbeda tetapi saling mengisi secara substansi. Di bagian depannya terukir inskripsi beraksara Kawi (Jawa Kuno) bertarikh 963 Saka (1041 M) tapi di bagian belakangnya terpahat aksara Sanskerta dengan tahun 969 Saka (1037 M).
Arkeolog Universitas Indonesia Ninie Soesanti Tedjowasono dalam laporan penelitiannya tahun 1996, “Prasasti-Prasasti Sekitar Masa Pemerintahan Raja Airlangga: Suatu Kajian Analitis”, menyatakan inskripsi dengan aksara Sanskerta memuat silsilah dan riwayat Raja Airlangga yang diyakini dijadikan legitimasinya sebagai pendiri Kerajaan Kahuripan (1019-1043 M), penerus Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang runtuh pada 1016 M. Sedangkan inskripsi dalam bahasa Jawa Kuno yang memuat maklumat Raja Airlangga terkait wilayah Pucangan, Barahem, Baputri, ditetapkan sebagai sima atau kawasan bangunan suci.
“Prasasti (inskripsi Jawa Kuno) menggambarkan kedekatan raja dengan rakyatnya dan bersama dengan prasasti-prasasti lain yang bertema sama yaitu pemberian hadiah status sima jadi tema sosial prasasti itu,” tulis Ninie dalam kesimpulan laporan penelitiannya.
Namun, Prasasti Airlangga itu kadung dikenal sebagai Prasasti Pucangan karena ditemukan di Pucangan, Jawa Timur. Meski begitu, beberapa ahli sempat berbeda pandangan mengenai letak Pucangan.
Baca juga: Menggali Isi Prasasti Airlangga di Museum India
Filolog Belanda Jan Laurens Andries Brandes dalam Oud Javaansche oorkonde menyebut prasasti itu berasal dari daerah Surabaya. Kemungkinan ia merujuk daerahnya berada di lereng Gunung Penanggungan atau kadang disebut Gunung Pawitra yang berada di 55 km sebelah selatan kota Surabaya.
Adapun arkeolog Belanda lain, Willem Frederik Sutterheim, berpendapat beda. Dalam “Waar lag Erlangga’s kluizenraij van den Pucangan?” termuat di buletin dinas purbakala Oudheidkundige aantekeningen: XLVIII, dia menyebut Pucangan berada di daerah Ngimbang, kini sebuah kecamatan di Kabupaten Lamongan.
“Raja (Airlangga) melepas nazarnya setelah selesai kampanye penaklukkan dengan membangun pertapaan di Gunung Pugawat (Pucangan). Semula para ahli berpendapat Pucangan atau Pugawat itu di Gunung Penanggungan. Namun Stutterheim menunjukkan bahwa gunung itu mesti dicari di sekitar daerah Ngimbang, mengingat sebagian besar prasasti Airlangga, terutama yang ditulis di atas batu, terdapat di sekitar daerah Ngimbang,” tulis sejarawan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno, edisi pemutakhiran tahun 2008.
Perbedaan pendapat para ahli itu tak lepas dari masih samarnya siapa yang menemukan prasasti tersebut. Juga tentang kapan dan di mana tepatnya Prasasti Pucangan ditemukan di masa kolonial.
“Tentang siapa dan di mana tepatnya prasasti itu ditemukan masih tidak diketahui. Hanya diketahui kemudian prasasti itu diangkut oleh (Thomas Stamford) Raffles pada 1813 ke Indian Museum di Kalkuta,” ungkap orientalis Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis dalam Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginning to C. A.D. 1500.
Baca juga: Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog
Raffles menjadi Letnan Gubernur Hindia Belanda kedua pasca-Inggris mencaplok Hindia Timur (kini Indonesia) dari Kongsi Dagang Hindia Timur VOC setelah Invasi Jawa (4 Agustus-18 September 1811). Jawa diinvasi sebagai bagian dari upaya Inggris mencegah Napoleon Bonaparte memperkuat kekuatannya di wilayah Hindia Timur. Belanda sendiri saat itu berada di bawah naungan imperium Prancisnya Napoleon.
“Jawa seperti tempat main catur, tempat berkelahi negara-negara adidaya (Prancis dan Inggris) karena ini murni politik. Tetapi di Jawa Inggris juga gagal mencapai perdamaian dengan Keraton Yogyakarta sampai Sultan (Hamengkubuwono) II digulingkan. Sambil menaklukkan, Inggris merampas dan menjarah sebagai cara memberi bayaran untuk serdadu India,” sambung Carey.
Aneka jarahannya juga turut dikirimkan ke atasannya Raffles di India, Sir Gilbert Elliot yang bergelar Lord Minto yang menjabat Gubernur Jenderal India. Di antara benda-benda jarahannya itu tak lain Prasasti Sangguran dan Prasasti Pucangan.
“Adalah Kolonel Colin Mackenzie, perwira zeni militer Inggris di Jawa yang diperintahkan Raffles mencari artefak-artefak yang bernilai. Ia mengambil Prasasti Pucangan selama masa pemerintahan Raffles pada 1812 dan Raffles mengirimkannya ke Kalkuta sehingga artefak itu disebut juga ‘Calcutta Stone’,” ungkap Carsten Stahn dalam Confronting Colonial Objects: Histories, Legalities, and Access to Culture.
Sedangkan untuk Prasasti Sangguran, lanjut Stahn, diambil sendiri oleh Raffles di Malang. Raffles mengirimkannya dengan kapal SS Matilda secara berbarengan dengan Prasasti Pucangan ke Kalkuta medio Mei 1813.
Prasasti Sangguran kemudian dibawa pulang Lord Minto ke Inggris sehingga seterusnya artefak itu lebih dikenal sebagai “Minto Stone”. Adapun Prasasti Pucangan alias Calcutta Stone tetap berada di India dan tersimpan di Indian Museum di Kalkuta hingga sekarang.
Baca juga: Tantangan Mengembalikan Prasasti dari Inggris