Masuk Daftar
My Getplus

Antara Lenin dan Stalin (Bagian II – Habis)

Walau berseberangan jalan, Stalin menolak membelot dari Lenin. Sang mentor begitu kritis saat muridnya berkuasa hingga akhir hayat. 

Oleh: Randy Wirayudha | 25 Des 2024
Vladimir Ilyich Ulyanov alias Vladimir Lenin (kiri) & Iosif Vissarionovich Dzhugashvili alias Josef Stalin (Sovetskoye iskusstvo, 23 Januari 1936)

TIDAK selamanya seorang murid sejalan dengan gurunya. Seperti halnya Joseph Stalin dan Vladimir Lenin. Meskipun mengidolakan Lenin, Stalin seringkali berbeda pandangan dan kebijakan dengan mentornya itu. 

Stalin pertamakali mengenal Lenin via buku-buku berisi pemikirannya dan korespondensi keduanya pada medio 1903. Korespondensi dengan Lenin begitu berpengaruh secara mental pada Stalin dalam menjalani pengasingannya yang pertama di Siberia sepanjang Juli-September 1903. Namun baru pada Hari Natal 119 tahun silam Stalin pertamakali bertatap muka dengan sang mentor, di pertemuan akbar RSDLP (Partai Buruh Sosial-Demokratik Rusia) di Konferensi Tampere di Tammerfors, Finlandia yang dihelat 25-30 Desember 1905. Stalin hadir sebagai utusan RSDLP wilayah Georgia. 

“Pada pagi di Hari Natal, Lenin membuka secara resmi konferensinya di Balai Rakyat, markas milisi buruh Garda Merah Finlandia. Stalin begitu sabar menunggu untuk bersua langsung dengan pahlawannya yang punya dedikasi fanatik terhadap revolusi Marxis,” tulis Simon Sebag Montefiore dalam Young Stalin. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Antara Lenin dan Stalin (Bagian I)

Namun, Stalin –yang delapan tahun lebih muda– tidak loyal buta pada Lenin. Apalagi di momen itu pula Stalin pertamakali beda pendapat dengan sang mentor. Tepatnya saat sesi perdebatan mengenai apakah partai mesti ikut berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif 1906 guna menempatkan kader-kader partai untuk merebut kekuasaan via Duma, badan legislatif Kekaisaran Rusia. 

“Pelajaran pada pemberontakan Desember 1905 (Pemberontakan Moskow, red.) hingga mengharuskan Lenin mengungsi ke Finlandia jadi pembuktian bahwa pemogokan massal bukanlah jawaban. Sebaliknya, tugas terpenting adalah mengorganisasi massa dan mempersiapkan mereka menggulingkan rezim (kekaisaran). Akan datang waktunya, kata Lenin, untuk serangan massa yang teroganisir,” ungkap Robert Gellately dalam Lenin, Stalin, and Hitler: The Age of Social Catastrophe. 

Adapun Stalin, seperti kebanyakan opini para utusan delegasi, menganggap usaha-usaha “damai” via kampanye partai untuk pemilu hanya akan buang-buang waktu. Setelah konferensi memang mulanya partai memboikot, tapi pada akhirnya tetap berpartisipasi di Pemilu Maret-April 1906, di mana RSDPL mendapatkan 17 dari 477 kursi di Duma Negara. 

Ilustrasi Konferensi Tammerfors 1905 dalam lukisan karya Aleksandr Viktorivich Moravov (lenin.fi)

Begitupun pada Kongres RSDPL ke-4 di Stockholm, Swedia, 23 April-8 Mei 1906, Stalin kembali menyampaikan keberatannya pada satu isu langsung di hadapan sang mentor. Kala itu dalam isu agraria Lenin mewacanakan advokasi revolusi kaum proletar dan petani, di mana jika kelak kekaisaran runtuh, semua lahan pertanian harus dikuasai negara.

“Sementara menurut Stalin, Komunis harus memanfaatkan peluang itu untuk mendapatkan dukungan petani miskin dengan memberi mereka lahan yang mereka dambakan. Lenin memenangkan perdebatan tapi ketika Revolusi Oktober terjadi pada 1917, ketika harus memberikan lahan petani agar mereka mendukung revolusi, ia menyadari bahwa Stalin dulu benar,” tambah Gellately. 

Meski begitu, Stalin tetap berbaris di belakang Faksi Bolshevik pimpinan Lenin ketimbang kebablasan membelot ke Faksi Menshevik di bawah Julius Martov dan Pavel Axelrod. Faksi terakhir memisahkan diri sejak 1903 hingga menyulut perpecahan di internal partai. 

 “Baik Lenin maupun Stalin sama-sama fanatik dan pragmatis. Perbedaan pendapat di antara mereka menyentuh ranah penilaian operasional, bukan pada prinsip-prinsip revolusioner. Akan tetapi terdapat perdebatan dalam Bolshevisme. Lenin benci para pengikutnya menafsirkan Leninisme tanpa arahannya. Stalin jadi salah satu pemimpin Bolshevik yang berani mempertahankan pendapatnya tapi tanpa meninggalkan faksi (Bolshevik),” terang Robert Service dalam Stalin: A Biography. 

Baca juga: Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta

Di Seberang Jalan 

Tidak hanya di ranah politik praktis, dalam pemikiran politik pun Stalin pernah berseberangan dengan Lenin. Seperti ketika Lenin mengkritik filosofi relativisme Alexander Bogdanov lewat karya epistemologinya terbitan 1909, Materializm i empiriokrititsizm

“Sebaliknya Stalin menganggap filosofi Bogdanov itu cukup meyakinkan dan mengatakan, ‘beberapa kekeliruan tertentu Ilich (Lenin) dicatat dengan benar’,” imbuh Service. 

Setelah itu Stalin dan Lenin tak bisa sering bersua karena pengawasan ketat polisi rahasia kekaisaran. Tetapi walau mulai sering berseberangan jalan dalam pemikiran –walau pemikirannya masih dianggap ‘cetek’ dibandingkan Leon Trotsky, Lenin tetap mengharapkan Stalin jadi sekutunya agar central comittee partai (CC RSDPL) tak didominasi Faksi Menshevik. 

“Ia seorang Leninis sejati dan musuh Menshevik di Kaukasus (Georgia). Di tahun 1912, Lenin bersikap lebih menghargai dibanding sebelumnya ketika ia tak sependapat dengan Stalin. Lenin menyebutnya ‘laki-laki baja’,” tambah Gellately. 

Baca juga: Hatta Bertanya, Agus Salim Menjawab

Terlepas dari itu, Stalin tetap belajar banyak dari Lenin sejurus mendaki karier politiknya hingga pecahnya Revolusi Bolshevik pimpinan Lenin, sebuah kudeta militer kaum Bolshevik pada 25 Oktober 1917 terhadap Republik Rusia, suksesor Tsarisme Rusia yang telah tumbang saat Perang Dunia I (1914-1918) masih berkecamuk. 

Stalin yang saat itu statusnya masih dalam pengasingan dan dikenakan wajib militer, memilih kabur ke St. Petersburg usai mendengar kekaisaran runtuh. Setelah Lenin menobatkan dirinya sendiri sebagai ketua Sovnarkom (Dewan Komisar Rakyat) di negeri baru bernama Uni Soviet, Stalin membantunya sebagai redaktur suratkabar Pravda yang berafiliasi dengan partai serta direktur Insitut Smolny yang membreidel sejumlah media massa yang bertentangan dengan mereka. 

Lenin pada 1923 usai merosotnya kondisi kesehatan pasca-penembakan (polithistory.ru)

Titik balik baru terjadi ketika Lenin menjadi korban percobaan pembunuhan –untuk kesekian kali– oleh Fanny Kaplan, simpatisan Partai Sosialis-Revolusioner PSR, pada 30 Agustus 1918. Dua butir peluru kaliber 38 dari pistol FN Browning M1900 yang masing-masing satu bersarang di leher dan lengan Lenin jadi awal kemunduran kondisi kesehatan pucuk pimpinan CPSU (Partai Komunis Uni Soviet) itu. Ketika penembakan itu terjadi, Stalin masih berada di Volgograd sebagai komandan Cheka (Polisi Khusus Soviet) di tengah berkecamuknya Perang Saudara Rusia (1917-1922). 

“Saat Lenin ditembak di Pabrik Mikhelson di Moskow pada 30 Agustus 1918, Stalin sibuk bertukar pesan telegram dengan (sekretaris CPSU, Yakov) Sverdlov untuk terus menanyakan kondisinya yang genting,” tulis Stephen Kotkin dalam Stalin: Paradoxes of Power, 1878-1928. 

Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal

Sementara Stalin naik daun dan menjadi penerus logis Lenin, Lenin sendiri perlahan tapi pasti mundur dari politik praktis. Mulai Juli 1921, Lenin lebih sering “mendekam” di Wisma Gorki akibat kondisinya yang mulai mengalami insomnia, hiperakusis, hingga terserang stroke pertamakali pada Mei 1922 yang membuatnya lumpuh di sekujur tubuh bagian kanan. 

“Lenin mulai sering merenungkan kemungkinan bunuh diri saja dengan meminta (istrinya, Nadezhda) Krupsyaka dan Lenin untuk menyediakan kalium sianida untuknya, meski tak kurang dari 26 dokter melulu dikirim untuk merawatnya dengan biaya besar,” ungkap Dmitri Volkogonov dalam Lenin: Life and Legacy. 

Lukisan suasana pemakaman Lenin di Moskow karya Isaak Izrailevich Brodsky (shm.ru)

Kendati demikian, Lenin masih kerap meluapkan kritiknya pada Stalin dan pemimpin pemerintahan Soviet lainnya. Dalam wasiat yang dituliskannya pada Januari 1923, satu di antara desakan Lenin adalah mengganti Stalin dari posisi Sekretaris Jenderal CC CPSU karena dianggap tak cocok duduk di kursi itu. 

“Lenin masih kritis terhadap kegagalan Stalin mengarahkan para politisi Bolshevik lainnya dalam isu monopoli perdagangan internasional. Kali ini Stalin naik pitam dan membentak Lenin melalui perantara Krupskaya via telepon,” tulis Louis Fischer dalam The Life of Lenin. 

Kritik dari Lenin baru benar-benar berhenti ketika sang mentor untuk ketiga kalinya terserang stroke pada Maret 1923. Lenin jadi sama sekali kehilangan kemampuan untuk bergerak, bicara, dan menulis hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 21 Januari 1924 di usia 53 tahun. 

Atas perintah Stalin dan para pucuk pimpinan Soviet, dua hari berselang jenazah Lenin dibawa ke Moskow dan disemayamkan di Istana Dom Soyuzov. Tiga juta orang datang melayatnya. Tanpa mendengarkan protes Krupskaya, jenazah Lenin diawetkan dengan pembalseman dan ditempatkan dalam sebuah sarkofagus agar mendiang tetap bisa diziarahi publik di Mausoleum Lapangan Merah Kremlin. 

Baca juga: Kematian Stalin dalam Banyolan

TAG

lenin joseph stalin stalin marxisme

ARTIKEL TERKAIT

Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian II – Habis) Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Parade Kemenangan Perang di Lapangan Merah Adu Taktik Sniper di Front Timur Ragam Kuliner Favorit Stalin Saling Tuding Hitler-Stalin dalam Pembantaian Katyń Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah Sepakbola Soviet Era Stalin