KISAH yang muncul selama masa Perang Dunia II tak hanya berkisar pada kontak senjata di palagan pertempuran atau adu ketangkasan para ilmuwan di laboratorium dalam mengembangkan teknologi militer canggih, tetapi juga peran jaringan intel dalam melancarkan perang urat syaraf atau psywar. Dalam dunia spionase, serangan tak kasat mata ini dipandang sebagai “senjata ampuh” untuk memukul lawan.
Perang urat syaraf yang dilancarkan secara rapi bisa menghasilkan dampak lebih besar dari gerakan sabotase. Seiring pecahnya Perang Dunia II pada akhir 1930-an, Nazi Jerman yang berambisi menguasai wilayah Eropa mulai melancarkan serangan ke sejumlah negara di Benua Biru. Setelah berhasil menduduki Denmark hingga Prancis pada Mei 1940, Jerman yang berada di bawah kepemimpinan Adolf Hitler mulai menyusun rencana melakukan invasi ke wilayah Inggris.
Kementerian Informasi Inggris mengeluarkan selebaran dengan judul If the Invader Comes. Selebaran ini disusun bekerja sama dengan Kantor Perang dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri pada 1940. Selebaran ini berisi tujuh aturan yang harus diperhatikan masyarakat Inggris jika wilayah mereka diinvasi musuh.
Baca juga:
Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler
“Aturan yang pertama adalah tetap tinggal di tempat dan tidak bergerak, ’jika anda melarikan diri…anda akan ditembaki dengan senapan mesin dari udara…dan anda akan kesulitan untuk melarikan diri karena jalan-jalan telah diblokir. Yang ketujuh adalah berpikir sebelum bertindak; ‘tetapi pikirkanlah negaramu lebih dulu sebelum memikirkan dirimu sendiri’,” tulis Nicholas Rankin dalam Churchill’s Wizards: The British Genius for Deception 1914-1945.
Aturan lain yang tak kalah penting dan harus dipatuhi oleh masyarakat Inggris adalah “jangan percaya pada rumor apapun dan jangan menyebarkannya”. Dengan kata lain, para penduduk hanya diizinkan untuk mempercayai informasi yang telah disampaikan secara resmi oleh pemerintah Inggris. Ketika mereka mendengar informasi yang belum dapat diketahui kebenarannya, mereka diminta melaporkannya kepada polisi.
Menurut Rankin aturan ini dikeluarkan sebagai upaya untuk mencegah Jerman memanfaatkan penduduk sipil untuk menciptakan kebingungan dan kepanikan. Sebab, salah satu taktik yang biasa digunakan Jerman dalam invasi mereka adalah menyebarkan rumor palsu dan mengeluarkan instruksi palsu.
Kekhawatiran akan invasi Jerman ini pula yang mendorong Inggris menyusun sebuah rumor yang diharapkan dapat melemahkan jiwa bertempur serdadu Jerman di medan perang. “Rumor merupakan bagian dari perang psikologis. Orang Inggris menyebutnya sibs –dari bahasa Latin sibilare, yang berarti mendesis atau bersiul– dan tujuannya untuk mengganggu tentara musuh,” tulis Rankin.
Pada September 1940, seorang agen propaganda Inggris selama Perang Dunia II, John Baker White, menyampaikan idenya untuk menyebarkan rumor bahwa Inggris memiliki sebuah senjata yang dapat membakar laut.
Dalam bukunya The Big Lie, Baker White mengisahkan bahwa ide itu muncul setelah ia melihat cara kerja pertahanan pantai di St. Magaret Bay –salah satu wilayah yang paling sering dilewati pesawat-pesawat Jerman. Ketika itu ia melihat api menyembur dari bebatuan. Api itu sesungguhnya muncul karena di tepi pantai wilayah tersebut terdapat pipa-pipa yang dapat menyemburkan bahan pembakar. Pipa-pipa ini terhubung ke tempat-tempat persediaan bahan bakar yang didirikan secara sembunyi-sembunyi, tak jauh dari pantai. Baker White segera melaporkan idenya ke pihak intelijen Inggris.
Baca juga:
Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I)
“Sebelum rumor tersebut disebarkan ke jaringan intelijen di sejumlah wilayah, rumor itu harus dipelajari lebih dahulu oleh suatu komite. Ini adalah tindakan pencegahan yang sangat penting, karena sangat mungkin bagi para pencipta rumor untuk membuat cerita yang tanpa disadari akan mengungkapkan sesuatu yang penting secara operasional,” tulis pria yang pernah menjadi mata-mata amatir di Jerman sebelum menjadi agen propaganda selama Perang Dunia II itu.
Sementara itu, dalam majalah Minggu Pagi, 21 Oktober 1956, dikisahkan untuk menjaga agar kebenaran rumor yang menyebut Inggris memiliki senjata canggih yang dapat membakar lautan tidak bocor ke publik, khususnya pihak musuh, para pelaut Inggris diberi instruksi untuk menjauhi kawasan St. Margareth Bay. Meski begitu mereka tak diberi tahu alasan di balik larangan tersebut.
Pada suatu hari, ketika ada beberapa pesawat Jerman yang terbang di atas wilayah itu, diinstruksikan menyemburkan api. “Semua keran pipa bahan pembakar dibuka. Minyak yang memang lebih ringan dari air laut dan mengambang di permukaan air, segera terbakar dengan mudahnya. Pemandangan yang dahsyat ini jelas terlihat dari pesawat-pesawat Jerman yang dengan sendirinya akan melaporkan kepada markas besarnya bahwa Inggris mengadakan percobaan ‘membakar lautan’,” tulis Minggu Pagi.
Setelah percobaan ini, agen-agen spionase Inggris mendapat instruksi untuk menyebarkan rumor The British can set the sea on fire atau Inggris dapat membakar lautan. Rumor ini sebarkan ke sarang spionase, seperti Grand Hotel di Stockholm, Avenida di Lisbon, Hotel Rits Madrid, Kairo, Istanbul, Ankara, dan New York. Beberapa pekan setelah rumor tersebut tersebar luas, dinas rahasia Inggris mulai memantau reaksi dari pihak Jerman.
Menurut Arthur Ward dalam Churchill’s Secret Defence Army: Resisting the Nazi Invader, rumor itu mendapatkan momentumnya melalui dua peristiwa yang terjadi secara kebetulan namun berlangsung pada waktu yang berdekatan. Pertama, setelah Royal Air Force, Angkatan Udara Britania Raya (RAF), menyerang kapal-kapal Jerman di Calais, rombongan serdadu yang mengalami luka bakar parah (yang berada di atas kapal untuk berlatih melancarkan invasi) mulai diangkut menuju Paris.
“Luka bakar yang dialami para tentara itu menarik perhatian warga Paris. Mereka bertanya-tanya, bagaimana bisa para tentara itu mendapat luka bakar yang begitu parah?” tulis Ward.
Peristiwa kedua berkaitan dengan serangan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di wilayah perairan musuh. Operasi ini sesungguhnya rutin dilakukan untuk mengumpulkan informasi intelijen. Pada salah satu operasi tersebut, pasukan Inggris mengamankan delapan orang Jerman yang anehnya, meski berada di kapal pukat bersenjata yang sama, para tawanan Jerman itu berasal dari unit yang berbeda.
“Hal ini terbukti menjadi keuntungan bagi Political Warfare Executive (PWE), yang dengan cepat menyiarkan berita bahwa para prajurit telah ‘diselamatkan dari laut’ oleh Inggris yang baik hati,” jelas Ward. Siaran ini diberitakan secara rinci oleh pihak Inggris. Mereka bahkan menyebutkan nama-nama setiap tahanan dan mengungkapkan asal unit para tawanan itu.
Taktik ini jelas berhasil, karena segera setelah siaran itu terdengar, Johan Baker White mengisahkan sebuah keberuntungan lain yang menguntungkan bagi pihak Inggris. Begitu yakinnya Komando Jerman bahwa Inggris benar-benar memiliki senjata yang dapat membakar laut, mereka mulai bereksperimen dengan menguji coba kapal perang yang tahan api.
Baca juga:
Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi
“Di Fécamp, Normandia, mereka melapisi sebuah kapal perang dengan lembaran asbes yang kemudian diisi dengan pasukan dan mengarahkannya ke dalam genangan bensin yang terbakar. Semua yang ada di dalam kapal mati terbakar. Beberapa mayat yang hangus terbakar hanyut ke laut dan terdampar di berbagai titik di sepanjang pantai Prancis,” tulis Baker White.
Tak hanya Jerman yang meyakini kebenaran rumor ini, tetapi juga para penduduk Inggris. Dalam majalah Minggu Pagi dilaporkan bahwa rumor ini sengaja dibiarkan tersebar di kalangan penduduk, karena selain bisa menambah semangat mereka, rumor itu juga dapat tersebar semakin luas karena masyarakat sipil itu turut ambil bagian dalam penyebaran “spionase bisik-bisik” ini.
Kemunculan rumor ini pada akhirnya memberi waktu sedikit lebih panjang bagi Inggris untuk mempersiapkan kekuatan dan pertahanan mereka dari serangan Jerman. “Kisah lautan yang terbakar adalah upaya berskala besar pertama kami untuk melakukan Kebohongan Besar, dan terbukti sangat berhasil. Cerita ini dibuat oleh orang-orang yang masih amatir dalam permainan ini, dan diproyeksikan melalui mesin yang jauh dari sempurna. Tetapi itu berhasil,” terang Baker White.*