Masuk Daftar
My Getplus

Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah

Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah terungkap berkat citra satelit mata-mata milik AS.

Oleh: Prihandini Anisa | 14 Nov 2024
Penggambaran pertempuran dari naskah epik Persia Shahnameh. (British Library/Wikipedia.org)

PERTEMPURAN al-Qadisiyyah merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Islam. Selain menandai awal kekuasaan Islam atas Persia, pertempuran ini mengakhiri Kekaisaran Sasaniyah di Persia, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Iran.

Pertempuran itu terjadi antara tahun 636-637 M di al-Qadisiyyah, salah satu kota kecil dekat al-Hirrah, yang sekarang dikenal sebagai Irak. Namun, tak ada yang benar-benar tahu lokasi pertempuran sesungguhnya. Belakangan, misteri tersebut dipecahkan oleh tim peneliti gabungan dari Universitas Durham (Inggris) dan Universitas Al-Qadisiyah (Irak).

Menurut jurnal Antiquity yang dipublikasikan 12 November 2024, tim yang dipimpin oleh William Deadman, ahli penginderaan jauh arkeologi dari Universitas Durham, mengidentifikasi lokasi diduga Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak lewat citra satelit mata-mata milik Amerika Serikat yang kini bisa diakses oleh publik. Hasil analisis dari satelit tahun 1970-an itu lalu dicocokkan dengan citra satelit modern dan teks sejarah yang memuat detail penting dari peristiwa tersebut.

Advertising
Advertising
Citra satelit mata-mata yang menampilkan wilayah al-Qadisiyyah. (Sumber: US Geological Survey)

Citra Satelit Mata-Mata

Bisa dibilang situs diduga lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah ditemukan secara tidak sengaja. Deadman beserta tim awalnya hendak melakukan survei penginderaan jarak jauh untuk memetakan Darb Zubaidah, jalur haji yang menghubungkan Kufah di Irak dan Mekkah di Arab Saudi yang dibangun lebih dari 1.000 tahun lalu. Namun, mereka menyadari bahwa sebuah situs yang berada sekitar 30 kilometer di selatan Kufah memiliki ciri-ciri yang mirip dengan deskripsi lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah yang dijabarkan di berbagai teks sejarah.

Menurut Deadman, ia bersama timnya menemukan dinding ganda sepanjang sekitar 10 km yang diyakini memiliki fungsi penting saat pertempuran berlangsung.

“Dinding ini sangat cocok dengan detail yang disebutkan dalam sumber sejarah mengenai Pertempuran al-Qadisiyyah. Kami juga berhasil mengidentifikasi dua titik pemberhentian di sepanjang Darb Zubaidah,” ujar Deadman.

Dua titik pemberhentian yang terletak di al-Qadisiyyah dan al-‘Udhayb tersebut berperan penting bagi para tentara dan peziarah. Selain mendukung pergerakan pasukan Muslim, dua lokasi tersebut menyediakan dukungan logistik bagi para peziarah yang melakukan perjalanan dari Irak ke Mekkah.

Untuk meneliti situs yang sekarang menjadi lahan pertanian ini, Deadman dan timnya menggunakan citra satelit milik Amerika Serikat dari era Perang Dingin. “Citra satelit mata-mata ini resolusinya sangat menakjubkan. Seperti Google Earth yang berasal dari tahun 1970-an,” ujar Deadman.

Deadman menjelaskan, citra satelit dari era Perang Dingin umum digunakan para arkeolog untuk meneliti di Timur Tengah karena menampilkan fitur-fitur wilayah yang masih “asli” sebelum adanya pembangunan masif wilayah perkotaan dan lahan pertanian. Beberapa fitur khas di situs al-Qadisiyyah seperti parit terlihat jauh lebih jelas dalam citra satelit yang diambil pada 1970-an tersebut.

Untuk mengonfirmasi penemuan ini, para peneliti dari Universitas Al-Qadisiyah melakukan survei lapangan. Hasilnya, mereka menemukan pecahan tembikar dan artefak lainnya yang sesuai dengan periode waktu saat pertempuran terjadi.

“Penemuan ini memberikan lokasi geografis dan juga konteks bagi sebuah pertempuran yang menjadi salah satu kisah penting dalam perluasan Islam ke wilayah Irak, Iran, dan sekitarnya,” ujar Deadman.

Menurut Jaafar Jotheri dari Universitas Al-Qadisiyah, timnya berencana melakukan eskavasi lebih lanjut tahun depan.

Penemuan ini menjadi momentum penting di tengah perkembangan arkeologi di Irak yang dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban. Selama puluhan tahun, eksplorasi arkeologi di Irak sempat terhambat oleh konflik, yang juga menyebabkan penjarahan puluhan ribu artefak. Baru beberapa tahun terakhir ini penggalian arkeologi di Irak kembali dilakukan dan ribuan artefak yang dicuri berhasil dikembalikan.

Tampilan wilayah al-Qadisiyyah yang terekam selama survei penginderaan jarak jauh. (Sumber: The European Space Agency & W.M Deadman)

Kemenangan Telak

Pertempuran al-Qadisiyyah merupakan langkah ekspansi pertama Kekhalifahan Rasyidin, kekhalifahan lslam pertama yang didirikan setelah Nabi Muhammad wafat, untuk meluaskan pengaruh Islam di wilayah Persia. Saat itu, Kekaisaran Sasaniyah Persia menguasai wilayah sangat luas yang meliputi Irak, Iran, dan sebagian Asia Tengah, serta menjadikannya kekuatan besar di dunia.

Khalifah Umar bin Khattab mengutus Sa’ad bin Abi Waqash untuk memimpin ekspedisi. Sa’ad, bersama 3.000 pasukan berangkat dari Madinah dan berhenti di al-Qadisiyyah yang terletak sekitar 48 km dari Kufah.

Sa’ad kemudian mengirim utusan untuk menemui Yazdegerd III, penguasa Kekaisaran Sasaniyah, dan panglimanya, Rustam Farrokhzād. Tujuannya mengajak mereka memeluk Islam atau tunduk pada kekuasaan Islam dengan membayar jizyah atau pajak. Tawaran ini disambut penolakan. Pertempuran tak urung terjadi.

Pertempuran selama sekitar empat hari berlangsung sengit. Pasukan Sa’ad bin Abi Waqosh berjuang habis-habisan melawan 120.000 pasukan Kekaisaran Sasaniyah. Meski tak imbang, pasukan Sa’ad meraih kemenangan.

Berkat kemenangan ini, Islam semakin menyebar di wilayah Persia dan sekitarnya. Tak ayal, Kekhalifahan Rasyidin menjadi kekuatan politik yang besar dan berpengaruh di masa itu. Sedangkan Kekaisaran Sasaniyah runtuh tak bersisa.*

TAG

iran persia sejarah islam

ARTIKEL TERKAIT

Nasib Tawanan Perang Jepang di Gulag Siberia Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Pelarian Berdarah di Kamp Cowra Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Selintas Hubungan Iran dan Israel Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Sisi Lain dan Anomali Alexander Mendedah Sejarah Syiah Prahara Hijab di Tanah Persia Ketika Indonesia Takut Revolusi Iran