Bripda Djani Dikorbankan
Dalam kasus pembunuhan mahasiswa ITB Rene Louis Conrad, satu angkatan taruna Akabri Kepolisian meminta diberhentikan. Tersangka bebas, Bripda Djani dikorbankan.
Mabes Polri telah menetapkan Bharada E sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Setelah itu, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengumumkan bahwa Tim Khusus Polri telah memeriksa 25 anggota polisi. Sepuluh perwira polisi di antaranya dimutasi termasuk tokoh utama dalam kasus ini, Irjen Pol. Ferdy Sambo. Hasil pemeriksaan akan menentukan apakah mereka melanggar etik atau pidana.
Dalam sejarah Kepolisian setengah abad lalu terjadi kasus pembunuhan mahasiswa ITB Rene Louis Conrad oleh taruna Akabri Kepolisian. Kasus ini menjadi perhatian publik karena pelakunya bebas dengan mengorbankan anggota polisi lain.
Kejadiannya pada 6 Oktober 1970 bermula dari pertandingan sepakbola antara mahasiswa ITB melawan taruna tingkat atas Akabri Kepolisian. Pertandingan persahabatan ini digelar setelah terjadi keributan antara mahasiswa ITB dan taruna Akabri Kepolisian. Ketika itu para taruna melakukan on the job training di lapangan antara lain merazia rambut gondrong.
Baca juga: Kini Bharada E Dulu Bripda Djani
“Seorang taruna tanpa menyadari telah menggunting rambut seorang mahasiswa ITB. Kejadian ini berakhir dengan perkelahian,” kata Awaloedin Djamin dalam biografinya, Pengalaman Seorang Perwira Polisi. Saat itu, Irjen Pol. Awaloedin Djamin menjabat Deputi Urusan Khusus Polri yang memimpin penyelesaian kasus Rene Conrad karena Kapolri Jenderal Pol. Hoegeng Iman Santoso tengah di luar negeri.
Awaloedin menilai telah terjadi kekeliruan, mengapa taruna Akabri Polisi yang akan segera tamat dengan pangkat letnan dua harus melaksanakan on the job training dengan tugas seperti tugas tamtama atau bintara, dan mengapa mesti diadakan pertandingan sepakbola. “Cabang olahraga ini sering mengundang perkelahian,” kata Awaloedin.
Suroyo Bimantoro, salah satu taruna Akabri Kepolisian, mengatakan bahwa ide pertandingan sepakbola datang dari Kapolwiltabes yang rupanya kakak-adik dengan rektor ITB. Para taruna melalui Corps Taruna menolak karena berisiko bentrok fisik. “Namun, usulan kami ditolak, pokoknya harus dilakukan pertandingan persahabatan itu,” kata Bimantoro dalam otobiografinya, Bermula dari Dukuh Pendorekan.
Taruna Akabri Kepolisian dengan tiga atau empat bis dan satu truk datang ke lapangan kampus ITB. Seperti yang sudah dikhawatirkan, pertandingan persahabatan itu justru berakhir dengan keributan. “Munculnya perkelahian itu memang sepele, yakni pet seorang taruna, katanya, terinjak oleh seorang mahasiswa,” kata Awaloedin.
Baca juga: Iptu Tembak Briptu
Namun, Bimantoro yang menjadi suporter tim taruna Akabri Kepolisian, menyebut tidak terjadi perkelahian hingga pertandingan berakhir. Dia membela diri bahwa selama pertandingan terdengar ejekan bahkan makian dari suporter mahasiswa ITB. Ditambah lagi serombongan motor besar berkeliling lapangan bola yang terletak di tengah kampus ITB. “Menyadari kekuatan suporter taruna jauh lebih kecil, kami semua menahan diri,” kata Bimantoro.
Setelah pertandingan berakhir, tim taruna segera naik bis. Namun, perkelahian yang memakan korban terjadi di jalan. Pemicunya Rene Louis Conrad yang mengendarai motor besar merasa diludahi dari dalam bis, lalu menantang, “Turun kalau berani!”
“Emosi yang sejak di lapangan ditahan-tahan tak terbendung lagi. Berhamburanlah para taruna yang sudah duduk di bis,” kata Bimantoro. “Sementara itu, berhamburan pula mahasiswa-mahasiswa ITB dari arah pintu gerbang kampus untuk bergabung dengan rombongan motor besar. Terjadilah perkelahian massal di Jalan Ganesha.”
Perkelahian itu berhasil dilerai oleh anggota Brimob. “Ada beberapa mahasiswa yang tergeletak di Jalan Ganesha termasuk Rene Conrad,” kata Bimantoro. Rene Conrad meninggal karena tembakan.
Baca juga: Menembak Sejarah Glock
Para taruna kembali ke penampungan di Selapa (Sekolah Lanjutan Perwira) TNI AD di Hegar Maneh. Mereka diperintahkan membuat laporan, kemudian dikelompokkan, diperiksa, dan dikonsinyir. “Sampai pemeriksaan kemudian mengerucut,” kata Bimantoro.
Pemimpin para taruna Komandan Resimen Corps Taruna Sermatutar (Sersan Mayor Satu Taruna) Ferry Mailansun kemudian membuat pernyataan sikap: kalau ada di antara para taruna yang ditindak dan dikeluarkan, maka 365 taruna angkatan Waspada Akabri 70 bagian Kepolisian meminta diberhentikan. Semua menandatangani penyataan sikap itu yang disampaikan berjenjang hingga sampai Kapolri Hoegeng Iman Santoso.
Bimantoro galau, begitu juga kawan-kawannya yang lain, terbayang kalau benar diberhentikan pangkat letnan dua bakal melayang. “Saya bilang ke kawan-kawan kalau dipecat, saya akan pulang ngarit (menyabit rumput),” kata Bimantoro.
Akhirnya, dikorbankanlah seorang anggota polisi dari Brimob, Bripda Djani Maman Surjaman, yang kebetulan sedang bertugas di tempat kejadian. Mahkamah Kepolisian VII Langlangbuana menjatuhkan vonis lima tahun delapan bulan. Pembela Bripda Djani adalah Adnan Buyung Nasution. Dalam otobiografinya, Pergulatan Tanpa Henti Volume 2, Buyung menyebut Djani adalah orang kecil yang dikorbankan untuk kepentingan suatu struktur, kekuasaan yang lebih besar.
Pengadilan banding di Mahkamah Kepolisian Tinggi di Jakarta memutuskan Bripda Djani bebas dari tuduhan primer. Oleh karena itu, Djani dijatuhi vonis satu tahun enam bulan atau sama dengan lamanya dia ditahan.
Baca juga: Mengadili Polisi Brutal
Bimantoro mengakui ikut berkelahi, tapi bukan tokoh utama dalam kejadian itu. Yang jadi tersangka tapi divonis bebas adalah Nugroho Jayusman, Mulyono, Simatupang, dan Sianturi. Pada akhir kariernya, Nugroho bintang tiga (Kapolda Metro Jaya) dan kedua kawan yang lain bintang dua.
“Semua sudah selesai lama dan sudah melalui proses hukum yang terbuka. Jangan lupa, saat itu yang menjabat Kapolri adalah Pak Hoegeng yang terkenal jujur dan berintegritas tinggi,” kata Bimantoro yang kemudian menjabat Kapolri pada 2000–2001.
Dalam otobiografinya, Polisi Idaman dan Kenyataan, Hoegeng mengatakan hanya puas dalam satu hal bahwa kasus Rene Conrad tidak diputuskan secara tertutup melainkan secara terbuka menurut hukum melalui pengadilan.
Namun, Hoegeng dengan jelas menyebut “kesalahan berat dalam kasus perkelahian ini adalah digunakannya senjata api, tentunya oleh salah seorang taruna! Salah seorang taruna melepaskan tembakan sehingga Conrad akhirnya menemui ajalnya.”*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar