Pemerintah Indonesia tak punya banyak anggaran untuk membiayai pemerintahannya ketika merdeka pada 1945. Pendapatan negara saat itu berasal dari dana kemerdekaan (Fonds Kemerdekaan Indonesia) yang digalang sejak 1944. Bentuknya berupa uang dan perhiasan dari masyarakat.
Indonesia menggunakannya untuk biaya pengamanan Sukarno dan Hatta, mencari atau merampas senjata dari Jepang, pengiriman kurir, pencetakan bendera dan kertas, dan modal kerja kepada Poesat Bank Indonesia (PBI, pendahulu Bank Negara Indonesia). Karena itulah, pemerintah berupaya mencari pendapatan dari sumber lain dari yang halal sampai yang haram seperti jual candu.
Baca juga: Candu untuk Revolusi Indonesia
Lama-kelamaan fonds kemerdekaan makin sedikit. Sementara sumber pendapatan lain dari produksi perkebunan belum bisa berjalan. Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia menyebut masa itu sebagai “kehancuran di sektor produksi”. Cara lain untuk mendapatkan pendapatan adalah dengan menjual emas.
Emas-emas itu diperoleh dari tambang di Cikotok (Banten Selatan), Aceh, dan Rejang Lebong (Bengkulu). Tambang-tambang itu tadinya milik Belanda, lalu dikuasai oleh Jepang, kemudian diambil alih oleh Republik. Aset-aset itu masuk dalam kekayaan negara dan berada dalam naungan Kementerian Kemakmuran.
Pengambilalihan tambang itu membutuhkan biaya. Pemerintah meminjam kepada PBI sebesar f.150.000 uang Jepang. “Pinjaman tersebut digunakan untuk pengadaan bahan pangan bagi 3000 karyawan tambang emas Cikotok, di samping pembayaran gaji dan biaya pengeluaran lainnya,” catat Mundardjito dalam 50 Tahun Bank BNI: Melangkah ke Masa Depan dengan Kearifan Masa Lalu.
Baca juga: Saweran Rakyat untuk Kemerdekaan dan KPK
Emas-emas dari tambang dibawa ke pabrik pengolahan emas di Jakarta. Ketika ibu kota Republik pindah ke Yogyakarta pada Januari 1946, gumpalan biji emas (bullion) turut dibawa ke Yogyakarta untuk menghindari perampasan tentara Belanda.
Belanda memerlukan emas untuk menambah cadangan devisa dan menjamin nilai tukar mata uangnya di daerah Republik. Sisa-sisa emas batangan yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda sempat diselamatkan ke Australia dan Afrika Selatan. Demikian keterangan John O. Sutter dalam Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940–1955.
Sebaliknya bagi pemerintah Republik, emas-emas itu dapat berguna untuk ditukar dengan kebutuhan mendesak. Sebab kala itu Republik belum mempunyai mata uang sendiri. Mundardjito mencatat aset logam mulia milik Republik yang dipindahkan itu sebanyak 82 peti berisi 5.015,365 kg bullion emas dan 560.451,050 kg perak murni.
Baca juga: Lahirnya Uang Putih
“Diangkut ke Yogyakarta dengan kereta api yang menjemput di Pegangsaan untuk diserahkan ke PBI guna keperluan perjuangan,” terang Mundardjito.
Sesampai di Yogyakarta, aset berharga dibawa ke kantor PBI di Jalan Setiodiningratan No. 4 dengan mobil tahanan. Kelak aset itu digunakan untuk pembelian senjata dan pesawat.
Selama ibu kota di Yogyakarta, suplai emas dari Cikotok untuk Republik berjalan secara rahasia. Republik juga secara teratur mengirim dana untuk operasional tambang Cikotok.
Tapi agresi militer Belanda ke sejumlah wilayah Republik pada Juli 1947 menghentikan aktivitas penambangan emas Cikotok. Mereka juga menarget tambang Cikotok. Tapi sebelum tentara Belanda datang, para buruh tambang telah menghancurkan mesin-mesin tambang dengan merendamnya ke air.
Baca juga: Emas Kegemaran Bangsawan Jawa
Penyelamatan aset emas Republik juga terjadi pada agresi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948. Belanda memang berhasil menduduki Yogyakarta. Tapi mereka gagal mendapatkan emas batangan milik Republik.
Emas seberat tujuh ton bercap Bank Negara Indonesia (didirikan untuk menggantikan PBI) itu keluar Yogyakarta melalui lapangan terbang Maguwo. Untuk menyamarkan emas dari pandangan orang, pegawai BNI menggunakan truk dan gerobak sapi ke Maguwo. Emas itu juga ditutup oleh blarak (daun kelapa).
Emas itu berhasil sampai ke Filipina, lalu dijual ke Kasino di Makau. Dari penjualan itu, Republik mendapat dana sekira Rp140 juta. Angka itu diperoleh dari perhitungan harga 5 gram emas murni ketika itu yang mencapai Rp10.
“Hasil penjualan digunakan untuk membiayai perjuangan Republik Indonesia di luar negeri, baik melalui perwakilan-perwakilannya termasuk di PBB,” tulis Aboe Bakar Loebis dalam Kilas Balik Kenangan, Pelaku, dan Saksi.
Baca juga: Seulawah RI-001, dari Aceh untuk Republik Indonesia
Menurut Tengku Moh. Isa dalam Tengku Moh. Ali Panglima Polim: Sumbangsih Aceh Bagi Republik, tambang emas lain sebagai dana perjuangan adalah tambang emas di Meulaboh, Aceh yang rencananya untuk membeli dua pesawat. Namun, yang dibeli hanya sebuah pesawat karena dananya "digelapkan" oleh seorang perwira logistik komando Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sumatra.
Namun, sejarah yang umumnya telah diketahui bahwa pembelian dua pesawat berkat sumbangan rakyat Aceh yang digalang oleh GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Pesawat Dakota yang dibeli diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Pesawat yang diberi registrasi RI-001 ini berperan penting selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Tulisan ini diperbarui pada 18 Oktober 2021.