JIKA Anda membuka mesin pencari di internet dengan memakai kata kunci “perwira Sambo”, maka akan muncul deretan berita tentang jabatan baru yang diberikan kepada para perwira yang sebelumnya diberi sanksi terkait pembunuhan yang dilakukan Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo terhadap Brigadir Joshua dua tahun silam. Perwira-perwira itu yakni Komisaris Besar Budhi Herdi, Komisaris Besar Murbani Budi Pitono, Komisaris Besar Denny Setia Nugraha Nasution, Komisaris Besar Susanto, Ajun Komisaris Besar Handik Zusen, dan Komisaris Chuck Putranto. Mereka mendapat jabatan yang dianggap strategis di kepolisian. Perwira tinggi polisi menyebut pemberian jabatan itu terkait reward and punishment.
Para perwira bermasalah yang citranya buruk di mata publik namun mendapat jabatan bagus itu sejatinya adalah bentuk ketidakpedulian polisi terhadap masyarakat pembayar pajak di negeri ini. Namun hal itu seakan tak dipedulikan. Sejarah membuktikan perwira bermasalah dengan karier bagus bukan sesuatu yang baru di Indonesia.
Baca juga:
Dulu, setelah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Rene Conrad ditembak mati pada 6 Oktober 1970, pun kejadiannya hampir sama. Sebelum Rene ditembak, sebagian taruna Akademi Kepolisian sudah merasakan malu besar. Mereka yang biasanya arogan dalam mengguntingi rambut orang-orang gondrong, baru saja dikalahkan 0-2 oleh mahasiswa Bandung dalam sebuah laga persabahatan sepakbola. Para taruna itu pun disoraki.
Alih-alih bersahabat dengan orang berambut gondrong usai kekalahan itu, para taruna justru berang dan kian membenci mahasiswa. Dalam perjalanan pulang, para taruna berpapasan dengan mahasiswa bernama Rene yang rambutnya terhitung gondrong. Dari truk yang mengangkut para taruna itu lalu keluar ludah yang mengenai Rene yang sedang naik motor. Rene marah.
“Kalau berani, turun,” teriak Rene kepada taruna-taruna itu dan mobil yang mengangkut taruna pun berhenti, dikutip Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter.
Rene yang sendiri dan tidak terlatih dalam berkelahi ala taruna polisi itu akhirnya melarikan diri setelah melawan. Tentu saja dia dikejar. Khaerul Bahar Muluk, salah seorang taruna, mengaku mengarahkan revolver Colt kaliber 38 yang dibawanya ke arah Rene. Namun, dia mengaku tidak menembaknya.
Baca juga:
Kini Bharada E Dulu Bripda Djani
Siapa pun yang menarik pelatuk senjata pada hari itu, yang pasti Rene terbunuh. Tindakan sok jagoan itu membuat mahasiswa Bandung meradang.
Namun, di era Orde Baru yang otoriter itu, kasus Rene Conrad nasibnya jadi seperti kasus Sum Kuning dan kasus-kasus lain. Penyelesaiannya berlarut-larut dan jelas tidak transparan lantaran beberapa yang terlibat merupakan anak jenderal kepolisian. Bahkan Kapolri sejujur dan seberani Jenderal Hoegeng Iman Santoso pun tak bisa menembus penyelesaian kasus ini. Malah polisi bintara yang tak tahu-menahu dan tak ada kaitan dengan peristiwa, yakni Brigadir Djani, ditumbalkan sebagai pelaku karena dituduh lalai dalam tugas.
Pada akhirnya setelah Hoegeng lengser, beberapa bekas taruna yang sudah menjadi perwira polisi seperti Noegroho Djajoesman, Dodo Mikdad, Sianturi Simatupang, Khairul Bahar Muluk, Sugeng Widianto, Ahmad Arony, Riyadi, dan Nugroho Ostenrik pun menjadi tersangka pengeroyokan yang berbuntut kematian Rene. Pengadilan terhadap Noegroho dkk. itu barangkali sedikit memuaskan hati Hoegeng, yang dalam otobiografinya, Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan, mengaku senang dengan pengadilan mereka. Menurutnya, ada keterbukaan di sana.
Baca juga:
Namun pengadilan itu jelas tak memuaskan semua pihak. Sebagian mahasiswa percaya penembak Rene adalah Noegroho Djajusman. Rum Aly menyebut Noegroho Djajusman “cenderung diselamatkan” dalam pengadilan itu. Sebab, faktanya setelah pengadilan itu Noegroho berdinas lagi di kepolisian. Hingga ketika mahasiswa kembali berdemo menuntut penurunan Soeharto pada 1998, Noegroho sudah menjadi kepala Kepolisian Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (Kapolda Metro Jaya) dengan bintang dua di pundaknya.
Mirip dengan Noegroho yang “dilindungi” ayahnya, Jenderal Polisi Djajusman, Nugroho Ostenrik yang juga –anak Jenderal Polisi Ostenrik– ada saat pengeroyokan Rene Conrad, bisa terus berdinas di kepolisian hingga kariernya terus menanjak. Alhasil banyak orang meyakini bahwa kedua Noegroho itu selamat karena ayah mereka jenderal.*