Oknum kepolisian yang melakukan penganiayaan jadi sorotan pemberitaan belakangan ini. Bermula dari pengakuan Sarpan, seorang kuli bangunan yang digebuki polisi sampai mukanya bonyok di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan, Medan. Sarpan saat itu diperiksa sebagai saksi kasus pembunuhan kernetnya bernama Dodi. Karena dianggap memberikan keterangan berbelit-belit, polisi penyidik menganiaya Sarpan lewat cara memukul, menendang, sampai menyetrumnya. Kepolisian Daerah Sumatra Utara akhirnya mencopot 9 anggotanya yang terbukti bersalah melakukan tindak penganiayaan itu.
Cara penyidikan polisi yang brutal memang kerap terjadi. Penganiayaan kadang dijadikan metode ampuh interogasi untuk mengorek keterangan dari saksi ataupun tersangka. Akan tetapi, praktik demikian tentu saja tidak sesuai dengan kemanusiaan bahkan bisa berujung nyawa melayang.
Kasus serupa pernah bikin gempar institusi kepolisian pada dekade 1970. Aksi penganiayaan itu menyeret personil Tim Khusus Anti Bandit yang lebih dikenal dengan nama “Tekab”. Saat itu, reputasi Tekab sedang naik daun sebagai satuan buru sergap para penjahat di Jakarta.
“Media massa kan publikasikan, ya terkenal. Jadi kayak publik figur tapi invisible gerakannya,” ujar Teguh Esha wartawan Jakarta dekade 1970-an kepada Historia.
Sisi Gelap Tekab
Menurut Teguh Esha, bandit-bandit ibu kota bakalan ciut nyalinya begitu mendengar nama besar Tekab. Anggota polisi yang masuk Tekab punya kualifikasi khusus: berani, jago bela diri, berfisik kuat, dan mahir menembak. Tekab Jakarta segera menjadi model untuk kepolisian di kota-kota besar provinsi lain.
“Bandit-bandit ngeper (takut) juga tuh,” seloroh mantan wartawan yang juga pengarang novel legendaris Ali Topan Anak Jalanan itu.
Baca juga:
Bandit-Bandit Kakap di Batavia
Namun pada medio 1973, Tekab harus menghadapi masalah hukum yang serius. Martawibawa alias Tan Tjong, tahanan Komdak Metro Jaya, meninggal dunia akibat penganiayaan yang dilakukan tiga anggota Tekab. Ketiganya adalah Letda Polisi Chairul Bahar Muluk beserta dua pembantunya, Peltu Sutaryo dan Pelda I Wayan Mangku.
Martawibawa tersangka kasus makelar mobil dan keimigrasian itu mengalami kekerasan fisik: mata lebam, rahang bergeser, luka di kepala, serta tangan dan kaki lecet. Di pengadilan militer, Muluk mengakui menghajar Martawibawa karena dianggap memberikan keterangan berbelit-belit. Pengadilan memutuskan ketiganya bersalah atas penganiayaan yang berujung pada kematian. Muluk diganjar hukuman penjara tiga tahun sedangkan dua rekannya setahun lima bulan.
Kejadian tersebut merusak citra Tekab yang kadung dianggap sebagai pelindung warga ibukota. Komandan Tekab, Mayor Polisi Seman, pun menyesali tindakan anak buahnya. “Ia (Muluk) polisi muda kepercayaan saya, sayang ia kurang bisa menahan luapan emosinya. Muluk adalah tenaga muda yang cekatan menghadapi tugasnya,” ujar Seman dikutip Tempo, 14 Juli 1973.
Baca juga:
Dalam Kompas, 25 Juni 1973, Mayor Seman menyatakan, Tekab sedapat-dapatnya tidak akan menggunakan kekerasan lagi. “Saya tidak mau peristiwa Martawibawa terulang kembali, hingga anggota-anggota saya dihadapkan ke Mahkamah ABRI,” ujarnya.
Perilaku minus aparat Tekab sampai ke telinga Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro. Sebagaimana diwartakan Ekspres, 18 Mei 1973, dalam pertemuan Kopkamtib yang dihadiri Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo, Soemitro melayangkan teguran keras: tidak ingin mendengar lagi bercokol “polisi kampungan”.
Dalam tesisnya, “Kejahatan di Jakarta: Peranan Polri dalam Pencegahannya 1970-1980-an” yang dipertahankan di Universitas Indonesia, I Gde Putu Gunawan menyebut peran Tekab mulai tereduksi ketika Awaloedin Djamin menjabat sebagai Kapolri. Di era Awaloedin, kepolisian mulai melibatkan peran masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Alasannya, mengurangi kejahatan tidak cukup hanya dengan menangkap pelakunya.
Baca juga:
Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita
Awaloedin kemudian mencanangkan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa (Siskamtibmas Swakarsa). Melalui Siskamtibmas, partisipasi masyarakat diperluas guna membantu kinerja kepolisian. Sejak 1981, program Siskamtibmas dijalankan masing-masing kepolisian daerah (Polda). Salah satu wujudnya adalah sistem keamananan lingkungan (siskamling) yang masih berlaku hingga kini.