Masuk Daftar
My Getplus

Dua Dekade Kematian Munir dan Jejaknya Sebagai Pejuang HAM

Munir dikenal sebagai advokat dan aktivis yang gigih dalam memperjuangkan korban pelanggaran hak asasi manusia. Dua puluh tahun setelah kematiannya, pemerintah masih belum menyelesaikan kasus kematiannya.

Oleh: Amanda Rachmadita | 07 Sep 2024
Potret Munir Said Thalib di depan kantor LBH Surabaya sekitar tahun 1996. Aktivis HAM itu tewas diracun saat melakukan perjalanan udara menuju Belanda pada 7 September 2004. (Wikipedia).

NAMA Munir Said Thalib selalu lekat dalam ingatan banyak orang. Aktivis HAM kelahiran Malang, 8 Desember 1965, itu tewas diracun saat melakukan perjalanan udara menuju Belanda, di mana ia berencana menempuh pendidikan meraih gelar Ph.D, pada 7 September 2004. Dua puluh tahun berlalu sejak kasus pembunuhannya menjadi sorotan masyarakat Indonesia, sejumlah pihak masih terus bersuara untuk medesak pemerintah agar dapat segera bertanggungjawab dan menyelesaikan kasus pembunuhan Munir.

Munir dikenal sebagai pejuang kemanusiaan yang tak pernah lelah menyuarakan keadilan bagi para korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di zaman Orde Baru. Berdiri sebagai pembela bagi kaum yang terpinggirkan, aktivitas Munir bukan tanpa tantangan. Elizabeth Fuller Collins menulis dalam Indonesia Betrayed: How Development Fails, sang aktivis pernah dituduh sebagai komunis dan dianggap mengkhianati negaranya. Tak hanya itu, berbagai ancaman juga diarahkan kepada dirinya dan keluarganya.

“Saya pernah bertanya kepadanya bagaimana ia bisa terus melanjutkan perjuangan. Dia menganggap pertanyaan saya aneh. Karena menurutnya orang tidak boleh menyerah,” tulis Collins.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Menolak Melupakan Munir

Nama Munir semakin dikenal dan diperhitungkan ketika ia memimpin KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) di akhir masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1990-an. Menurut Collins, lembaga ini mulanya dikenal sebagai Komite Independen Pelanggaran HAM (KIPHAM). Dalam konteks penumpasan Orde Baru terhadap segala bentuk protes, KIPHAM menjadi organisasi yang mengedukasi masyarakat mengenai hak asasi manusia dan peran militer dalam penindasan.

“Pada Januari 1998, militer mulai menculik para aktivis demokrasi, dan KIPHAM melahirkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Kontras bergabung dengan LBH dan LSM reformasi lainnya seperti ELSAM, AJI, PIPHAM, KIPP, PMII –memimpin kampanye besar-besaran untuk menginformasikan kepada publik tentang penculikan aktivis demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer Indonesia,” tulis Collins.

Seiring dengan lengsernya kekuasaan Presiden Soeharto yang berujung dengan reformasi, KontraS tumbuh menjadi sebuah lambang keyakinan akan pengungkapan kebenaran, dan upaya untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat, khususnya mereka yang menjadi korban dari pelanggaran hak asasi manusia di bawah kendali militer Orde Baru.

Menurut Elizabeth F. Drexler dalam Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia, KontraS mendorong para aktivis dan korban yang diculik (dan kemudian keluarga mereka) untuk memberikan kesaksian dan menyuarakan kebenaran di depan publik. KontraS memobilisasi para korban untuk melakukan protes di lembaga-lembaga yang paling berkuasa selama Orde Baru, seperti Markas Besar TNI, markas Kopassus (Cianjur), dan pada akhirnya pada aksi protes mingguan yang rutin digelar setiap hari Kamis di depan istana presiden di Jakarta.

Ada banyak tantangan yang dihadapi Munir dan rekan-rekannya sesama aktivis HAM serta para korban dan keluarganya saat berkampanye untuk meminta pertanggungjawaban hukum. Tekanan maupun ancaman tak jarang menciutkan nyali mereka. Namun, menurut Munir, cara yang paling efektif untuk melawan rasa takut adalah dengan menghadapi sumber rasa takut itu sendiri.

“Saya sangat ingin masyarakat sadar bahwa hambatan bagi masyarakat Indonesia untuk berubah dan bersikap kritis terhadap otoritarianisme adalah adanya perasaan takut…Bagaimana orang bisa membangun sistem sosial yang kuat jika itu hanya topeng dari orang-orang yang takut,” kata Munir dikutip oleh Drexler.

Baca juga: 

Menggugat Peristiwa 27 Juli sebagai Pelanggaran HAM Berat

Apa yang diungkapkan Munir seakan menjadi gambaran rekam jejak alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang itu dalam memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan. Jauh sebelum ia ke Jakarta, Munir telah aktif memberikan bantuan hukum di Jawa Timur. Pria yang memulai karirnya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya selama dua tahun itu pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang menjadi korban dalam tragedi waduk Nipah Sampang.

Insiden berdarah yang terjadi di Kabupaten Sampang, Jawa Timur pada 25 September 1993, itu berkaitan dengan protes para penduduk yang tidak setuju dengan pembangunan waduk di areal seluas 170 hektare. Majalah Tempo, 21 Mei 1994, melaporkan bahwa empat orang korban dalam Tragedi Waduk Nipah meninggal akibat terkena peluru aparat keamanan.

“Setelah delapan bulan peristiwa Sampang berlalu, puluhan warga Sampang muncul di Jakarta untuk mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum, dan Departemen Dalam Negeri. Mereka mendesak pemerintah mengadili orang yang bertanggungjawab atas penembakan yang menewaskan empat warga mereka. Mereka juga mendesak agar rencana pembangunan waduk Nipah dihentikan sampai pengadilan yang mereka tuntut selesai,” tulis Tempo.

Selain membantu keluarga korban Tragedi Waduk Nipah Sampang, Munir juga pernah membantu keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan. Selain itu, Munir juga turut ambil bagian dalam mengadvokasi kasus pembunuhan Marsinah, seorang aktivis wanita dan buruh pabrik PT Catur Putra Surya di Sidoarjo yang diculik dan dibunuh pada 8 Mei 1993.

Dalam sebuah epilog yang berjudul “Marsinah Tewas di Perut Politik Perburuhan Orde Baru”, termuat di Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia yang diterbitkan oleh YLBHI pada 1999, Munir menulis bahwa kematian Marsinah seakan menjadi momentum untuk memperlihatkan tumbuhnya resistensi dan kesadaran perlawanan buruh pada pertengahan tahun 1990-an. “Konteks permasalahan ini sekaligus memberikan gambaran kerasnya represi yang harus diterima buruh dalam percaturan politik perburuhan Orde Baru,” tulis Munir.

Baca juga: 

Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Tindakan represif untuk membungkam suara-suara perlawanan terhadap pemerintahan otoriter itulah yang mendorong Munir selalu menyuarakan keberpihakannya kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia dan mereka yang terpinggirkan. Pria yang pernah menjabat sebagai direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia, itu berperan besar dalam mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM selama operasi militer Indonesia di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Kegigihan dan konsistensi Munir dalam memperjuangkan keadilan bagi para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia membuatnya dianugerahi banyak penghargaan. Di tahun 1998, ia meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award dan didaulat sebagai Man of The Year versi majalah Ummat. Tak hanya itu, Munir juga masuk dalam daftar 20 pemimpin politik muda Asia pada Milennium Baru oleh majalah Asiaweek pada Oktober 1999.

Sementara di tahun 2000, ia memeroleh penghargaan The Right Livelihood Award dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia; serta Mandanjeet Singh Prize UNESCO atas kiprahnya mempromosikan toleransi dan anti-kekerasan.*

TAG

munir

ARTIKEL TERKAIT

Inggris dapat Membakar Lautan Patra Mokoginta Gagal Jadi Raja dan Dibuang Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Persekusi Ala Bangsawan Kutai Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian II) Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian I) Akhir Tragis Sahabat Marie Antoinette Bung Karno dan Takhta Suci Vatikan Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi