Pandemi Covid-19 selama hampir satu setengah tahun ini menguras keuangan negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia turun. Defisit APBN mencapai 6,1% PDB. Pendapatan negara menyusut hingga -16,0 %, sedangkan pengeluarannya membengkak jadi 12,3%. Keadaan sulit ini mendorong pemerintah berencana memajaki sembako pangan premium.
Rencana ini sampai ke masyarakat dalam narasi pajak semua sembako. Karuan orang semaput dan marah-marah. Saat keadaan rakyat sedang susah, malah dipajakin. Maka sekonyong-konyong Menteri Keuangan Sri Mulyani blusukan ke pasar menjelaskan rencana sesungguhnya.
Menengok ke masa lalu, penerapan pajak pada masa sulit pernah pula terjadi ketika Indonesia baru saja merdeka. Saat itu, menurut Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945–1958), Republik membutuhkan pembiayaan untuk mempertahankan kemerdekaannya. Pembiayaan itu antara lain diperoleh dari dana kemerdekaan, pinjaman nasional, candu, dan mencetak uang sendiri.
Baca juga: Bermacam Pajak Era Kolonial
Ada sumber pembiayaan lain yang kurang populer tapi harus tetap dilaksanakan yang disebut pajak perang. Menurut catatan Arsip Kementerian Penerangan tentang Perubahan Peraturan Pajak Perang, pajak ini berlandas pada Oorlogwinstbelasting (pajak untung-perang) pada 1939, 1941, 1944, dan 1946.
Tak banyak keterangan lanjutan tentang bentuk pajak tersebut. Tapi arsip itu menyebut pajak perang ditentukan oleh penguasa setempat. Ini sejalan dengan keterangan Audrey Kahin dalam “Perdagangan dan Pajak: Aspek Ekonomi Sumatra Barat di Masa Revolusi” seperti termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia.
“Tercatat pada awal tahun 1946 di Sumatra Barat, penduduk di Karesidenan, dipungut pajak berupa 10% dari hasil panen, guna membantu perjuangan. Pungutan itu dikenal dengan ‘pajak perang’ atau lazim disebut iuran perang,” tulis Audrey.
Baca juga: Candu untuk Revolusi Indonesia
Pengumpulan pajak dilakukan oleh badan perjuangan perempuan yang berada di dapur umum dan rumah sakit. Mereka bertindak sebagai petugas perantara.
Pajak perang bersifat temporal, bukan permanen. Artinya memang dibutuhkan saat itu dan tak akan dipungut jika keadaan sudah normal. Masalahnya keadaan di Sumatra bukannya normal, justru makin darurat dengan adanya agresi militer Belanda I dan II.
Setelah agresi militer I, pajak perang dikenakan atas kekayaan, hasil pertanian (padi, kelapa, sayuran, dan hasil ternak), dan laba dari perdagangan masyarakat. Masa ini juga menunjukkan peningkatan pengumpulan pajak perang hingga ke tingkat desa. Koordinator pengumpulnya berasal dari anggota markas pertahanan rakyat daerah, markas pertahanan rakyat nagari, dan badan pegawai nagari.
Baca juga: Emas untuk Perjuangan Republik
Sesudah agresi militer II, sifat pajak perang berubah. “PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) melalui gubernur militer daerah Sumatra Barat menginstruksikan agar pajak perang berlaku untuk seluruh rakyat dan sifatnya tetap,” sebut Audrey.
Gubernur militer Sumatra kemudan mengeluarkan beberapa rencana ekonomi untuk mengatur penerapan pajak tersebut. Melalui instruksi No. 5/GM, 7 Januari 1949, pajak ditetapkan sebesar 10 persen. Pajak ini disebut sebagai suatu kontribusi wajar dari rakyat untuk mendukung perjuangan.
Audrey tak menunjukkan berapa total pajak yang dipungut. Tapi dia menjelaskan aliran pajak tersebut: 10 persen digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan, 10 persen untuk bantuan pengungsi perang, dan 80 persen untuk keperluan angkatan perang.
Sementara itu di Jawa dan Madura, pajak untung-perang dipungut secara tidak resmi dari pedagang makanan restoran, pengusaha penginapan, dan petani. Para pengumpulnya berasal dari anggota laskar rakyat.
Baca juga: Pinjaman Nasional 1946, Pinjaman Warga untuk Republik
Mereka merasa berhak memungut pajak setelah keluarnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1946 Tentang Penetapan Tarif Pajak Pendapatan Tahun 1946/1947 dan Tambahan Pajak. Mereka juga mengatakan penarikan pajak untung-perang sebagai simbol keberpihakan rakyat kepada Republik. Tapi sayangnya alokasi pajak tersebut ke pemerintah tak jelas.
Menyikapi ketidakjelasan itu, pemerintah memaklumatkan penyeragaman besarnya pajak untung-perang pada 1947. Maklumat itu juga berisi tentang bentuk pajak untung-perang. Antara lain pajak potong pendapatan, pajak radio sebesar Rp12,5 tiap bulan, pajak buah, dan pajak pembangunan. Maklumat ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.
Sejarawan Mohammad Iskandar dalam “Oeang Repoeblik Indonesia dalam Kancah Revolusi”, Jurnal Sejarah MSI Vol. 6 No. 2 Tahun 2004, menyebut pengumpulan pajak masa revolusi kurang mangkus. “Sumber lain seperti pajak, ekspor, dan pengumpulan dana pinjaman tidak cukup memadai,” urai Iskandar.
Oey Beng To juga menduga penyebab pemungutan pajak semasa mempertahankan kemerdekaan kurang mangkus karena beberapa hal. Meski telah ada badan yang mengurus pajak di bawah Kementerian Keuangan, petugas pajak resmi masih sangat sedikit. Selain itu, banyak wajib pajak yang kurang mengetahui penerapan pajak tersebut.
Baca juga: ORI, Uang Perjuangan dan Persatuan