Kini Bharada E Dulu Bripda Djani
Mahasiswa ITB Rene Louis Conrad dikeroyok dan ditembak mati taruna Akabri-Kepolisian. Bripda Djani dikorbankan.
Mabes Polri telah menetapkan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah atasannya, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Inspektur Jenderal Polisi Ferdi Sambo.
Banyak kalangan percaya Bharada E hanya kambing hitam. Diduga pelakunya bukan satu orang. Polisi bawahan yang dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan melibatkan polisi tak hanya terjadi kali ini saja. Dulu, kasus penganiayaan dan pembunuhan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) Rene Louis Conrad tersangkanya juga polisi berpangkat rendahan.
Baca juga: Iptu Tembak Briptu
Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter menceritakan peristiwa pembunuhan Rene Louis Conrad itu.
Pada 6 Oktober 1970, sehari setelah peringatan Hari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), terjadi peristiwa yang memalukan bagi Kepolisian. Taruna Akabri (Akademi ABRI) bagian Kepolisian telah melakukan penganiayaan dan pembunuhan.
Kejadiannya bermula dari pertandingan sepakbola antara mahasiswa ITB melawan taruna Akabri-Kepolisian. Pertandingan sepakbola ini diadakan untuk meredam pertentangan antara Akabri-Kepolisian dengan mahasiswa yang tidak suka dicukur paksa. Kala itu aparat hukum dibantu taruna Akabri-Kepolisian merazia rambut gondrong dan mencukur paksa.
Baca juga: Kutu Subversif dalam Rambut Gondrong
Taruna Akabri-Kepolisian kalah 2:0. Sudah kalah diolok-olok pula oleh pendukung mahasiswa ITB. Pertandingan itu pun hanya membuat malu taruna Akabri-Kepolisian.
Dalam perjalanan pulang, bis taruna Akabri-Kepolisian berpapasan dengan seorang mahasiswa ITB yang mengendarai sepeda motor dan tidak ikut menonton sepakbola. Namanya Rene Louis Conrad. Rene naik pitam karena diludahi dari arah bis.
“Kalau berani turun!” tantang Rene. Para taruna itu turun lalu mengeroyok Rene.
“Beberapa mahasiswa yang berada di kejauhan menyaksikan penyiksaan atas Rene dan kawan yang diboncengnya. Kalau sang kawan berhasil lolos, Rene sebaliknya tidak bisa melepaskan diri, karena rupanya memang dia yang dijadikan sasaran utama,” tulis Rum Aly. Mahasiswa yang menyaksikan pengeroyokan itu dari kejauhan dilarang mendekati tempat kejadian oleh polisi yang berjaga.
Baca juga: Menembak Sejarah Glock
Rene disiksa di depan asrama F. Terdengar letusan tembakan di tempat kejadian. Jenazah Rene tidak hanya ditemukan dalam kondisi babak belur tapi juga tertembak.
Menurut Rum Aly dalam laporannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, peluru yang membunuh Rene berasal pistol Colt 38. Menurut polisi senjata itu tidak lagi dipakai Kepolisian. Para taruna yang terlibat pengeroyokan –di antaranya anak jenderal polisi–, tidak ada yang mengaku siapa penembak Rene.
“Demi para calon perwira itu, para petinggi Polri bahkan sampai hati ‘mengorbankan’ seorang bintara Brimob bernama Djani Maman Surjaman,” tulis Rum Aly.
Baca juga: Mengadili Polisi Brutal
Brigadir Dua Polisi (Bripda atau sersan dua versi ABRI) Djani Maman Surjaman kebetulan bertugas di tempat kejadian. Menurut Polisi, Rene ditembak dengan senjata laras panjang Karl Gustav yang dipegang Djani.
Bripda Djani pun lalu dimejahijaukan. Adnan Buyung Nasution menjadi pembela Djani. Djani mendapat banyak simpati dari mahasiswa. Mochtar Lubis dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya, Volume 2 yang sebelumnya dimuat dalam Indonesia Raya, 4 Januari 1971, menyebut dalam persidangan, hakim bersikap tidak mengindahkan saksi-saksi yang hendak diajukan pembela Bripda Djani.
Hakim menjatuhkan vonis lima tahun delapan bulan penjara. Banyak yang tidak puas dengan putusan yang merugikan Djani itu. Publik yakin bahwa Djani “ditumbalkan” demi masa depan anak jenderal dkk. itu. Seingat Mochtar Lubis, kala itu hakim bilang: Hak Asasi Manusia (HAM) yang disusun Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tidak cocok diterapkan di Indonesia dan tidak sesuai Pancasila. Padahal Orde Baru Soeharto baru saja masuk PBB lagi.
Baca juga: Aksi Semena-Mena Polisi
Keluarga Rene, terutama ibunya, termasuk yang penasaran dengan kematian anaknya. Sinar Harapan, 19 Mei 1971 mencatat, Bripda Djani Maman Surjaman bersumpah kepada ibu Rene: “Demi Allah saya tidak menembak Rene, anak ibu yang ibu cintai.”
Persidangan kasus Rene Conrad diadakan lagi di Mahkamah Militer Jakarta-Banten pada pertengahan 1973. Kali ini dengan terdakwa para taruna polisi yang sudah menjadi inspektur polisi (letnan dua versi ABRI). Mereka adalah Chaerul Bahar Muluk, Dodo Mikdad, Achmad Arony Gumay, Riyadi, Sianturi Simatupang, Sugeng Widianto, Nugroho Ostenrik, dan Nugroho Djajusman. Dua Nugroho terakhir adalah anak jenderal polisi.
Sekali lagi pelaku penembakan Rene Conrad tidak terungkap. Semua terdakwa kemudian terus berkarier di kepolisian. Ada yang kariernya buruk karena kasus penganiayaan tahanan, yakni Bahar Muluk. Ada pula yang jadi jenderal dan menjabat Kapolda Metro Jaya seperti Nugroho Djajusman.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar