KENDATI aksi heroik perobekan bendera yang dijadikan Hari Pahlawan terjadi di Surabaya, aksi perobekan bendera Belanda juga terjadi di Kota Bandung. Peristiwanya terjadi di puncak menara Gedung DENIS Bank (kini Bank Jabar Banten/BJB).
“Jadi sekitar bulan September-Oktober itu kejadiannya. Ada beberapa pemuda yang merobek bendera Belanda di gedung DENIS Bank yang ada di sudut antara Bragaweg/Naripanweg (kini Jalan Braga/Jalan Naripan) dekat kawasan Braga. Kalau sekarang masih gedungnya, masih digunakan jadi Bank BJB,” ujar Rohmat kala memandu Historia.ID di Museum Kota Bandung.
Gedung DENIS Bank sendiri merupakan rancangan arsitek Albert Federik Albers dari firma Aalbers en De Waal itu berdiri pada 1935. Gedung bergaya art deco itu kemudian digunakan sebagai gedung bank tabungan dan asuransi NV. De Eerste Nederlandsch-Indische Spaarkas (DENIS) milik Karel Albert Rudolf Bosscha dan Wilhelm Hermanus Hoogland.
Usai Perang Dunia II yang diikuti revolusi fisik, gedung DENIS Bank dan bangunan-bangunan warisan Belanda lain jadi “menderita”. Peristiwa perobekan bendera jadi salah satu awal konflik antara para pejuang dari beragam latar belakang yang menolak kembalinya serdadu Belanda yang membonceng Sekutu mulai medio September 1945. Menurut Egi Azwul Fikri dalam Bandung 1945-1946, Gedung DENIS Bank dijadikan markas untuk agenda RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) atau evakuasi tawanan dan interniran perang yang dijaga pasukan Inggris dibantu serdadu-serdadu Jepang.
Baca juga: Kala Bandung Dilanda Bingung
Mengoyak Bendera Belanda dengan Bayonet
Bagian selatan kawasan Braga malam itu ramai manusia, baik tua maupun muda. Sebagian mengantre berfoto di plang Jalan Braga, sebagian lagi hanyut dalam alunan musik dari sebuah panggung tepat di muka Gedung Bank BJB.
Keramaian di tempat yang sama juga terjadi namun dengan atmosfer berbeda pada 79 tahun lampau. Kala itu, sejumlah pemuda menggeruduk lokasi itu untuk kemudian merobek bendera penjajah yang sedang berusaha kembali menguasai Indonesia.
Gesekan-gesekan antara pemuda-pemuda dan serdadu Belanda yang membonceng Sekutu berawal sejak mereka masuk ke Kota Bandung medio September 1945. Para serdadu Netherlands Indies Civil Administration (NICA) itu turut jadi rombongan pasukan Sekutu yang mengurus RAPWI di Bandung di bawah Kapten Gray.
“Bersama-sama dengan (pengawal) RAPWI datang pula Intercross (Palang Merah Internasional). Dengan Kapten Grey banyak hal yang dibicarakan tentang RAPWI (dengan para pemimpin Bandung),” kata buku Perdjoangan Kemerdekaan dalam Kota Bandung.
Baca juga: Respons Sekutu Usai Proklamasi
Proses evakuasi para tawanan dan interniran serta pelucutan senjata dan pemulangan serdadu Jepang oleh Inggris dipusatkan di Gedung DENIS Bank yang dijaga pasukan Inggris dan dibantu serdadu-serdadu Jepang. Kapten Gray sendiri mengambil kantor di Hotel Preanger. Sementara Palang Merah Internasional dan pasukan Belanda yang menyamar sebagai pasukan Sekutu bermarkas di Hotel Savoy Homann.
“Tetapi dalam hal ini sungguh mengecewakan kita karena Sekutu yang mendapat tugas semurni itu telah membawa atau diboncengi tentara Belanda. Antara lain dapat kita buktikan bahwa mereka yang (tentara Belanda) harus melucuti tentara Jepang, dipergunakan untuk menindas gerakan rakyat yang baru meluap. Akibat daripada perbuatan mereka yang sewenang-wenang itu menimbulkan insiden kecil-kecilan setiap hari yang makin hari bertambah luas,” kata buku Republik Indonesia: Propinsi Djawa Barat.
Gerakan rakyat terdiri dari beragam badan perjuangan berisi pemuda. Di antaranya Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (P3I) dan BKR Kota Bandung yang terdiri dari para bekas pasukan Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho.
Mereka itulah yang paling gusar ketika tentara Belanda mengibarkan bendera triwarna (merah-putih-biru) di puncak menara Gedung DENIS Bank pada akhir September 1945. Karena berbagai bentuk protes tak diindahkan pihak Sekutu, para pemuda memilih melancarkan aksinya menggeruduk Gedung DENIS Bank itu pada awal Oktober 1945.
“Dengan wajah marah, para pemuda berteriak-teriak menuntut penghuni gedung (DENIS) untuk secepatnya menurunkan Tri Warna,” kenang veteran R.H. Eddie Soekardi dalam buku Hari Juang Siliwangi.
Massa pemuda itu pun bentrok dengan pasukan Inggris dan Jepang yang menjaga ketat Gedung DENIS Bank. Bahkan di tengah bentrokan terjadi letusan tembakan ke udara.
Pemuda Mohamad Endang Karmas bersama Mulyono, Djuwah, Rahayu, dan R. Husen Wangsaatmadja berada di antara kerumunan itu. Menurut Adeng dkk. dalam Peranan Desa dalam Perjuangan Kemerdekaan, Husen merupakan eks-Shodancho PETA yang diangkat jadi wakil komandan BKR Kawedanan Ujungberung. Husenlah yang kemudian turut mengawasi para pemuda yang diasuhnya, Karmas cs. di bawah Sekolah Kader Militer Tegallega ketika Karmas cs. menyelinap naik ke menara Gedung DENIS Bank.
Baca juga: Meluruskan Peristiwa Insiden Bendera di Surabaya
Lalu, diungkapkan Enton Supriyatna Sind dan Efrie Christianto dalam Merah Putih di Gedung DENIS: Catatan Tercecer di Awal Kemerdekaan, Karmas dan Moeljono yang berhasil memanjat sampai ke tiang bendera di pucuk menara Gedung DENIS. Meski hanya bermodalkan sebilah bayonet rampasan, Karmas dan Moeljono berusaha mengoyak bendera tri warna itu meski di bawah desingan peluru dari pasukan Belanda di Hotel Savoy Homann.
“Sampai di atas itu, lalu megang tiang bendera sampai ke atas. Lalu terjadi tembakan dari Hotel Homann. Wah, panik, akhirnya tidak keburu apa-apa. Jangankan membuka bendera, untuk membawa apa-apa pun tidak ada kesempatan. Untung saja bendera itu terkulai. Saya pegang ujungnya, Mul ambil ujung (lainnya). Saya buka bayonet, disobek-sobek hingga jadi warna merah putih,” kenang Karmas dikutip Enton dan Efrie.
Usai berhasil mengoyak bendera Belanda itu, Karmas dan Moeljono memekikkan “Merdeka!” berulangkali sebelum akhirnya turun dan menyelinap kabur ke Naripanweg. Seiring dengan itu, berangsur-angsur massa pemuda bubar menjauhi pasukan Inggris dan Jepang di depan Gedung DENIS Bank.
“(Tetapi) hari ini orang sudah mulai lupa dan hanya mengetahui bahwa perobekan bendera Belanda hanya terjadi di Hotel Yamato, Surabaya saja,” tandas Eddie Soekardi.
Baca juga: Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika