DI tengah santernya kabar laju tentara Jepang menerjang di Asia, pada pertengahan tahun 1940 kepolisian Hindia Belanda melakukan rotasi di Padang, Sumatra Barat. Seorang pejabat polisi baru ditempatkan untuk mengepalai kepolisian di Padang. Kali ini bukan orang kulit putih Belanda, melainkan seorang bumiputra. Koran Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 1 Mei 1940 menyebut bahwa yang ditempatkan di Padang itu adalah Komisaris Polisi kelas satu Raden Soeleman, yang sebelumnya bertugas di kepolisian kota Batavia.
Di sana, Raden Soeleman punya rekan kerja yang bernama mirip dengannya, yakni Soeleman Effendi (1912-2001). Jika Raden Soeleman priyayi Jawa, Soeleman Effendi adalah “putra daerah” kelahiran Agam.
Ketika duo Soeleman itu bertandem di Padang itulah balatentara Jepang masuk Sumatra lalu ke daerah-daerah lain hingga menguasai Hindia Belanda. Nasib baik menghampiri keduanya. Bila umumnya mantan aparat kolonial Belanda ditahan, keduanya tetap dijadikan perwira polisi oleh militer Jepang yang berkuasa. Keduanya diberi pangkat Keisyi (Komisaris Polisi) oleh militer Jepang. Siti Fatimah dkk dalam Bgd. Azizchan, 1910-1947: Pahlawan Nasional dari Kota Padang menyebut pangkat keisyi di Sumatra Barat diberikan kepada Ahmad Datuk Barbangso, Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa, Soelaiman Effendi, dan Raden Soeleman.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Raden Soeleman tetap berada di Sumatra Barat. Dia masih pejabat polisi yang dipandang di Sumatra Barat. Bahkan, dia sampai menjadi kepala Polisi Kota Padang.
Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Sukarno-Hatta, polisi menjadi kelompok bersenjata penting yang mendukung Republik Indonesia. Banyak dari mereka yang memihak Republik Indonesia. Termasuk yang berada di Sumatra Barat. Dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatra Tengah disebutkan, Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa, Soeleman Effendi, dan Raden Soeleman serta beberapa pejabat kepolisian lain segera mengambil alih wewenang kepolisian dari tangan orang Jepang. Setelahnya, Soeleman Effendi menjadi kepala polisi kota Padang, Raden Soeleman menjadi kepala polisi daerah Sumatra Barat. Status wilayah yang kini menjadi provinsi Sumatra Barat kala itu masih keresidenan.
Namun, sejarawan Mestika Zed dkk. dalam Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995 menyebut Raden Soeleman selaku kepala polisi kota Padang terlalu berhati-hati untuk mengibarkan bendera-merah putih di kantornya. Bendera merah-putih baru dikibarkan setelah Soeleman Effendi selaku wakil Raden Soeleman mendorongnya mengibarkan bendera itu pada 29 Agustus 1945.
Raden Soeleman tidak lama mengemban jebatan kepala Kepolisian Sumatra Barat. Setelah Provinsi Sumatra dibentuk dan beribukota Pematang Siantar, pada Februari 1946 Raden Soeleman diangkat menjadi kepala Kepolisian Sumatra dan berkedudukan di Pematang Siantar. Pangkatnya naik menjadi Komisaris Besar (Kombes). Dia membawahi polisi Indonesia di seluruh pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Jelas tak mudah tugas yang diemban Raden Soeleman. Selain komunikasi dan perhubungan masih buruk, saat itu dalam suasana perang. Belanda yang “absen” selama pendudukan Jepang kali ini hendak kembali menguasai bekas wilayah koloninya. Akibatnya, bentrokan dengan para pendukung Republik Indonesia pun tak terelakkan.
Di Sumatra Barat sendiri, kepolisian dipegang Soeleman Effendi. Dia naik menjadi kepala Kepolisian Sumatra Barat menggantikan Raden Soeleman yang pindah ke Sumatra Timur (kini menjadi Sumatra Utara).
Raden Soeleman, disebut M. Oudang dalam Perkembangan Kepolisian di Indonesia, setelah memegang kepolisian Sumatra lalu pindah tugas menjadi kepala Kepolisian di Sulawesi, lalu Kalimantan. Kala itu kepolisian daerah setara provinsi dan belum dipimpin seorang jenderal. Dia sendiri pensiun dengan pangkat belum mencapai jenderal alias baru kombes.
Sementara itu, Soeleman Effendi, rekan Raden Soeleman di Sumatra Barat era revolusi, kariernya terus menanjak juga. Mantan komandan Mobrig (kini Brimob) semasa perang gerilya di Sumatra itu akhirnya sampai menjadi orang kedua di Kepolisian RI. Seperti Raden Soeleman, dia juga pernah mendapat tugas di Kepolisian Sumatra Utara dengan pangkat kombes.
Ketika Soeleman Effendi memegang jabatan tersebut, seorang perwira menengah bernama Hoegeng Iman Santoso (kelak menjadi kapolri) datang menghadap kepadanya pada 1956. Hoegeng hendak melaporkan penugasan barunya sebagai kepala resersi-kriminal kepolisian yang dikepalai Kombes Soeleman Effendi.
Dalam pembicaraan tersebut, disinggung pula masalah-masalah yang dihadapi kepolisian setempat. Yang terbesar dan mendesak diselesaikan adalah kasus penyelundupan.
“Dijelaskan oleh Kombes Sulaiman (Soeleman, red.), bahwa sebelumnya telah ada pembicaraan antara Kapolri, Kepala Direktorat Reskrim Mabak, tentang perlunya tindakan pembersihan besar-besaran,” tulis Aris Santoso dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Pembersihan yang dimaksud adalah pembersihan terhadap kasus penyelundupan. Keduanya pun mendiskusikan solusi mengatasi maraknya penyelundupan itu.
“Disepakati bersama tentang perlunya pembersihan besar-besaran di Sumatra Utara,” kata Soeleman Effendi kepada Hoegeng, seperti diingat Hoegeng dalam biografinya, Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan.
Penyelundupan akan dilawan polisi di sana, begitu keputusan yang diambil Soeleman Effendi. Hoegeng, yang dikenal sebagai polisi jujur, pemberani, dan berintegritas tinggi, sebagai komandan tugas tersebut lalu melaksanakan perintah tersebut. Hasilnya, para penyelundup di Medan mendapat masalah besar di Medan dan kasus penyelundupan turun.
Reputasi Soeleman Effendi kian moncer usai mengatasi penyelundupan di wilayah tugasnya. Kariernya terus menanjak hinga puncaknya mencapai orang kedua di kepolisian RI dengan pangkat brigadir jenderal polisi. Soeleman Effendi pensiun jauh setelah rekannya, Raden Soeleman, pensiun.*