Kala Prajurit TNI Memenuhi Panggilan Tugas
Kisah operasi gabungan TNI guna membebaskan sandera. Dikemas heroik ala Hollywood berikut pengerahan bermacam alutsista canggih.
SUATU hari pada Mei 2017 di hutan rimba Valdosta, Tongo, sebuah negeri tetangga Indonesia, kengerian mengiringi penggiringan masuk sekumpulan sandera ke kamp tawanan. Di antara para sandera itu, terdapat enam WNI (warga negara Indonesia). Salah satunya Elise Durand (Mentari De Marelle) yang berayahkan seorang warga Prancis bernama Tuan Durand (Arjan Onderdenwinjgaard).
Elise dan ayahnya menggigil ketakutan saat dihadapkan pada dua pemimpin kelompok teroris penyandera, Diego (Aryo Wahab) dan Lopez (Restu Sinaga). Kedua pemimpin teroris itu telah mengeksekusi seorang sandera warga Jerman untuk dijadikan contoh jika tak mematuhi apa yang mereka perintahkan.
Horor yang dialami para sandera WNI di sebuah negeri fiktif itu jadi permulaan film action bertajuk Merah Putih Memanggil garapan Mirwan Suwarso. Film tersebut mengisahkan heroisme TNI dalam sebuah panggilan tugas nan pelik.
Baca juga: Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan
Alur cerita beringsut ke adegan pemerintah Indonesia di Jakarta mendengar ada warganya yang disandera teroris dari sebuah kapal pesiar. Disebutkan, pemerintah Tongo memberi izin bagi TNI untuk bertindak menyelamatkan WNI dari sekapan teroris.
Di Mabes TNI, Panglima Operasi Mayjen Slamet Riyadi merancang Operasi Kilat I dan Kilat II sebagai upaya pembebasannya. Operasi itu akan menerjunkan sebuah tim dari Kopassus TNI AD dengan sandi Tim Alpha. Dipimpin Kapten Nurman (Maruli Tampubolon), 11 anak buahnya dalam Operasi Kilat I ditugaskan untuk membebaskan dan mengevakuasi para sandera dengan bantuan heli-heli Penerbad.
“Apabila rencana Operasi Kilat I gagal, maka kita akan segara laksanakan Operasi Kilat II. Rencana tersebut mengatur agar Tim Alpha dan para sandera melewati jalan darat lebih kurang 30 kilometer. Pesawat tempur Sukhoi siap sewaktu-waktu memberikan tembakan udara. KRI Diponegoro stand-by dekat pantai selatan, Kopaska siap melaksanakan infilstrasi melalui kapal selam. Marinir membantu dan mengambilalih pertempuran bilamana diperlukan,” kata sang panglima menjelaskan.
Baca juga: Satir Penerbang Bengal dalam Catch-22
Operasi gabungan tiga matra TNI itu hanya punya waktu 2 x 24 jam untuk operasi di pedalaman Valdosta. Tim Alpha dikerahkan lewat penerjunan HALO (high altitude, low opening) dari pesawat angkut TNI AU ke sebuah lokasi pendaratan di pedalaman sesuai informasi intelijen Taipur Marinir, Korps Paskhas, dan Tim Sandi Yudha. Arus komunikasinya berpusat di KRI Diponegoro yang dijadikan kapal komando operasi.
Tim Alpha berhasil berpenetrasi ke salah satu kamp penyanderaan. Berkat kemampuan cakap dan terlatih, pasukan itu mampu membebaskan beberapa sandera. Namun saat hendak mengevakuasi sandera via udara, dua heli Penerbad ditembak jatuh roket militan teroris.
Operasi Kilat I pun gagal. Tim Alpha terpaksa beralih ke Operasi Kilat II yang mengharuskan mereka menghindari militan teroris yang jumlahnya lebih besar. Seperti apa upaya unit tempur Kopassus itu menjalankan Operasi Kilat II sekaligus memastikan keselamatan para sandera? Baiknya saksikan sendiri kelanjutan film heroik itu seraya memperingati Hari Pahlawan di platform daring Mola TV.
Baca juga: Tjoet Nja’ Dhien Petarung Konsisten
Pengerahan Alutsista Kebanggaan
Tone temaram mendominasi film berdurasi 112 menit ini. Beat-beat dinamis sebagai musik scoring-nya yang mengiringi adegan-adegan menegangkan dan dramatis kala pasukan teroris memburu Tim Alpha di hutan rimba turut memacu adrenalin penonton.
Merah Putih Memanggil ibarat pameran alutsista yang bisa dibanggakan rakyat Indonesia walau tak terlalu punya signifikansi dalam alur cerita. Tak hanya menampilkan perlengkapan dan persenjataan yang disandang para prajurit, film ini juga memamerkan bermacam alutsista TNI seperti tank-tank amfibi Marinir, kapal selam KRI Nagapasa (403), korvet KRI Diponegoro (365), dan pesawat-pesawat Sukhoi Su-30. Di sisi lain, hanya dua heli angkut Penerbad Mi-17 yang digambarkan lewat efek visual saat ditembak jatuh kelompok teroris.
Baca juga: Nanggala dalam Armada Indonesia
Selipan-selipan dramanya juga terlalu kaku. Tidak mengherankan, karena mayoritas pemerannya adalah anggota TNI aktif. Bahkan dari 12 anggota Tim Alpha, hanya dua yang dimainkan aktor non-TNI, yakni Kapten Nurman yang diperankan Maruli Tampubolon dan Letda Kartini yang dimainkan Prisia Nasution.
“Dialog-dialognya ditulis di lokasi syuting, berkolaborasi dengan pemeran tentara sungguhan. Mereka yang mengarahkan pemeran lain tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi-situasi tertentu. Kami mengambil gambar adegan-adegannya pun berdasarkan instruksi-instruksi mereka,” aku Mirwan kepada Jakarta Globe, 6 November 2017.
Selain melibatkan TNI, produksi film ini kabarnya juga bekerjasama dengan beberapa sinematografer Hollywood. Itu membuat plot action-nya mirip dengan beberapa film Hollywood bertema serupa, semisal Tears of Sun (2003) yang diperankan aktor kawakan Bruce Willis. Tears of Sun mengisahkan secara dramatis sekelompok US Navy SEAL yang melakukan infiltrasi ke pedalaman Nigeria untuk membebaskan dan mengevakuasi warga Amerika dan sandera-sandera lain via jalur darat.
Baca juga: Kisah Penyintas Terlupakan di Perang Pasifik
Sayangnya, greget Merah Putih Memanggil sama sekali tak bisa menyaingi Tears of Sun. Salah satunya karena adanya logika militer di lapangan. Contoh paling mudah yakni saat adegan pembebasan sandera dari kamp penyanderaan. Tim Alpha melakukan raid ke kamp dengan peralatan lengkap, termasuk ransel standar TNI yang berbobot 17 kilogram. Secara logika, penetrasi dengan ransel lengkap seperti itu takkan efektif. Pasalnya, setiap prajurit harus bergerak cepat saat menyergap lawan. Mestinya, beban berat itu sementara ditinggalkan dan tiap prajurit cukup membawa senjata dan amunisi. Hal semacam ini tak pernah ditemukan di Tears of the Sun atau film-film bertema operasi khusus lain, semisal Lone Survivor (2013) atau 12 Strong (2018).
“Dalam keadaan tempur biasanya (ransel) ditinggal. Karena enggak taktis jadinya. Kecuali kalau keadaannya sedang patroli jarak jauh. Seperti di film Black Hawk Down (2001), pasukan daratnya hanya bawa ransel taktis kecil dan botol minum saja, selain amunisi,” ungkap Kolonel Martinus Bram SS dari Dinas Aeronautika TNI AU kepada Historia.
Detail mengenai komunikasi pun setali tiga uang. Merupakan keganjilan nyata saat adegan Kapten Nurman bisa berkomunikasi langsung dengan pilot jet tempur Sukhoi hanya dengan alat komunikasi lapangan. Terlihat di sini bahwa tim produksi kurang riset.
“Sebetulnya ada alat komunikasi high frequency yang bisa langsung (ke pilot), tapi enggak semudah di adegan itu. Biasanya ke pusat komando dulu. Tapi bisa juga kalau di pasukan darat ada (personil) yang di-attached sebagai combat controller. Dia yang memutuskan untuk bantuan udara. Atau kalau tembakan bantuan artileri, biasanya ada peninjau depan dari armed (artileri medan) yang juga di-attached ke infantri,” imbuhnya.
Baca juga: Mengulik di Balik Layar Film Kadet 1947
Drama Penyanderaan Mapenduma
Plot Merah Putih Memanggil dibuat fiktif dan sekali lagi, mirip dengan drama penyanderaan ala Hollywood. Padahal dalam sejarahnya, TNI, utamanya Kopassus, punya beberapa pengalaman dalam membebaskan sandera. Sebut saja misalnya operasi pembebasan para pembajak Pesawat Woyla pada 1981. Atau yang sedikit lebih mirip kisahnya, yakni operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Papua pada 1996. Mengapa tidak berangkat dari ini saja?
Penyanderaan Mapenduma bermula pada disekapnya 26 peneliti World Wildlife Fund (WWF) yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95. Dua puluh orang dari 26 peneliti itu merupakan WNI. Mereka sudah menjalankan penelitian sejak 18 November 1995. Pada 8 Januari, mereka disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Desa Mapenduma, Jayawijaya, Papua.
Baca juga: Misi Prabowo dalam Operasi Mapenduma
Seiring laporan Mission Aviation Fellowship kepada Kodim 1702/Jayawijaya, OPM membebaskan 15 di antara 26 sandera. Salah satu yang dibebaskan lantas melapor kepada Komite Palang Merah Internasional, ICRC, dengan harapan ICRC menjadi mediator antara OPM dan pemerintah Indonesia. Dalam laporan ICRC tertanggal 27 Agustus 1999, sisa 11 sandera (lima WNI, empat warga Inggris, dan dua Belanda) yang belum dibebaskan disekap di Geselama selama empat bulan.
Mediasi kemudian dilakukan beberapa tokoh Nasrani, salah satunya Uskup Jayapura, Monsinyur Herman Ferdinandus Maria Münninghoff. Herman bahkan langsung menemui Kwalik pada 25 Januari 1995. Beberapa kesepakatan lalu dicapai keduanya, antara lain: keterlibatan ICRC sebagai perantara, penyediaan makanan dan kesehatan untuk para sandera, dan permintaan agar militer Indonesia tak bertindak dalam radius satu kilometer dari Geselama.
Pemerintah Indonesia, Belanda, dan Inggris yang diwakili ICRC awalnya mau memenuhi tuntutan. Terlebih setelah kelompok Kwalik akan membebaskan para sandera pada 8 Mei. Akan tetapi hingga waktu yang dijanjikan itu, kesepakatan antara kelompok penyandera dan ICRC gagal dipenuhi.
“Upacara pembebasan dilakukan pada 8 Mei tetapi ketika delegasi ICRC bersiap pergi bersama para sandera, Kelly Kwalik mengumumkan bahwa dia menolak membebaskan sandera selama Papua belum dinyatakan merdeka,” demikian bunyi laporan ICRC.
Baca juga: Kejanggalan Operasi Mapenduma
TNI pun bertindak. Mulai 9 Mei, Kopassus yang dipimpin Brigjen Prabowo Subianto mengerahkan pasukan dan menjalankan pengintaian udara menggunakan dua heli Bell 412 serta pesawat C-130 Hercules.
“Karena kelompok pemberontak mengingkari janji-janji mereka (kepada ICRC), sebuah operasi militer harus dilaksanakan,” kata Prabowo, dikutip Associated Press, 16 Mei 1996.
Pengintaian udara dan darat menggunakan anjing-anjing pelacak serta pengejaran oleh sekira 100 personel Kopassus mencapai klimaks pada 15 Mei. Dalam baku tembak antara Kopassus dan OPM selama tujuh jam di Geselama, sembilan dari 11 sandera berhasil diselamatkan. Dua WNI yang disandera tewas setelah digorok dan dimutilasi OPM.
Militer Indonesia kehilangan lima nyawa pasukan setelah salah satu helinya jatuh. Sedangkan di pihak OPM, delapan kombatannya tewas dan dua ditangkap hidup-hidup.
“Pertempuran dramatis selama tujuh jam itu berhasil menyelamatkan sembilan dari 11 sandera dari 128 hari penyanderaan, di mana baku tembaknya lebih berdarah-darah dan lebih lama dari yang diperkirakan. Semua sandera kemudian dibawa ke Jakarta untuk dirawat di rumahsakit,” tulis The Independent, 16 Mei 1996.
Deskripsi Film
Judul: Merah Putih Memanggil | Sutradara: Mirwan Suwarso | Pemain: Maruli Tampubolon, Aryo Wahab, Restu Sinaga, Prisia Nasution, Verdy Bhawanta, Arjan Onderdenwinjgaard, Mentari De Marelle, Hafida Gerizz | Produser: Josi R. Karjadi | Produksi: TB Silalahi Center | Genre: Action | Durasi: 112 Menit | Rilis: 5 Oktober 2017, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar