Aksi Semena-Mena Polisi
Publisitas dan popularitas membuat oknum polisi terlena dan mengabaikan prosedur, bahkan mengintimidasi masyarakat. Problema lama yang masih perlu dibenahi hingga kini.
Aipda Monang Parlindungan Ambarita, sosok polisi yang suka wara-wiri di televisi, kini jadi pemberitaan. Komandan tim Raimas Backbone Polres Metro Jakarta Timur ini terkenal dengan operasi penertiban masyakat yang digelarnya setiap malam. Sosok Ambarita yang sangar kerap mengundang perhatian. Selain langganan meringkus pelaku kriminal, Ambarita juga bikin ciut nyali ketika menginterogasi orang yang dicurigai.
Aksi Ambarita dalam bertugas disuguhkan kepada pemirsa dalam program televisi swasta maupun akun Youtube Raimas Backbone Official. Sorotan media membuat nama Aipda Ambarita pun melejit bak selebritas. Namun, publisitas itu pula yang membuatnya tersandung kali ini. Dalam salah satu tayangan yang belakangan viral, Ambarita kedapatan memeriksa paksa ponsel milik seorang pemuda yang berkumpul di malam hari. Karena dinilai arogan dan tidak menghargai privasi, tindakan itu menuai kritik dari publik.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengakui adanya kesalahan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dilakukan Ambarita. Akibatnya, Ambarita harus menjalani pemeriksaan oleh Propam Polri. Kabar terbaru menyebutkan Aipda Ambarita dimutasikan sebagai bintara Bidang Humas Polda Metro Jaya.
Tim Khusus Anti Bandit
Sorotan serupa juga pernah terjadi dalam institusi kepolisian yang melibatkan satuan Tim Khusus Anti Bandit (Tekab). Semula, Tekab bukanlah organ resmi kepolisian. Ia adalah lembaga ekstra Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya yang dibentuk karena meningkatnya kriminalitas di Jakarta. Tidak hanya volume, pada akhir 1960-an, teknik dalam aksi kejahatan juga meningkat.
Di tahun perdananya, Tekab langsung menggebrak. Operasi-operasinya berpengaruh signifikan dalam menghadapi aksi kejahatan. Sepanjang tahun 1969, dilansir Kompas, 2 Februari 1970, sebanyak 12.547 kasus kejahatan di Jakarta ditangani. Jumlah itu melonjak drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 6.953 kasus.
Baca juga: Preman Medan dari Zaman ke Zaman
Tekab bukanlah polisi biasa. Karena jam terbang operasi yang tinggi, seorang anggota Tekab harus memiliki kecerdasan dan mental di atas rata-rata. Penampilannya pun tidak biasa: berambut cepak dan berpakaian ala preman lengkap dengan pistol di pinggang. Tidak ketinggalan walkie talkie merek Motorolla –yang sempat jadi tren kala itu: walkie Teke’– untuk mempermudah komunikasi di antara sesama anggota Tekab.
Ketika di bawah komando Mayor (Pol.) Seman Partodihardjo, reputasi Tekab kian populer. Teke’ –demikian Tekab disebut kalangan bandit– menjadi momok menakutkan mulai dari copet amatiran, penadah, sampai perampok kelas kakap. Pemalsu obat, pemerkosa, hingga penyelundup juga termasuk.
Tekab biasa beroperasi di daerah-daerah yang dianggap rawan kriminal. Dengan teknik penyamaran, operasi Tekab acapkali berbuah sukses.
“Seringkali jebakan anak buah Seman ini berhasil –menyamar sebagai tukang becak atau pejalan kaki– membawa banyak bandit ke pengadilan dengan kaki cidera oleh peluru penembak jitu,” tulis Tempo, 21 Desember 1974.
Baca juga: Aksi Penyamaran Hoegeng
Tekab Jakarta segera menjadi model untuk kepolisian kota-kota besar provinsi lain. Terbentuklah Tekab di Bandung, Surabaya, dan Medan. Keberhasilan Tekab menjalankan operasi kerap diberitakan secara heroik oleh media massa. Publikasi media tersebut, menurut sastrawan Teguh Esha, wartawan Jakarta dekade 1970-an, menyebabkan popularitas Tekab sangat dekat di tengah masyarakat meskipun gerakan personelnya tidak terlihat.
“Tekab ini dulu terkenal, berwibawa,” ujar Teguh Esha kepada Historia beberapa tahun silam.
Cacat Oknum Tekab
Sebagai konsekuensi popularitasnya, citra Tekab rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Entah dilakukan oknum maupun orang dalam kepolisian. Fenomena Tekab gadungan pun jamak terjadi.
Kasus paling menghentak publik terjadi pada 1973. Tiga orang personel Tekab terlibat dalam pelanggaran hukum serius. Ketiganya adalah Letda Polisi Chairul Bahar Muluk beserta dua pembantunya: Peltu Sutaryo dan Pelda I Wayan Mangku. Mereka dinyatakan bersalah atas meninggalnya seorang tahanan bernama Martawibawa alias Tan Tjong ketika berlangsung pemeriksaan. Dalam pengadilan Mahkamah Militer, terbukti telah terjadi penganiayaan berat terhadap Martawibawa yang dilakukan oleh Chairul Bahar Muluk.
Kasus Martawibawa menodai citra Tekab menjadi polisi yang terkesan brutal. Padahal, Tekab sebelumnya disanjung sebagai pelindung masyarakat. Keadaan itu membuat Komadan Tekab Mayor Seman dalam dilema.
Baca juga: Kisah Penganiayaan oleh Polisi di Era 1970-an
“Tidak bertindak keras, penjahat makin menjadi-jadi – dan terang masyarakat mengutuk polisi. Bertindak keras (lebih-lebih sampai ada yang mati), polisi dicela khalayak,” ungkapnya dalam Tempo, 17 Juli 1973.
Masih hangat kasus Martawibawa, pada tahun yang sama, aparat Tekab kembali berbuat semena-mena. Aksi main hakim sendiri itu seperti diberitakan Majalah Ekspress, 18 Mei 1973 terjadi di Kelurahan Guntur, Jalan Gembira II, Jakarta, sekira pukul 05.30 pagi. Empat personel kepolisian dari kesatuan Komsekko 712 Pasar Baru telah membuat panik penduduk sekitar karena tindakan mereka mengobrak-abrik rumah seorang tersangka buron. Terdakwa adalah direktur suatu perusahaan teknik yang dituduh menggelapkan uang sebesar Rp350.000.
Petugas polisi tersebut menanyakan keberadaan sang direktur. Namun, karena yang dicari tidak di tempat, para polisi itu langsung menggeledah seisi rumah, termasuk kamar nyonya rumah yang masih terlelap tidur. Penggeledahan dilakukan tanpa mempelihatkan surat perintah, juga itikad yang santun. Sang nyonya rumah terbangun menyadari rumahnya diperiksa tanpa izin, lantas menegur aparat yang tidak diundang itu. Siapa nyana, polisi yang menggeledah malah lebih galak seraya membentak, “Tekab Jakarta masuk mana saja bebas.” Keempat petugas itu berpesan agar besok pagi sang direktur menyerahkan diri serta mengancam penghuni rumah andai perintah itu tidak dipenuhi.
Baca juga: Mengadili Polisi Brutal
Kasus penggeledahan tersebut segera menjadi isu di Polda Metro Jaya. Juru bicara Polisi Metro Jaya mengeluarkan pernyataan bahwa cara penangkapan seperti itu tidak benar. Ia menyalahi prosedur yang berlaku di kepolisian.
“Itu merupakan salah satu contoh dari tindakan menyalahi prosedur,” kata Kadispen Komdak Metro Jaya AKBP Nyonya Pramono, dikutip Ekspress.“Seharusnya petugas Komsekko 712 Pasar Baru menghubungi dahulu kantor polisi setempat, yaitu Komsekko 743 Setia Budi untuk kemudian bersama-sama melakukan penangkapan.”
Dalam pertemuan Kopkamtib yang dihadiri Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro meluapkan amarahnya. Soemitro jengkel dan tidak mau lagi mendengar bercokolnya “polisi kampungan”. Sejak saat itu, Tekab memasuki masa transisi. Peran Tekab semakin tereduksi pada masa kepemimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin (1978-1982) yang menggalakkan kebijakan baru seperti Sistem Keamanan Lingkungan alias Siskamling.
Baca juga: Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita
Tambahkan komentar
Belum ada komentar