GERBONG keretaapi barang itu penuh sesak pada suatu hari di musim gugur 1942. Selain warga sipil, sejumlah personil Tentara Merah ikut di dalamnya. Vasily Zaitsev (diperankan Jude Law) salah satu serdadu itu.
Selain tidak nyaman karena sesak, perjalanan itu amat membosankan. Dalam pandangan mata Vasily, terlihat hanya hamparan stepa yang seolah tak berujung. Namun, waktu membosankan itu tetiba sirna ketika kedua mata Vasily tertumbuk pada sesosok gadis cantik, Tania Chernova (Rachel Weisz), yang sedang membaca buku. Sayang, kesenangan itu hanya sesaat. Keduanya mesti berpisah tanpa bisa berkenalan karena warga sipil diperintahkan turun di sebuah stasiun.
Perjalanan lanjutan keretaapi itu membawa Vasily dan para kompatriotnya hingga ke tepi Sungai Volga di Stalingrad. Rasa lelah mereka berganti cemas. Baru saja tiba, mereka langsung diseret para personil NKVD (polisi khusus Uni Soviet) untuk segera turun sembari diteriaki “yel-yel” patriotik agar segera naik ke kapal-kapal pengangkut untuk menyeberangi sungai.
Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan PD II
Belum juga tiba di garis depan, para kompatriot Vasily sudah berguguran ditembaki pesawat-pesawat Jerman maupun ditembaki NKVD karena berusaha kabur dari kapal. Tidak semua dari mereka tiba dengan selamat sampai seberang. Kekacauan pengaturan personil dan senjata juga menyebabkan Vasily hanya kebagian satu klip peluru tanpa senapan Mosin-Nagant.
Adegan-adegan menegangkan itu langsung disajikan di 10 menit pertama film Enemy at the Gates oleh sutradara Jean-Jacques Arnaud. Film ini dialihwahanakan dari buku bertajuk serupa yang berpusar pada pengalaman Vasily sebagai sniper yang ditakuti di Pertempuran Stalingrad (23 Agustus 1942-2 Februari 1943).
Plot beringsut ke suasana keheningan yang menyelimuti pusat kota Stalingrad yang sudah luluh lantak. Vasily dan rekan-rekannya menanti dengan senyap di sebuah lokasi dekat dengan garis pertahanan pasukan Jerman yang persenjataannya lebih lengkap.
Peluit dari opsir NKVD lantas memecah sunyi. Teriakan demi teriakan menjadi penyemangat pasukan Soviet, yang tak semuanya menyandang senjata, untuk menerjang kubu pertahanan Jerman. Nyaris semua nyawa kompatriot Vasily melayang. Tak hanya tertembus timah panas pasukan Jerman tapi juga dari belakang oleh semburan tembakan NKVD yang melarang pasukan mundur.
Baca juga: Vasily dan Tradisi Sniper Rusia
Suasana berangsur hening. Vasily selamat karena bersembunyi di Air Mancur Khovorod bersama Komissar Danilov (Joseph Fiennes). Danilov juga jadi saksi di mana Vasily membidik para perwira Jerman yang sedang beristirahat hanya dengan senapan standar Mosin-Nagant dari celah lubang air mancur.
Dengan cerdik, ia memanfaatkan gemuruh ledakan untuk menekan picu senapannya. Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Vasily efektif menghabiskan satu klip berisi lima peluru dengan menumbangkan lima perwira Jerman. Danilov yang terkesan, mengajukan nama Vasily masuk unit sniper sekaligus dijadikan alat propaganda. Danilov mengajukan namanya kepada petinggi Soviet Nikita Khrushchev (Bob Hoskins) sebagai propaganda untuk membangkitkan spirit buruh dan Tentara Merah.
Vasily dengan senapan yang lebih mumpuni berhasil membawa bencana tersendiri bagi Jerman yang saban waktu selalu kehilangan nyawa perwira pentingnya. Vasily yang mulai kondang juga “bereuni” dengan Tania, yang ikut jadi milisi sukarelawan, hingga terlibat asmara.
Namun, Vasily tak hanya kedatangan musuh sepadan dari Jerman, Mayor König (Ed Harris). Dia juga ternyata mendapati Danilov musuh dalam selimutnya gegara berebut cinta Tania.
Bagaimana Vasily menghadapi König dan Danilov sekaligus di tengah Pertempuran Stalingrad yang kian dahsyat? Saksikan sendiri Enemy at the Gates di jajaran film-film klasik yang ditayangkan platform daring Mola TV.
Baca juga: Duel Legendaris Sniper di Front Timur
Cita Rasa Hollywood dan Fakta Historis
Tone temaram yang mendominasi film ini cukup bisa mengantarkan kombinasi suasana menegangkan dalam adegan duel sniper maupun kondisi suram kota di tengah “Neraka Stalingrad” yang jadi pertempuran terdahsyat di front Eropa. Sisipan musik orkestra khas Negeri Tirai Besi ditambah lagu kebangsaan Soviet juga menambah feel beberapa aspek dinamisme plot ceritanya.
Tetapi kendati mengangkat figur pahlawan Soviet, Enemy at the Gates digarap Arnaud dengan cita rasa Hollywood yang berlebihan. Selain tak mengikutsertakan aktor Rusia di antara para tokoh utamanya, bahasa Rusia pun nyaris tak terdengar meski suratkabar atau pampflet propagandanya berisikan aksara Cyrilic. Bahasa Rusia sekadar terdengar dari obrolan samar-samar para pemain ekstranya.
Rasa Hollywood lain yang dianggap menganggu oleh beberapa kritikus adalah bumbu percintaan segitiga Vasily-Tania-Danilov. Kritikus ternama Roger Ebert dalam lamannya, 16 Maret 2001, mulanya memuji prolog Enemy at the Gates se-epik Saving Private Ryan (1998). Namun, kemudian plot malah beralih ke “kucing-kucingan” dua sniper yang adu taktik. Lalu, banyak penambahan plot yang tidak perlu, termasuk bumbu percintaan.
“Film ini tentang dua orang yang berada dalam sebuah situasi di mana mereka harus menggunakan kecerdikan dan skill untuk saling membunuh. Ketika Arnaud berfokus pada itu, lanjutan filmnya berkonsentrasi pada hal yang aneh. Penambahan plot dan percintaannya sungguh disayangkan,” tulis Ebert.
Baca juga: Kisah Dramatis Prajurit TNI Memenuhi Panggilan Tugas
Ketidakakuratan Fakta dan Para Sniper Jerman di Front Timur
Kendati wardrobe dan propertinya cukup detail dan otentik, banyak hal lain sangat melenceng akurasi sejarahnya. Adegan dalam pertempuran, misalnya, menggambarkan pasukan Angkatan Darat (AD) Jerman yang bertempur di Stalingrad berasal dari Divisi Infantri ke-116. Ini sama sekali fiktif karena, mengutip Werner Haupt dalam Army Group South: The Wehrmacht in Russia 1941-1945, sama sekali tidak ada unit bernama Divisi Infantri ke-116 di antara 20 divisi infantri maupun lapis baja yang dikerahkan di Pertempuran Stalingrad.
Kemudian, pada adegan awal pertempuran digambarkan Tentara Merah punya detasemen blokade yang senapan-senapan mesinnya menembaki serdadu-serdadu yang mundur karena dianggap pengecut. Adegan ini akan faktual jika plotnya sedang ada di Perang Dunia I, tapi tidak di Perang Dunia II.
Detasemen tersebut pada Perang Dunia II lazimnya berisikan personil-personil NKVD yang dibentuk Joseph Stalin pada 12 September 1941 lewat Stavka Directive Nomor 1919. Tugas utamanya untuk mencegah dan menjaga kedisiplinan saat situasi kacau, bukan main tembak semua pasukan yang mundur. Biasanya mereka yang mundur atau desersi akan ditahan lebih dulu dan diadili, baru diputuskan untuk dihukum penjara atau eksekusi mati.
Baca juga: Neraka Stalingrad
Ketidakakuratan fakta historis berikutnya, film ini juga mengungkit perdebatan apakah sosok Mayor König atau “Koning” fakta atau fiksi, sebagaimana klaim tokoh asli Vasily Zaitsev dalam memoarnya, Notes of a Russian Sniper. Nama yang diklaim Vasily sebagai rival paling alotnya merupakan direktur sekolah sniper AD Jerman.
Banyak sejarawan, terutama di luar Rusia, menanggap sosok Mayor König atau Koning adalah mitos yang diciptakan Soviet sebagai alat propaganda. Soviet juga pernah menciptakan sosok Otto von Singer sebagai lawan sepadan sniper perempuan Lyudmila Pavlichenko di Pengepungan Sevastopol (Oktober 1941-Juli 1942). Seperti halnya Von Singer, nama König sebagai direktur atau kepala sekolah penembak runduk AD Jerman juga tak pernah eksis dalam semua catatan militer Jerman.
“Para propagandis Soviet menciptakan dan mengarang cerita König yang nyatanya palsu. Meski tentu bermunculan juga teori-teori konspirasi bahwa para Nazi menghancurkan semua catatan tentang Mayor Erwin König karena malu setelah kalah dari komunis yang ‘inferior’,” tulis David Webb dalam The Greatest Snipers Ever: From Simo Häyhä to Chris Kyle.
Baca juga: Lyudmila Pavlichenko, Bidadari Pencabut Nyawa
Lebih parahnya, lanjut Webb, hingga 1944 pasukan Jerman sejatinya belum punya unit sniper. Yang ada sekadar sharpshooter atau penembak jitu yang lazimnya menjadi bagian dari sebuah peleton atau kompi, bukan sniper atau penembak runduk yang beroperasi sendiri. Hal ini berkelindan dengan fakta bahwa sebelum 1943-1944, hanya 0,5 persen senapan standar militer Mauser Karabiner 98k alias Kar98 diproduksi dengan teleskop.
Produksi Kar98 dengan teleskop baru meningkat menjadi 2 persen dari total keseluruhan produksinya mulai 1943-1944. Oleh karenanya beberapa catatan tentang para sniper Jerman di Pertempuran Stalingrad baru eksis di akhir fasenya. Jumlahnya tak lebih dari 750 sniper dari sekira 150 ribu prajurit yang menyandang Kar98. Itupun, dalam catatan Jerman, tak ditemukan nama Erwin König di antara sekira 750 sniper-nya yang apalagi dikatakan dia guru atau kepala sekolah sniper di Zossen.
Militer Jerman mendirikan beberapa depo latihan sniper dalam kurun 1943-1944 tidaklah terpusat. Biasanya depo itu bernaung di bawah beberapa unit atau kesatuan yang tersebar. Maka itu beberapa sniper Jerman tersohor baru bermunculan di fase-fase akhir perang. Salah satunya adalah Obergefreiter (prajurit satu) Josef ‘Sepp’ Allerberger. Sniper Jerman ini berasal dari Kompi ke-7, Resimen Gebirgsjäger ke-144, Divisi Gunung ke-3. Menukil memoarnya yang dituliskan Albrecht Wacker, Sniper on the Eastern Front, Allerberger punya catatan 257 kills di Ukraina dalam kurun 1943-1945.
Baca juga: Kolberg, Film Perang di Tengah Perang
Allerberger mulanya adalah kru senapan mesin dan sudah terjun ke front timur pada Juni 1943. Ia terluka saat terlibat pertempuran di Stavropol. Setelah pulih, ia dialihkan ke unit senapan dan sempat bereksperimen dengan senapan Mosin Nagant 91/30 rampasan yang dimodifikasi dengan teleskop. Allerberger lantas dikirim komandannya ke sekolah sniper di Seeteralpe setelah sempat mengumpulkan catatan 27 kills.
Setelah lulus, prajurit kelahiran Seiermark, Austria pada tahun 1924 itu baru kembali ke unitnya sebagai sniper. Meski unitnya terus didesak mundur dari Ukraina sampai Silesia, Allerberger mencatatkan 257 kills. Dia dianugerahi medali Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes atau salib ksatria dari Panglima AD Grup Tengah Marsekal Ferdinand Schörner pada 20 April 1945.
“Allerberger dikenal dengan taktik kamuflase menggunakan payung yang dicat dengan warna menyerupai dedaunan. Saat diserang musuh, Allerberger juga punya taktik menembak musuh dari pangkat terendah baru menyusul ke pangkat tertinggi. Suara menyedihkan prajurit rendahan yang terluka biasanya membuat mental para perwira tingginya goyah dan kehilangan kepercayaan diri,” tulis Charles Stronge dalam Sniper in Action: History, Equipment, Techniques.
Baca juga: Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler
Sniper Jerman lain yang punya nama di front timur dan juga berasal dari Resimen Gebirgsjäger ke-144 adalah Gefreiter Matthäus Hetzenauer. Hetzenauer juga kelahiran Austria pada 23 Desember 1924. Prestasinya lebih mencengangkan, 345 kills dalam kurun 1944-1945.
Setali tiga uang dengan Allerberger yang juga satu kompi, Hetzenauer dikirim ke pelatihan sniper setelah mengenyam pengalaman sebagai infantri reguler di garis depan. Mengutip biografi Eastern Front Sniper: The Life of Matthäus Hetzenauer karya Roland Kaltenegger, Hetzenauer dimasukkan ke pelatihan tembak runduk Truppenübugsplatz Seetaler-Alpe di Steiermark sepanjang Maret-Juli 1944 sebelum dikembalikan ke kompinya di front timur.
Baca juga: Saving Leningrad, Bencana di Danau Ladoga
Dalam aksi-aksinya di Pegunungan Carpathia, Hungaria, hingga Slovakia, Hetzenauer mencatatkan 345 kills tak hanya dengan senapan Kar98k berikut teleskop 6x. Seringkali ia menggunakan senapan semi-otomatis Gewehr 43 dengan teleskop ZF4.
Catatan kills-nya sempat terhenti kala ia harus memulihkan diri usai kepalanya mengalami trauma akibat tembakan artileri Soviet pada 6 November 1944. Atas catatannya yang mengagumkan, Hetzenauer dianugerahi salib ksatria pada 17 April 1945.
“Taktik Hetzenauer menggunakan dummies, kadang dilengkapi senapan yang bisa ditembakkan dari jarak jauh dengan tali. Kadang juga mengunakan taktik klasik: menampakkan helm sebagai umpan dengan sebuah tongkat. Selain teleskop (senapan), ia menyukai binokular 6x30 dan bahkan pernah menggunakan rampasan periskop Soviet untuk memantau musuhnya,” tulis Kaltenegger.
Deskripsi Film:
Judul: Enemy at the Gates | Sutradara dan Produser: Jean-Jacques Arnaud | Pemain: Jude Law, Joseph Fiennes, Rachel Weisz, Bob Hoskins, Ed Harris, Ron Pearlman, Gabriel Marschall-Thomson, Eva Mattes | Produksi: Mandalay Pictures, Repérage Films | Distributor: Paramount Pictures, Pathé Distribution, Constantin Film | Genre: Drama Perang | Durasi: 131 Menit | Rilis: 16 Maret 2001, Mola TV