SUKSESI raja Bolaang Mongondow sepeninggal Datu Cornelis Manopo pada 1927 memberi “berkah” pada Abraham Patra Mokoginta. Pria cendekia asal Bolaang itu berpeluang naik takhta menggantikan mertuanya itu. Namun, tidak mudah baginya menyelesaikan langkah politik yang tinggal setapak lagi itu.
Patra merupakan menantu dari Raja Bolaang Mongondow Datu Cornelis Manopo. Dia menikah dengan Bua Baay Manoppo, putri sang raja.
Namun bukan posisi sebagai menantu raja yang membuat Patra dikenal publik. Patra merupakan bangsawan-cendekia progresif Bolang Mongondow yang aktif berpolitik dan membangun masyarakat. Kiprahnya itu membuatnya dipercaya menjadi Jogugu, setara perdana menteri atau patih di Jawa. Dia memangku jabatan itu dari 1911 hingga 1928.
Ketika menjadi Jogugu Bolaang Mongondow, Patra bersama Raja Datu Cornelis Manoppo mengizinkan berdirinya Sarekat Islam –yang kemudian dipimpin oleh Adampe Dolot– di wilayahnya meski dilarang oleh kontrolir. Risiko penindakan oleh pemerintah kolonial seperti tak mereka hiraukan.
Anggota SI di sana lumayan banyak dan mayoritas adalah petani. Oleh karenanya, Patra dan Raja Datu Cornelis membuatkan sekolah SI.
“Pada tahun 1926 diusahakan juga pembukaan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiyah (BPPI) milik Sarekat Islam (SI) yang berkedudukan di Desa Malinow. Sebagai tenaga pengajarnya terdiri dari guru-guru yang didatangkan dari Jawa, Gorontalo, Manado, Sangir-Talaud dan Tondano, serta para guru dari Bolaang Mongondow sendiri,” tulis Sabil Mokoneseho dalam tesisnya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, “Pendidikan dan Politik (Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Utara Periode 1920-1950”.
Koran Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie tanggal 3 Januari 1940 menyebut, Partai Sarekat Islam (PSI) di Sulawesi Utara, termasuk Bolaang Mongondow, sangat besar artinya bagi PSI di pusat. Sumbangan kasnya kepada kas PSI pusat cukup besar.
Namun, tahun 1927 menjadi tahun yang membuka babak baru dalam kehidupan Patra. Selain pemerintah kolonial memulai tindakan keras terhadap gerakan nasionalisme dengan penangkapan para aktivis politik usai Pemberontakan PKI 1926, internal Kerajaan Bolaang Mongondow dirundung duka karena Raja Datu Cornelis wafat.
Dalam suksesi raja yang mesti cepat dilaksanakan itu, Patra sebetulnya memiliki kans amat besar untuk menduduki takhta. Namun, menurut Sabil Mokodenseho dalam Sisi Lain Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Utara Periode 1920-1950, Patra yang progresif itu tak direstui pemerintah kolonial. Laurens Cornelis Manoppo, putra Raja Datu Cornelis Manopo, akhirnya ditetapkan sebagai penerus tahkta Bolaang Mongondow.
Ketika Laurens Cornelis Manoppo ditetapkan sebagai raja Bolaang Mongondouw oleh pemerintah kolonial yang dipimpin Residen Kroon, koran De Locomotief tanggal 15 September 1927 menyebut, Patra Mokoginta juga diberi tahu bahwa gubernur sangat keberatan jika dirinya terus menjadi Jogugu Bolaang Mongondow. Tetap di Bolaang Mongondow akan menimbulkan ancaman ketertiban dan perdamaian di masyarakat. De Sumatra Post (7 Juli 1928) menulis bawah terjadi perselisihan antara Jogugu dengan bangsawan lain yang berbeda garis di Bolaang Mongondow sudah terjadi setidaknya sejak sebelum 1920. Karenanya Patra Mokoginta dianggap berbahaya. Maka dia pun harus keluar.
Dengan dalih “melanjutkan pendidikan”, Patra lalu pindah bersama keluarganya ke Jawa. Kepindahan itu dibiayai oleh pemerintah kolonial yang jelas punya kepentingan atas kepindahan itu. Oleh karenanya, selama Patra dalam pembuangannya di Batavia alias Betawi (kini Jakarta) itu, dia hendak diaktifkan sebagai anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia. Pemerintah kolonial berusaha membuatnya sibuk dengan pekerjaan yang terkait pemerintahan di Jakarta.
Keluarga Patra di Betawi hidup dari tunjangan yang cukup besar. Tunjangan untuk Abraham Mokoginta, menurut Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 26 November 1930, naik dari 300 gulden menjadi 400 gulden.
Tunjangan sebesar itu jelas cukup untuk menyekolahkan anak-anak Patra. Ketika itu anak-anaknya dalam usia sekolah. Maka anak laki-lakinya bisa lulus Algemene Middelsbare School (AMS, setingkat SMA) dan salah satu dari keenam anaknya ada yang pernah kuliah di kedokteran, meski meninggal sebelum lulus.
Bua Lena Mokoginta, salah satu putri Patra yang pernah sekolah Meer Uitgebried Lager Onderiwijz (MULO), kemudian menikah dengan seorang perwira polisi bernama Raden Said Sukanto. Putra bungsu Patra, Ahmad Yunus Mokoginta, berhasil masuk akademi militer di Bandung dan menjadi calon perwira KNIL sebelum tentara Jepang mendarat di Jawa. Setelah Indonesia merdeka, menantunya yang polisi (baca RS Sukanto) diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (kini Kapolri). Sementara anak bungsunya menjadi salah satu yang aktif di TNI selama Perang Kemerdekaan dan mengakhiri karirnya sebagai Letnan Jenderal TNI.