Masuk Daftar
My Getplus

Soedarsono "Kudeta 3 Juli": Dari Komisaris ke Komisaris Lagi

"Bapak" Polairud yang sempat berkarier di ketentaraan. Berperan dalam apa yang disebut "Kudeta 3 Juli".

Oleh: Petrik Matanasi | 07 Jul 2023
Soedarsono (kiri) sedang reuni di Yogyakarta, tempat dia menjadi panglima Divisi III semasa kota itu jadi ibukota. (Repro "Memoar Perjoangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ")

Setidaknya sejak 1950 sudah ada Polisi Perairan (kini Polairud) di Indonesia. Menurut catatan 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia, orang yang diperintahkan membentuk Polisi Perairan itu adalah Raden Panji Soedarsono. Buku Sejarah Kepolisian di Indonesia menyebut dialah yang menjadi kepala institusi itu pertama. Dia pensiun pada 1958 dengan pangkat terakhir Komisaris Besar Polisi yang setara Kolonel. Setelah pensiun, dia tinggal di rumah kontrakan.

“Saya tidak punya rumah, di sini saya menyewa sejak tahun 1952,” ujarnya, dikutip buku Memoar Perjoangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Soedarsono berkarier di kepolisian sejak zaman Hindia Belanda. Laki-laki kelahiran Purbalingga, 6 April 1903 –yang lulusan HIS (1920) dan MULO (1924)– ini pada 1925 masuk Sekolah Polisi Sukabumi. Dia kakak kelas Kapolri pertama Raden Said Soekanto Tjokroatmodjo. Setahun pendidikan di sana, dia menjadi Ajun Inspektur Polisi. Memoar Perjoangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 mencatat, Soedarsono adalah orang Indonesia yang menyandang pangkat itu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Era Soekanto, Era Emas Kepolisian Indonesia

 

Seoedarsono kemudian bertugas di kantor polisi Gondangdia (Seksi V), Batavia (kini Jakarta) dari 1926-1931. Selanjutnya, dia diangkat menjadi komandan Detasemen Polisi di daerah Karet, juga di kota yang sama, hingga 1933. Setelah itu Soedarsono menjadi komandan detasemen polisi di Teluk Bayur (Sumatra Barat), Kalimantan Timur, dan Martapura (Kalimantan Selatan).

Sebelum pertengahan 1939, Soedarsono sempat menjadi kepala polisi untuk kota Samarinda. Sejak Juli 1939, pangkat Soedarsono naik menjadi Inspektur Polisi Kelas Satu dan jabatannya menjadi kepala reserse kriminal di kantor polisi Yogyakarta. Jabatan itu disandangnya hingga 1942, ketika Jepang masuk Indonesia.

Di zaman Jepang, Soedarsono menjadi nitto keishi alias Komisaris Polisi Kelas Dua dengan tugas sebagai guru di Sekolah Polisi Sukabumi. Baru pada 1944 pangkatnya naik menjadi Komisaris Polisi Kelas Satu dan jabatannya menjadi kepala Kepolisian Yogyakarta.

Baca juga: Slamet Rijadi Masa Pendudukan Jepang

 

Setelah Indonesia merdeka, Soedarsono menjadi orang penting dalam perebutan senjata Jepang. Jabatannya pada Agustus 1945 adalah kepala Polisi tertinggi di Yogyakarta.

Soedarsono aktif berjuang bersama para pemuda bersenjata. Buku Yogya, Benteng Proklamasi menyebut Soedarsono memimpin pemuda dalam menyerbu markas tentara Jepang dalam pertempuran di Kotabaru. Peran itulah yang membuat Moh. Yamin menjulukinya sebagai Pahlawan Kotabaru.

Ketika Magelang terancam oleh masuknya tentara Inggris-Sekutu, Soedarsono bergerak. Menurut Moekhardi dalam Bunga Rampai Sejarah Indonesia: Dari Borobudur hingga Revolusi Nasional, Soedarsono selaku pemimpin kepolisian bersama Soeharto selaku wakil dari Tentara Keamanan Rakjat (TKR) berangkat ke Magelang.

Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan

 

Soedarsono kemudian jadi bagian dari tentara dan dipercaya memimpin Divisi IX Yogyakarta (Oktober 1945-Mei 1946) dengan pangkat Kolonel. Pada Mei 1946, pangkat Soedarsono naik menjadi Jenderal Mayor –kala itu belum ada pangkat Brigadir Jenderal dan Mayor Jenderal dalam ketentaraan Indonesia.

Ketika menjadi panglima divisi, kepala staf divisinya adalah Kolonel Oemar Joi. Di bawah keduanya, terdapat Letkol Soeharto yang menjadi salah satu komandan resimennya.

Saat Soedarsono menjadi panglima divisi, persaingan politik para politisi sipil cukup keras. Beberapa politikus tenar bahkan sampai dipenjara di Wirogunan. Kondisi “panas” tersebut mendorong Soedarsono mengambil langkah pengamanan dengan mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang saat itu sedang berada di Solo.

Baca juga: Di Balik Jatuhnya Kabinet Sjahrir

“Soedarsono telah memberi perintah untuk membawa Sjahrir ke Yogya. Karena itu Joesoef (orang yang diperintah Soedarsono menjadi eksekutor, red.) membayangkan akan adanya masalah pada malam hari, sehingga dimintanya Soetarto agar menahan Sjahrir dan orang-orangnya di Solo terlebih dulu. Soetarto mengabulkan permintaan itu dan sebagai tempat penahanannya ditunjuk Paras, sebuah desa di kaki Gunung Merbabu sekitar tiga puluh kilometer di arah barat kota Solo,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Vol. 2.

Kendati menurutnya langkah itu bertujuan untuk memulihkan keadaan, Soedarsono jelas terlibat dalam apa yang dinamakan Kudeta 3 Juli 1946. Peristiwa tersebut membuat Presiden Sukarno marah dan mengambil tindakan. Letkol Soeharto selaku komandan resimen yang –berada di bawah Soedarsono– bertanggung jawab atas keamanan kota Yogya, diperintahnya menangkap Soedarsono.

Baca juga: Cerita Lama Soal Kudeta di Indonesia

 

“Sungguh gila gagasan itu,” pikir saya. “Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?” kenang Soeharto dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan KH dan G. Dwipayana, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Soedarsono akhirnya ditahan usai ditangkap Pasukan Pengawal Presiden ketika hendak menghadap presiden di Istana. Peristiwa itu membuat Soedarsono dipenjara sekaligus menutup karier singkatnya di ketentaraan.

TAG

perang kemerdekaan sejarah-kepolisian

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Semena-Mena Polisi Mengadili Polisi Brutal Ketika Soekanto Menguji Rompi Sakti Kisah Penganiayaan oleh Polisi di Era 1970-an Skandal Polisi Curup Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar